Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2019

Nanaimo, yang Jauh di Sana

Sori Siregar Nanaimo. Sebuah kota kecil di Kanada. Di sanalah Lili sekeluarga bermukim. Tidak tahu untuk berapa lama. Dengan menggunakan telepon seluler Sutana mengamati foto-foto lama Lili dan teman-temannya di kampus Vancouver Island University di British Columbia tersebut. Ia bangga sekaligus merindukan putrinya itu. Sudah lima tahun Lili, suaminya Arie, dan kedua anak mereka, Kafka dan Nares bermukim di negeri orang itu. ”Kapan kalian pulang?” Pertanyaan itu sering dilontarkan Sutana di surelnya, karena Lili telah selesai pendidikan master-nya setelah berdiam dua tahun di kota kecil, di pantai timur Pulau Vancover itu. Belakangan pertanyaan itu tidak diulangi Sultana, karena Lili telah mengutarakan niat mereka untuk menjadi penduduk tetap di negeri empat musim itu. Penduduk tetap, hanya setingkat di bawah warga negara. Niat untuk pulang kampung pastilah semakin menipis, karena pilihan itu. Tapi, apakah status itu akan semudah itu memperolehnya? Ia tidak dapat mengungkapk

Budak Cinta

SENO GUMIRA AJIDARMA Ia hanya kelihatan matanya. Apakah yang bisa dilihat dari sepasang mata yang setiap kali mengerjap melesatkan pesona dunia? Begitulah pesona melesat dari mata yang dipandang untuk menelan mata yang memandang, yang langsung terpukau dan langsung terpana bagai tersambar kilau cahaya surga, yang membuat diri dan segala kehendak hilang lenyap menghablur, menyisakan tubuh tanpa pikiran selain penyerahan dan kerelaan dalam cita-cita untuk diperbudak dalam persembahan jiwa. ”Sudah, jangan mematung seperti itu,” kata istrinya, “mari kita pulang.” Namun, dia tidak mengenal lagi kata pulang. Hilang sudah rumah, hilang sudah istri, hilang pula keluarga. Hilang segala celoteh ceria kanak-kanak yang telah mengisi hidupnya seperti empasan ombak mengisi kesunyian semesta. Dia tinggalkan istrinya yang ternganga, yang sempat meraih lengan hanya untuk dia sentakkan, yang hanya bisa memandang lelaki yang selama ini menjadi suaminya, bapak anaknya, lenyap di antara kerumun

Sekuntum Bunga Marigold dari Chiang Mai

Ni Komang Ariani Mimpi yang berulang. Bunga Marigold. Candi-candi keemasan berubah warna menjadi merah. Patung setengah manusia dan setengah burung yang bisa bergerak-gerak seolah hidup. Memilin-milin dan tumpang tindih dalam mimpiku sepekan ini. Alur ceritanya semakin lama semakin ganjil. Bahkan kadang tanpa alur cerita sama sekali. Bunga marigold. Candi-candi berwarna kemerahan. Patung manusia berkepala burung. Hanya itu yang bisa aku ingat dengan jelas. Selain sebuah jejak perasaan yang mengganjal bersamanya. Perasaan sedih dan marah sekaligus. Seperti ada seseorang yang telah berbuat curang, dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak berdaya. Kedua tanganku seperti dirantai, untuk menonton. Tanpa mampu berbuat apa pun. Mungkinkah karena aku telah kelewat menjejali pikiranku dengan segala informasi tentang candi-candi di Thailand? Tentang Doi Suthep, Wat Phrasing, Wat Chedi Luang, Wat Umong, dan lain-lain. Mungkinkah kepalaku meledak karena timbunan informasi dan alam bawah sadar

Tali Darah Ibu

Farizal Sikumbang Sebelum meninggal, ibu kerap berpesan agar aku selalu menjaga hubungan baik dengan semua saudara tiriku. Dan setiap ibu menyampaikan pesannya itu, aku selalu menganggukkan kepala sebagai tanda mengiyakan kata ibu. Tapi aku tidak tahu, apakah ibu juga pernah menyampaikannya kepada masing-masing saudara tiriku perihal pesan itu. Sebab, setahuku, ibu tidak pernah mengucapkan pesan itu di depan kami. Ibu memiliki anak tiga. Aku yang tertua dari dua saudaraku yang berbeda ayah itu. Kata ibu, ayahku adalah seorang pelaut. Kata ibu lagi, ayah juga pemabuk dan suka main judi. Ayah pergi meninggalkan ibu di saat aku baru berusia lima tahun. Kabar yang ibu dapatkan selanjutnya dari pelaut lainya adalah bahwa ayahku telah kawin lagi dengan seorang janda muda di pulau seberang. Aku sendiri luput mengingat wajah ayahku sendiri serupa apa. Usiaku terlalu kecil untuk mampu mengingat kenangan bersama ayah. Apalagi memang ayah kuingat jarang pulang. Di dalam rumah kam