Hajriansyah Birin mengucek matanya yang merah darah. Semakin dikuceknya semakin perih. Jari-jarinya basah. Agak samar ia melihatnya berwarna darah. Sementara pecahan kaca semakin menempel, perih makin parah. Ibunya yang melihatnya terpekik. Hening sesaat, lalu ia berteriak, “Usuuup!” Rumah lanting berayun, tanda seseorang menjejak dengan kaki yang tergesa. Pamannya itu bereaksi cepat, ia tangkap tangan Birin yang masih mengucek, digendongnya anak kecil itu dan berlari membawanya ke mantri terdekat. Ibunya rebah di atas kaki bertelimpuh, hilang tenaga. Ibu-ibu tetangga datang menghiburnya. Peristiwa hilangnya penglihatan Birin itu terjadi saat umurnya belum genap lima tahun. Menjelang usia sekolah. Kini ia telah memasuki usia remaja, waktu sepuluh tahun berlalu seperti air sungai mengalir menuju muara. Kadang terasa kadang tidak. Birin menjalaninya dengan tabah. Tapi tidak bagi ibunya. Orangtua yang malang itu sering menangis di malam hari. Suaranya samar-samar ditangkap tel...