Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2019

Anak Mercusuar

Mashdar Zainal Ayahku sebuah mercusuar di dekat dermaga. Mercusuar tua bertubuh jangkung, berkemeja putih, dan bertopi coklat tahi karat. Ketika malam sorot matanya masih bekerja dengan baik, menyala dan menelanjangi semesta pantai: kapal-kapal yang berayun di tepi dermaga, para nelayan berkalung sarung yang sibuk membetulkan mesin, sepasang kekasih yang duduk saling merapat di sebuah bangku panjang, seekor kepiting yang kehilangan ibunya—yang merangkak gegas meninggalkan garis-garis tipis di atas pasir. Ayahku sebuah mercusuar di dekat dermaga. Kakinya tak pernah mengenakan alas. Hanya menapak bebas di atas batuan cadas. Anak-anak kepiting dan binatang-binatang kecil tanpa nama selalu suka bersembunyi di bawah kakinya. Menggelitikinya sepanjang waktu. Namun ayah tak pernah tertawa, alih-alih beranjak dari tempatnya. Karena ayah adalah sebuah mercusuar. Dan sebuah mercusuar harus menyepakati dua sumpah, yang pertama ia harus teguh berdiri di tempat yang ditentukan, dan kedua i

Kematian Seorang Penerjemah

Wawan Kurniawan Dia tidak akan meneguk racun itu bila peristiwa kemarin tak terjadi. Seminggu sebelumnya, di dalam mimpinya– seorang perempuan berbaju merah dengan rambut panjang sebahu datang menghampirinya di sebuah tepi pantai yang asing baginya. Tanpa sempat melihat wajahnya dengan jelas, perempuan itu langsung memeluknya dari belakang. Begitu erat hingga tulang-tulangnya serasa ingin remuk. Saat mendengar bunyi retak disertai kesakitan yang tak terkira, barulah dia terbangun. Dilihatnya jam dinding masih menunjukkan pukul tiga lewat empat puluh dua menit. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar. Dia putuskan untuk kembali memejamkan mata dan sama sekali tak mengingat apa yang terjadi di mimpinya. Tapi rasa sakit di bagian belakangnya terasa hingga dia harus beberapa kali mengubah posisi tidurnya. Dia berhasil tidur dan bangun pada pukul sepuluh pagi. Biasanya, dia bangun di siang hari setelah begadang menerjemahkan beberapa naskah yang ada di laptopnya. Rasa sakit di bagian bel

Semangkuk Perpisahan di Meja Makan

Miranda Seftiana Ibu saya bilang perempuan harus bisa memasak. Setidaknya satu menu sepanjang hidupnya. Saya merasa tidak setuju, terlebih ketika hidup sudah nyaris-nyaris mirip di surga urusan lapar dan makan. Betul. Semasa kecil, saya sering didongengi ibu. Katanya hidup di surga itu nyaman sekali, tinggal tunjuk langsung jadi. Mau anggur akan diantar ke hadapan. Mau minum dan makan juga demikian. Bukankah sekarang zaman juga sudah begini? Haus dan lapar tinggal buka ponsel. Hanya perlu satu jari untuk membuatnya ada di depan mata. Lalu, mengapa harus susah payah memasak segala? Bukan. Bukan saya tidak pernah memasak sama sekali. Saya pernah merebus mi instan, menggoreng telur, atau beberapa hal lain untuk bertahan hidup. Lebih-lebih ketika masih mahasiswa dulu. Tapi ini berbeda. Memasak yang dimaksud ibu saya bukan sekadar bisa, melainkan memang lihai sebab akan memengaruhi rasa. Sekali lidah harus langsung enak terasa sehingga sampai sajian tandas di piring kenangan baiklah yang te

Pembunuh Terbaik

Ahda Imran Pagi di musim dingin itu aku mencukur habis jenggot dan semua bulu misaiku. Membakar seluruh dokumen, hingga secarik kertas berisi coretan yang paling tak berguna sekalipun. Keluar dari penginapan, aku merasa lega menemukan hari tak bersalju. Berdiri di trotoar persimpangan jalan, di antara ceceran salju dan deretan pohon platanus yang membeku, aku tahu benar bayangan itu sedang mengintaiku dari salah satu bangunan. Deretan toko, kafe, restoran orang Turki, gedung sekolah, apartemen, atau mungkin dari salah satu bagian gereja di seberang boulevard. Seperti halnya seorang pembohong yang fasih mengetahui pembohong lainnya, sebagai pembunuh instingku terlatih benar mencium bau tubuh seorang pembunuh yang sedang mengintaiku. Meski tak bisa kupastikan dari mana arahnya dan berapa jauh jaraknya dari tubuhku. Pasti ia sudah terlatih menghadapi sasaran dalam udara yang berkabut. Tapi baik kunyalakan juga rokok agar ia lebih leluasa memastikan sasarannya, sekaligus isyarat yang musta

Hyang Ibu

Made Adnyana Ole Di sisi jenazah ibu, satu anak di antara sepuluh anak yang menangis bercerita tentang pisang: Ibu selalu menjinjing sesisir pisang pada setiap sore, melangkah agak terburu di jalan desa, lalu meliuk masuk rumah seseorang. Di dalam rumah, sisir pisang matang di pohon itu dihadiahkan pada anak-anak. Maka, riang senang memenuhi rumah itu, dan ibu kemudian pulang ke rumah sendiri dengan senyum bahagia. Ibu melakukan ritual itu setiap sore, saban pulang dari sawah, secara bergantian dari satu rumah ke rumah lain. Dan ibu selalu tepat menebak di rumah mana anak-anak sedang berkumpul, bercerita atau bermain, sehingga ia senantiasa menerima sambutan alami dan getar bahagia ucapan terima kasih, seakan-akan ia berhadapan dengan berpuluh-puluh anak dari buah rahimnya sendiri. Anak-anak itu datang begitu mendengar ibu meninggal. Berkerumun mereka datang dan menangis, bahkan seorang anak perempuan sesenggukan tak habis-habis hingga tubuhnya bergetar hebat. Di sela sedu-sedan itu,