Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Kisah Amour dan Liberte

Warih Wisatsana Bahkan jauh sebelum ”boarding”, sewaktu masih antre di pemeriksaan x-ray bagasi, pandanganku tertuju padanya dan tak bisa lepas lagi. Matanya sedikit biru, roman wajahnya Timur Tengah dengan bekas torehan luka di dahi, seketika membuatnya terlihat berbeda. Padahal, dini hari itu, di ruang tunggu Gate 08 Bandara Internasional Ngurah Rai, ada sekian orang lintas bangsa dengan aneka ciri yang tak kalah menarik, entah lelaki sejazirah dengannya dari Irak, Kuwait, boleh jadi dari Lebanon, Suriah, atau siapa tahu pula pelarian kombatan Afghanistan. Belum lagi pasangan orang Perancis dan turunan China- Indonesia yang pastilah tengah mengalami ”amour”, berpeluk kecup tak henti. Kami semua sudah cukup lama menunggu, kini pemeriksaan terakhir boarding pass dan paspor. Lima belas menit lagi pesawat siap terbang lintas benua, transit di Doha dan berakhir di Zaventem, Brussels. Sekilas aku menoleh ke belakang, antrean kelas ekonomi; rupanya ia tak membawa koper atau bag

Rumah-rumah Nayla

DJENAR MAESA AYU  Entah nama apa yang tepat untuk tempat itu. Bar? Restoran? Warung? Sepertinya pemiliknya tidak terlalu peduli, sebagai apa kontainer berukuran delapan kali dua puluh meter persegi itu dimaknai. Rumah-rumah Nayla 24 Desember 2017 Karya Hanafi Entah nama apa yang tepat untuk tempat itu. Bar? Restoran? Warung? Sepertinya pemiliknya tidak terlalu peduli, sebagai apa kontainer berukuran delapan kali dua puluh meter persegi itu dimaknai. Sudah dua jam setelah Nayla membuka tempat usaha barunya yang dinamai Rumah Nayla. Kedengaran lebih mendekati makna kediaman ketimbang tempat usaha. Dan memang ia tinggal di sana. Sekitar setahun lalu Nayla membeli sebidang tanah yang tidak terlalu besar—jika dibandingkan dengan luas tanah rumah sebelumnya, tapi juga tidak terlalu kecil—jika dibandingkan dengan luas tanah rumah tipe sederhana. Tak sampai seratus lima puluh meter persegi luas tanahnya. Lalu dibelinya dua kontainer, satu dijadikan tempat usaha bernama Rumah Nayla,

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke

Aku Membuatmu Bersetia kepada Kesepian dan Kesedihan

Yanusa Nugroho Salya termangu. Dataran luas Kurusetra, yang sekejap lalu dipenuhi manusia saling bacok, tiba-tiba kosong. Lengang, seperti sebuah beranda dengan bangku bambu yang bisu. Di atas kereta perangnya, Salya terpaku. Dia merasakan angin lembah membelai pelipisnya yang beruban, yang basah berkeringat. Musim apakah saat ini? Ada panah mendesing, entah dari mana, dan entah mengenai siapa, tetapi yang tiba-tiba lenyap begitu saja, seperti dibawa angin, atau jin, mungkin malaikat; siapa yang paham? Kurusetra kosong. Kurusetra seperti seraut wajah manusia berusia 300 tahun; renta, rapuh, sepi, dan tak bisa ditandai lagi. “Lalu, aku harus bagaimana, ayah?” tiba-tiba Candabirawa, pemuda ganteng yang terlalu cantik-mungkin terlalu perempuan untuk disebut laki-laki. Tetapi, barangkali, memang tak penting itu semua, karena Candabirawa sesungguhnya bukan bangsa manusia, sehingga batasan ‘laki-perempuan’ tentu tidak berlaku baginya. Jika dia berwajah ganteng, cantik, atau menaku

Mince, Perempuan dari Bakunase

FANNY J POYK Apa yang akan kaulakukan jika suamimu kerap memukulimu, lalu ia melakukan pelecehan dengan mempermalukanmu di depan umum kemudian mengarang kisah yang sangat imajinatif seolah-olah kaulah yang melakukan perbuatan tercela, hingga akhirnya masyarakat menghakimimu dengan gosip nyinyir yang sangat menyakitkan? Apa yang akan kaulakukan jika suamimu pemabuk, minum ”sopi” setiap saat, lalu marah-marah bila pulang ke rumah tanpa ada makanan di meja makan, sementara ia kadang memberi uang belanja atau bahkan sering tak memberi? Apa yang akan kaulakukan bila suamimu bermain gila dengan perempuan lain, kemudian terang-terangan membawa perempuan itu ke rumah dan tidur seranjang hari dengannya di hadapanmu dengan sikap penuh ejekan? Mince Messakh, perempuan dari Bakunase, sebuah kampung di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, menjawab dengan ringan, tegas dan penuh nada amarah. ” Cuki mai , beta akan ambil parang, beta cincang dua-duanya sampai dong dua pung batang leher putu

Ida Waluh di Lereng Gunung Agung

Gde Aryantha Soethama Sudah larut malam, barak pengungsi itu dipagut sepi. Mereka saling pandang ketika hendak memutuskan siapa akan menjemput Ida Waluh di lereng Gunung Agung. Perjalanan kurang dari tiga jam, tapi penuh mara bahaya, jika gunung yang dalam keadaan awas itu tiba-tiba meletus. “Saya bersedia,” ujar seorang anak muda mengacungkan tangan tiba-tiba setelah sekian lama suasana bisu beku. Semua memandangnya dengan seksama. Dia tamatan institut teknologi informasi, bekerja di penyedia jasa web design di Jimbaran. Ia yatim piatu, kuliah ditanggung bibinya yang tidak menikah, hidup dari menjual sembako di pasar kecamatan. Sejak warga dusunnya, Desa Kesimpar, di lereng Gunung Agung mengungsi ke Swecapura, Ananta selalu bermalam bersama mereka. Saban hari ia ulang-alik Swecapura-Jimbaran menempuh dua jam bermotor. “Kalau begitu, saya ikut,” usul laki-laki bersarung, mengenakan kemeja endek. “Biar saya sendiri saja, Pak Losen. Bapak dibutuhkan di sini menyambut kun

Empat Babak Cornelia

AM Lilik Agung Babak Pertama Jumat malam ini, kali ketiga aku datang ke kafé berjuluk “Green & Blue”. Kapal-kapal wisatawan memenuhi riak Sungai Thames. London Bridge dalam sapuan cahaya neon bergantian warna. Sepotong “black forest”, secangkir caffe latte dengan sedikit gula. Begitu aduhai duduk di Green & Blue Café. Itu hanya pelengkap. Hidangan istimewa tetap dia, sesosok wanita berwajah Asia yang selalu membawakan sebuah lagu di panggung kecil pojok kafé. Jumat ketika aku pertama datang ke sini. Jam sudah merayap ke angka sembilan malam. Ketika aku mau beranjak pergi sehabis mencecap secangkir caffe latte. Dia berjalan ke panggung. Membisikkan kalimat kepada salah satu pemain band. Lalu suara parau dengan lengkingan gitar menyayat terdengar. “Cry Baby”-nya Janis Joplin. Tak jadi aku mengangkat tubuh. Menikmati dia yang penuh perasaan mendendangkan tembang blues yang bertambah muram pada temaram lampu kafe. Lalu Jumat malam ketika tumpukan pekerjaan mingguan

Perempuan Berambut Api

Ni Komang Ariani Dosa terbesar saya hari ini adalah karena saya telah membiarkan rambut saya tergerai. Orang-orang memandang saya dengan kebencian yang tidak saya mengerti. Terutama perempuan tua berambut kusut itu. Ia mengira saya adalah perempuan Liak, yang gemar menari di kuburan desa untuk merapal mantra ilmu hitam. Ia menuduh saya kerap menari memutari Sanggah Cucuk, dengan menaikkan satu kaki, sambil melengkingkan tawa mengikik yang meremangkan bulu kuduk. Perempuan itu mengatai-ngatai saya perempuan berambut api. Ia membuang ludahnya yang kental setiap saya melintas. Orang-orang lain ikut membenci saya. “Kamu masih bau kuburan,” katanya dengan suara yang serak dan dalam. “Kelak kau akan diburu obor yang menyala-nyala. Di tempat itu, kau tidak dapat lagi memamerkan senyummu. Kau hanya akan menjerit-jerit kesakitan. Tubuhmu akan menjelma batang-batang kayu bakar. Kau akan menjadi makanan api. Ia akan menyulapmu, menjadi seonggok abu.” Perempuan itu memercayai apa y