Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2017

Hikayat Rumah Lanting

Sandi Firly “Kelak, apa yang aku kisahkan ini tinggal menjadi hikayat. Hikayat rumah lanting. Maka catatlah baik-baik setiap perkataan dan kisahku sebelum akhirnya nanti aku menutup mata, dan tak pernah lagi kulihat cahaya matahari pagi atau senja mengapung di sungai dari jendela ini.” Kai Badar, yang usianya telah melampaui abad, mulai bercerita sembari berbaring di kasur lepek usang di samping jendela. Di luar, senja kuning mulai luruh. Aku menyiapkan buku catatan, dan meletakkan sebuah tape recorder di samping bahunya yang telanjang, kering, dan kurus. Meski sesekali diselingi batuk-batuk yang seolah keluar dari rongga dadanya yang tipis-sesungguhnya lebih mirip derit pintu yang engselnya tak pernah diberi minyak pelumas, ia bercerita cukup lancar, terkadang seolah memojokkanku walau kutahu ia tak bermaksud begitu. Entah karena batuk yang terasa menyayat, atau karena ia terharu, bulir bening mengembun di ujung matanya yang telah rabun. Tak ada yang bisa aku lakukan untuk lela

Cerpen Karya Martin Aleida Terpilih sebagai Cerpen Terbaik ”Kompas” 2016

PENGHARGAAN SASTRA Dahono Fitrianto & Wisnu Dewabrata 15 Juni 2017 21:46 WIB Kompas/Hendra A Setyawan  Penulis Martin Aleida menceritakan latar belakang penulisan cerita pendek karyanya berjudul ”Tanah Air” yang terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2016 dalam malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (15/6). JAKARTA, KOMPAS — Cerita pendek atau cerpen ”Tanah Air” karya penulis Martin Aleida terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2016 dalam malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan Nomor 17, Jakarta Pusat, Kamis (15/6) malam. Dalam acara tahunan yang digelar dalam rangkaian peringatan hari ulang tahun Kompas tersebut, sastrawan Triyanto Triwikromo dari Semarang juga mendapat penghargaan Kesetiaan Berkarya. Penyerahan penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2016 diserahkan langsung Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo kepada Martin Aleida. Sementara penghargaan Kesetiaan Berkarya diserahkan Wakil Pemi

Nyonya Durina Mawarni

HARRIS EFFENDI THAHAR Nyonya Mawar baru saja pergi. Kursi tempat duduknya masih panas ketika Pak Wa, suami Nyonya Durina Mawarni, memasuki ruangan dengan wajah sumringah. “Hai, Zul. Bagaimana rencana kita? Jadi?” “Eh, ya. Bapak. Ee, barusan ibu ke sini. Ketemu di luar?” “Ndak, tuh. Ada apa ibu ke sini cari saya? Saya baru saja dari rumah.” “Lho? Katanya Bapak sejak sore kemarin belum pulang.” “Ah, lupakanlah. Saya juga heran. Sejak ibu dipensiun dari pegawai bank, ibu tampak terpukul sekali. Tidak siap. Kesepian. Saya memang pulang agak malam. Tapi, yang bukakan pintu tadi malam ‘kan dia.” Pak Wa mengambil kursi bekas duduk istrinya tadi sambil merogoh kantong. Sepertinya mau merokok. Tapi, kelihatan mengundurkan niatnya merokok ketika sadar sedang berada di ruang ketua jurusan yang sejuk oleh pendingin udara. Pak Wa memang dosen yang suka merokok sekali pun tidak bisa digolongkan sebagai perokok berat. Sepertinya Pak Wa penasaran oleh kedatangan istrin