Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2017

Rumah Batu Kakek Songkok

Lina PW “Jadi juga pesan pasir?” tanya Sabang pada ayahnya, dengan napas tersengal.Karya Lina PW Sabang tinggal tak jauh dari rumah Kakek Songkok, panggilan sang ayah oleh warga kampung. Ia memperhatikan sebuah pikap menurunkan pasir, lalu tergopoh-gopoh menghampiri ayahnya. “Iye, kita bikin baru rumah kita, jadi rumah batu,” jawab Kakek dengan senyum mengembang sembari membenahi letak songkok. Karena songkok itulah ia dipanggil Kakek Songkok oleh warga kampung. Peci tak pernah lepas dari kepala Kakek. Bahkan, seluruh anaknya kerap memanggil ayah mereka dengan Kakek Songkok. Sabang mengerutkan kening, yang membuat Kakek teringat pertengkaran dengan putranya dua malam lalu saat Kakek menyampaikan niat menjadikan rumahnya rumah batu. “Kenapa harus rumah batu? Tak usahlah dengar kata orang,” cecar Sabang. Ia satu-satunya yang tidak setuju keinginan ayahnya mengubah rumah papan menjadi rumah batu. Bagi Sabang, rumah masa kecil harus tetap seperti sedia kala. Apalagi kalau ayahny

Sekoci dan Sepasang Lumba-lumba

Mashdar Zainal ARIMBI tak mengerti mengapa tiba-tiba ia sudah berada dalam sekoci itu. Semalam demamnya menjadi-jadi, badannya panas sekali. Saat itu-yang Arimbi ingat, Sugi datang dan membopong tubuhnya, lalu membaringkannya di suatu tempat yang dingin dan agak keras. Arimbi tak yakin di mana tempat itu. Apakah di puskesmas, atau di kamar Sugi, atau barangkali masih di kamar Arimbi sendiri. Tapi kini Arimbi tahu, di mana semalam Sugi membaringkan tubuhnya. Di dalam sebuah sekoci. Ya. Di dalam sebuah sekoci. Kini, sekoci itu bergoyang-goyang ringan di tengah laut lepas. Dengan Arimbi yang duduk telimpuh sambil memandang laut yang bagai tanpa ujung. Laut lepas dengan warna abu-abu. Seorang diri. Tanpa Sugi. Dan tanpa siapapun. Lalu ke mana Sugi? Arimbi tersenyum nyeri. Matanya kembali perih. Orang-orang mengatakan, Sugi hilang tiga bulan lalu saat melaut di tengah badai. Orang-orang sudah mengingatkan Sugi untuk lekas memutar haluan dan balik saat tanda-tanda badai mulai datang

Veronika Punya 4 Ayah 4 Ibu

Gatot Prakosa Sepasang burung pipit hinggap di bahunya. Dia terkejut, dan burung-burung kecil itu terbang. Di pohon talok di pekarangan bangsal perawatan, belakang kami, keduanya bercicit. Seekor pipit, entah salah satu dari dua yang tadi atau pipit lainnya, hinggap di atas kepalaku. Lalu seekor lagi menyusul ke bahu kananku. Aku merasa seperti nabi Sulaiman. “Apa aku masih berbau keju? Burung pipit barangkali suka keju.” “Gaklah, Yah. Kalau bau, semua orang pasti lari ketakutan.” Aku membayangkannya. Istriku benar, aku sudah lama tidak membuat kue, jadi tidak mungkin masih bau keju. Burung di atas rambutku mematuki kepalaku. Aku membiarkannya saja. Tapi istriku mengusirnya pergi. “Dulu aku pernah bilang padamu. Waktu kita mengadopsi anak itu. Tapi kau cuma ketawa waktu itu.” Istriku diam. Aku tahu dia sedang mengingat-ingat. “Apa sih?” “Dulu waktu kita mengambil anak itu, aku bilang padamu, kalau aku membawanya pulang agar aku belajar kehilangan.” “Apa kau pernah b

Di Dalam Hutan, Entah di Mana

Dewi Ria Utari Aku tumbuh dengan sebuah larangan yang kudengar sejak aku memahami kata-kata. Sebuah larangan yang menetapkan bahwa seluruh kerabatku dan siapa pun yang masih segaris darah dengan nenek buyutku, untuk tidak memasuki hutan yang berada di pinggir desa tempat aku dan keluargaku hidup. Hutan itu mungkin terdiri dari berbagai macam pepohonan dan tumbuhan. Aku tak pernah yakin karena aku hanya berani sampai di batas luar hutan itu yang ditandai dengan sebuah lapangan rumput seluas kira-kira selapangan sepak bola, untuk memberi jarak dengan perkebunan bermacam-macam milik beberapa warga desa. Aku sebut bermacam-macam karena memang mereka menanami kebunnya dengan bermacam-macam tanaman secara bergantian. Tergantung musim dan tergantung mana yang harganya tengah bagus di pasaran. Sering kali penduduk di sini menanaminya dengan jagung, kedelai, sayur-sayuran seperti kacang panjang, hingga tembakau. Keluargaku juga memiliki sebagian lahan kebun, namun karena sudah tak ada la