Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2018

Pelahap Kenangan

Agus Noor Kau bisa dengan mudah mengenali orang-orang yang hidup dalam kenangan. Mereka selalu terlihat murung. Tahukah kau, karena dalam kepala mereka ada belatung yang perlahan-lahan menggerogoti kenangan mereka. Tapi mereka tak pernah menyadarinya. Kenangan memang seperti peta buta, yang bisa membuat kita tersesat di dalamnya. Aku pernah melihat orang yang terperosok dalam kenangannya yang mengerikan. Orang-orang bahkan selalu merasa bergidik setiap ada yang menceritakan kembali apa yang terjadi padanya. Ia dianggap menghasut buruh untuk melakukan pemogokan, lalu terjadi kerusuhan di pabrik garmen tempatnya bekerja. Sebuah gudang terbakar. Aparat menciduknya. Sebulan setelahnya ia dipulangkan dengan ambulan. Tubuhnya nyaris lumpuh, dan ingatannya kosong. Ia tak bisa mengingat apa yang terjadi, atau memang tak ingin mengingatnya. Orang-orang hanya menduga-duga berdasarkan desas-desus: selama diinterogasi kepalanya dibenamkan dalam karung berisi pasir, dan kemudian dihajar deng

Perempuan yang Menunggu

Zaenal Radar T Perempuan tua itu duduk-duduk pada bale-bale belandongan, sebuah bangunan khas Betawi, terbuat dari bahan kayu yang biasanya berdiri di depan bangunan utama. Luasnya sekitar lima kali empat meter, tapi ada juga yang lebih besar, tergantung luas halaman. Belandongan menggunakan tiang kayu yang kokoh, dan bagian atasnya menggunakan bambu sebagai penopang atap. Belandongan masa lalu biasanya memakai rumbia atau daun kirai sebagai atap. Karena bahan baku sudah tidak bisa didapat, maka sebagai gantinya dipakai genting, seperti rumah-rumah kebanyakan. Bangunan Belandongan biasanya tanpa sekat, diisi bale-bale dan meja yang lengkap dengan kursi kayu jati atau mahoni. Bangunan ini menjadi serbaguna, bukan hanya untuk menerima tetamu, tetapi juga digunakan untuk kumpul-kumpul bagi penghuni dan tetangga sekitar. Perempuan tua yang duduk di bale-bale terus saja sibuk merajut kerajinan tangan. Perempuan tua ini lihai memainkan benang rajut, kelihatan dari cara jemarinya melek

Slerok

Fandrik Ahmad Ia berpesan, jangan dikubur di tanah wakaf. Sebagaimana kata wakaf, siapa pun boleh dikubur di sana. Tak perlu merogoh kocek sekadar penebus sekotak lubang kematian. Tidak. Ia ingin berbaring di tanah sendiri. ”Tak ada yang lebih merdeka selain mati di atas tanah sendiri,” tukasnya. Namanya Pak Mat, tinggal di Slerok 1). Sebuah perkampungan di kaki Gunung Raung. Bagian dari Pegunungan Ijen. Pemisah dua kabupaten di ujung timur tanah Jawa: Jember dan Banyuwangi. Lelaki berkulit besi tua itu seorang petani rajin dan ulet. Mengembala ternak menjadi selingan pekerjaan. Saya sering mengambil bagian dari pekerjaan ini. Hampir pasti semua petani memiliki ternak. Terutama sapi. ”Aku selalu berdoa semoga anak cucuku dapat menggarap ladang dengan baik. Tetapi takdir berkehendak lain. Harapanku hanya ada pada Wulan. Dan Tuhan sudah mengambilnya,” tukasnya mengenang kepergian anak semata wayang. Penyuka semur keong besusul dan oseng pakis itu harus mengakhiri hayat di uju

Si Pengarang Muda

Sungging Raga Alkisah, di sebuah negara yang menolak berkembang, hiduplah seorang pengarang muda yang nyaris putus asa disebabkan selama bertahun-tahun tidak satu pun cerita pendeknya dimuat di surat kabar. Padahal, ia sudah mengerahkan segala upaya, baik itu dengan ikut kelompok-kelompok kepenulisan, lokakarya, hingga menyapa dan berusaha akrab dengan redaktur, tetapi semuanya gagal. Sampai akhirnya ia pun pergi meminta bantuan dukun. ”Bisakah Anda memasukkan roh penulis hebat dari masa lalu ke dalam tubuh saya?” Sang dukun menatapnya dengan heran, biasanya dia mendapat klien yang ingin dagangannya laris, ingin menang pemilu, ingin naik jabatan, atau ingin merebut istri orang. Baru kali ini ada yang memintanya memasukkan roh penulis. Tetapi, tentu sebagai dukun profesional segala permintaan tidak boleh ditolak. ”Bisa saja, Anda mau roh siapa?” ”Knut Hamsun. Peraih Nobel asal Norwegia.” ”Hm, kalau begitu tunggu sebentar,” dukun tersebut lantas menghubungi dunia gaib dan min

Monolog Bisma

Kurnia JR Setiap kali kami bersua, yang kutangkap pada parasnya hanya kesedihan, duka berlapis-lapis, mengental, mengeras, seakan-akan tidak pernah ada musim panas yang melelehkan gumpalan kristal gelap di dalam jiwanya. Pada suatu malam kami duduk di pinggir lapangan tenis yang sunyi di blok rumahku. Lampu-lampu merkuri memercikkan suasana menenteramkan. Malam seperti disekap halimun yang turun dari gunung. Aku termangu mendengarkan Bisma bermonolog. Hal yang biasa terjadi jika kami sedang berdua. Secara otomatis, aku selalu menjadi pendengar yang baik ”Meski kamu sudah sering mendengarkan aku, isi hatiku, pikiranku, sampai saat ini aku ragu apakah kamu memahami aku dengan sebenar-benarnya. Ah, bukan itu. Tidak persis begitu maksudku. Aku hanya ingin bilang orang tidak akan pernah memahami orang lain, kecuali hanya secuil.” Apa bedanya? Hatiku menyanggah diam-diam. Kamu hanya bermain parafrase. Aku yakin aku pernah mendengar ocehan itu, setidak-tidaknya yang seperti itu. D