Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2018

Ziarah Terakhir Gus Dar

Triyanto Triwikromo Setelah shalat tahajud, Gus Dar merasa mendapat pesan yang sudah lama ditunggu: kau akan mati pada saat berziarah di salah satu makam wali. Kiai 81 tahun itu gemetar. Bukan karena takut. Ia justru takjub pada kedatangan pesan yang terduga itu. Ia sama sekali tidak ingin menghindar dari kematian. Karena itulah, sesungguhnya, ia tak hendak melacak dari mana asal pesan. ”Tetapi kalau berasal dari iblis, bahaya juga. Mati dalam rengkuhan tangan perkasa sang iblis bukanlah kenikmatan yang kuinginkan.” Gus Dar, pemimpin Pondok Pesantren Kalipungkur yang meskipun telah uzur tetap dipanggil dengan sebutan Gus itu, lalu membayangkan bagaimana pesan kematian tersebut sampai kepadanya. Mungkin mula-mula Allah berbisik kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad berbisik kepada merpati. Merpati berbisik kepada angin. Angin mengulang berkali-kali kemudian menyampaikan kepada hujan. Kata Hujan: aku tidak sanggup menyampaikan sendiri. Aku akan segera membisikkan pesan ini kepada Su

Ziarah Kepayang

Martin Aleida Lima puluh tahun…! Rentang waktu sepanjang itu tak membawa perubahan di sini. Jembatan yang terbuat dari kayu besi, masih tegak seperti yang kukenal setengah abad lalu. Hitam legam. Penduduk yang akan membawa hasil bumi ke kota, sejauh tujuh kilo, di muara sungai, tetap harus mengalah. Menunggu air sungai surut supaya sampan yang sarat bisa melintas di kolong jembatan. Jalan diapit sungai kecil, yang kami sebut bendar, tetap seperti ketika kulewati dulu. Jalan di mana orang-orang Tionghoa dari kota datang di musim berburu, dan pulang memanggul babi hutan yang masih berlumuran darah, hasil buruan yang ditinggalkan begitu saja oleh orang kampung yang mengharamkannya. Juga uangnya! Di jalan ini aku pernah terjerembab ditindih gerimis, mencium tanah, dalam perjalanan berkilo-kilo bersama Abang menuju pasar malam. Bau tanah liat di tapak kakiku masih seperti lima puluh tahun lalu. Aku menyeberangi titian. Berhenti, merenung di depan gundukan tanah. Kata Emak, seminggu

Jas yang Kawin Dua Kali dan Celana yang Setia

Arswendo Atmowiloto Lelaki muda, belum selesai dua tiga tahun, setelah bekerja serabutan dan memperoleh penghasilan tidak tentu, menyatakan keinginannya memiliki jas. Satu setel dengan celana-sewarna-yang kalau dipakai berpasangan menambah gagah. Lelaki itu belum pernah memiliki jas dan setelannya sebelum ini. Ketika keinginannya disampaikan kepada ibunya, perempuan yang menjanda sejak bapak lelaki muda itu meninggal, tersenyum dan maklum. “Kamu sudah besar. Ibarat burung kalau sudah mulai menghias bulunya, dan memperhatikan sarang, itu tandanya siap bertelor.” Lelaki muda belum menyadari artinya karena yang menyibuki sekarang ini adalah bahwa dengan memiliki jas hitam, ia juga harus punya sepatu yang bersih, kaus kaki, baju putih, dan dasi. Butuh waktu tertentu untuk menggenapi itu semua. Dan ketika waktunya tiba, ia berkata kepada ibunya. “Bu, kita potret bersama. Menandai zaman baru, karena sekarang ada foto berwarna.” Lalu mereka ke studio foto, tapi harus menunggu semingguan

Banjir Kiriman

Zainul M uttaqin Hampir seminggu setelah hujan mengucur deras. Orang-orang mengungsi di masjid. Genangan air tak kunjung surut. Tingginya sepinggul orang dewasa. Banjir itu datang bersamaan dengan jebolnya bendungan Sungai Campoan. Tiap hari awan hitam membungkus permukaan langit, disertai gerimis tipis liris serupa helai-helai rambut. Mereka berusaha meredam cemas. Khawatir rumah yang ditinggalkan sudah diseret air bah. ”Ikhlaskan kalau memang rumah harus diseret banjir.” Maksan, laki-laki berkumis tebal, menepuk pundak kawannya yang menampakkan wajah murung. ”Kalau air tak kunjung surut, apa tidak mungkin masjid ini juga bisa-bisa ditenggelamkan banjir?” tanya Kasno kepada Maksan. Mereka berdua bertetangga. Tapi, pembicaraan di antara mereka terjadi setelah dua lelaki paruh baya itu sama-sama mengungsi di masjid itu. Sebelum banjir datang, Kasno dan Maksan jarang bertegur sapa, apalagi sampai mengobrol berjam-jam seperti ini. ”Masjid adalah tempat paling aman. Tak mungkin ba