Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Karangan Bunga

Desi Puspitasari Seharusnya Sabtu pagi itu menjadi hari yang cerah dan tenang bagi Helene. Pukul sembilan ia akan membuka toko dan menata karangan-karangan bunga sesuai rangkaian ciamik hasil kreasi tangannya. Lalu, ia akan membikin segelas teh lemon yang ditambahi sedikit gula—entah mengapa ia paling tidak bisa menghabiskan teh tawar sejak kecil—meletakkannya di salah satu meja di dalam toko. Tak perlu ada tambahan biskuit atau kudapan ringan untuk menemani ritual minum teh paginya. Ia tak ingin tubuhnya menjadi gembrot. Meski tak mungkin lagi jatuh cinta dan atau bercinta, Helene tetap ingin menjaga tubuhnya tetap ramping. Namun, dering telepon pagi itu membuyarkan segala rutinitas akhir pekan yang cerah dan menyenangkan. Seseorang di seberang sana memesan karangan bunga untuk kematian. Gangguan semacam ini tak pernah menjadi masalah bagi Helene karena untuk itulah ia membuka toko bunganya; menyediakan bunga baik untuk kegembiraan seperti pernikahan, pesta ulang tahun, lamara

Gentong Tua

Muna Masyari Dua gentong berusia ratusan tahun itu bagai sepasang manusia renta yang tercampakkan. Keduanya duduk muram di sudut kamar paling belakang. Menekur diam. Bibirnya berlumur lelehan pewarna yang pekat dan sudah mengering. Menatap gentong tua itu tiba-tiba aku seperti melihat bayangan ibumu. Melihat kedua tangannya yang berwarna kerak nasi dan telah menghasilkan lembar-lembar batik gentongan, yang sebagian dijual dan sebagian lagi sudah dipersiapkan untuk pernikahanmu, sebagaimana kewajiban seorang ibu memersembahkan hadiah itu, meskipun sudah pernah kautegaskan bahwa itu tidak perlu! Dialah perempuan Tanjungbumi yang tak lelah menyunggi tradisi meskipun berkelindan dengan sepi. Lepas hari ketujuh, para tetangga tak lagi bertandang. Tentu mereka kembali sibuk dengan kain mori, lelehan lilin dan gentong, yang sempat ditinggal selama sepekan karena ikut bantu-bantu di sini, di rumahmu. Sepulang dari pekuburan di penghujung senja, setelah menyirami pusara ibumu dengan

Musim Berburu Telah Dimulai

Sandi Firly Membiru dan bau. Dada bolong—seperti matanya yang terbelalak kosong, tanpa jantung. Senja di kampung pinggiran hutan Meratus seketika riuh. Ini mayat kedua—satu minggu lalu juga ditemukan seonggok tubuh membusuk dengan kondisi yang sama. ”Hanya Anak Sima yang sanggup melakukan pekerjaan semacam ini,” ucap seorang kakek di tengah kerumunan warga kampung yang menutup mulut dan hidung. Orang-orang menoleh kepada kakek berpakaian lusuh dengan jenggot panjang memutih. Tidak banyak yang mengenalnya. Sebagian hanya tahu bila kakek itu berdiam seorang diri di atas bukit. Anak Sima, itu adalah kisah usang dan bahkan sebagian hanya menganggapnya karangan. ”Bagaimana Kakek yakin ini ulah Anak Sima?” tanya seorang pemuda. “Bukankah itu dongeng belaka?” Tatapan orang-orang beralih dari mayat—yang mulai mengundang lalat-lalat hijau besar datang. Mereka menunggu kakek bicara. ”Tidakkah kalian lihat bagaimana kondisi mayat ini?” cetus kakek. ”Tidak ada beruang, atau binatang

Ayat Kopi

JOKO PINURBO Kedai kopi bermunculan di mana-mana, tetapi warung kopi Bu Trinil tetap menjadi favorit saya. Kopi bikinan Bu Trinil tetap paling jos rasanya; saya sudah merasakan khasiatnya bagi kesehatan jiwa saya. Di warung Bu Trinil saya bisa berkenalan dan mengobrol dengan berbagai macam orang. Petang itu, misalnya, saya berkenalan dengan seorang pria berbaju batik biru, namanya Marbangun. ”Panggil saja Bang Bangun,” ujarnya. Marbangun bercerita, saat ini dia sedang menata hidupnya. Sudah bertahun-tahun dia mencari peruntungan di dunia politik, tetapi belum juga membuahkan hasil. Dia pernah dua kali nekat ikut mencalonkan diri sebagai anggota badan legislatif di kotanya dan kedua-duanya gagal. ”Semoga sampean tidak terjerumus ke dalam kancah politik. Politik itu keras, penuh muslihat. Orang lugu seperti sampean akan celaka,” katanya. Untuk menuruti ambisinya, banyak harta benda yang telah dia korbankan. Dia sudah menjual tanah dan sapi di kampung, mobil, perabotan furnitur

Suara di Bandara

Budi Darma Ketika saya terbangun, pesawat baru saja memasuki wilayah Hongaria, dan pada waktunya nanti pasti akan mendarat di Amsterdam. Inilah pekerjaan saya sebagai penerbit: menerbitkan buku, mengusahakan terjemahan, memasarkan buku di negara-negara Eropa, jual beli hak cipta, dan berbagai negosiasi lain. Dan pekerjaan ini saya lakukan satu tahun sekali, atau, kadang-kadang dua tahun sekali. Tapi, karena dalam beberapa bulan terakhir saya sering mendengar suara perempuan di bandara-bandara besar, saya berusaha untuk lebih sering bepergian. Kalau saya tidak datang lagi dalam waktu lama, mungkin suara itu akan diganti oleh suara orang lain. Rekaman pengumuman mengenai keberangkatan dan kedatangan pesawat internasional bisa saja sewaktu-waktu diganti. Pengumuman dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Mandarin, dan Jepang, itu biasa. Yang luar biasa, di samping bahasa-bahasa itu, adalah pengumuman dalam bahasa Indonesia, dan juga bahasa etnik Jawa. Suaranya halus tapi sekal

Kau Tidak Harus Menanggung Beban dari Seluruh Kejadian di Dunia Ini

Yetti A.KA Kakakku tiba-tiba menelepon. Ia bilang, terjadi tabrakan beruntun di depan rumahnya. Aku katakan kalau aku juga punya masalah. Bulu, seekor kucing Persia yang kuadopsi dua bulan lalu, hilang di dalam kandang. Kakakku bilang, pikirannya hitam, begitu hitam, dan kupastikan ia merasa putus asa dan tergugu di balik pintu rumahnya karena tidak sanggup membayangkan darah berceceran di jalan. Aku tahu ia memiliki trauma berat soal itu—juga masih banyak soal yang lain—tapi aku tidak sanggup untuk menyembunyikan kalau ada sesuatu yang juga menggangguku pada pagi ini dan ia mesti mendengarnya. Panggilan telepon memang sudah dimatikan kakakku. Namun, aku tetap mencoba menjelaskan kepadanya, ”Ketika aku bangun pagi ini, aku tidak menemukan Bulu. Padahal, ia berada di dalam kandang yang pintunya sengaja kukaitkan di malam hari, biar dia tidak keluar dan keluyuran. Kandang kucing itu memang kuletakkan di teras depan. Kau tahu aku tidak bisa memasukkannya ke dalam rumah. Nui dan Lo

Bertemu Batu

GDE ARYANTHA SOETHAMA Bulat sudah tekad lelaki itu pergi ke pegunungan, menembus belantara pohon. Dia sudah jenuh bertemu laut, lelah berjemur di pantai. Sudah dua tahun dia menggali pasir, lalu berbaring membenamkan tubuhnya di lubang galian, hanya sebatas leher dan kepala yang tampak. Selalu begitu ia lakukan, setiap matahari sore setinggi pinggang batang kelapa. Ia akan pulang jika matahari terbenam, mengibas-ibaskan pasir yang melumuri tubuh. Badannya akan terasa hangat, ngilu dan kesemutan berkurang, dan berharap tidur akan lelap ini malam. Tapi, laki-laki itu tak kunjung sembuh dari sakit yang bertahun-tahun ia derita, yang membuat badannya sering loyo tak bertenaga. Padahal ia sudah dengan tertib dan tekun menjalankan anjuran teman-temannya untuk membenamkan diri di pasir pantai yang hangat saban sore. ”Sudah banyak yang berhasil,” rajuk rekan-rekan lelaki itu. ”Aliran darah akan lancar, bebas stroke, jantung membaik, diabetes lenyap, otot-otot kaki menguat, badan tak la

Bapak

Ahimsa Marga Usiaku baru 8 tahun ketika ibu melarangku mbeksa.*) Padahal baru saja aku bisa naik kendi kosong, mengatur keseimbangannya sambil mbeksa dan memutarnya ke arah delapan mata angin. Tapi kegembiraan bisa menguasai Beksan Bondan, langsung dipupus oleh ibu. ” Ndhuk , mulai sekarang kamu tidak usah ikut latihan nari lagi di sana.” Aku tidak tahu alasannya. Toh kursus beksa itu tidak bayar. Lagipula, bukannya ibu yang mendorongku belajar mbeksa ? Ibuku dulu penari Gambyong*) di pendopo kewedanan, begitu bisik-bisik yang kutangkap dari kanan-kiri. Di situ Ibu bertemu laki-laki yang katanya adalah ayahku. Di kamarku ada potret laki-laki tak kukenal tetapi tak pernah mengusik keingintahuanku. Suatu hari sepulang sekolah, kulihat ibu bercakap-cakap dengan seorang laki perlente. Wajahnya halus, sedikit diangkat, menunjukkan dia berasal dari keluarga yang berbeda dengan kami. Ibu bersikap sangat hormat pada laki-laki yang dipanggilnya ”Ndoro” itu. Ketika melihatku, laki-l

Merah Pedas

Wicak Hidayat Di atas batu, merah terguling. Potongan-potongan cabai dengan kulitnya yang keriput. Satu demi satu terjatuh dalam gerak lambat, memantul pada permukaan yang kasar. Lalu butiran garam yang putih. Beberapa irisan gula merah, serpihan cokelat kehitaman. Lalu tumbukan pertama yang perlahan menghancurkan semuanya, dari bentuknya yang utuh dan terpisah-pisah menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Merah. Pedas. Semua dimulai, kata Ibu, dari hatimu. Untuk apa kamu mau membuat sambal ini? Siapa yang bakal memakannya? Apa yang kamu inginkan mereka rasakan di saat-saat lidah mereka menyentuh campuran bahan-bahan ini? Merah. Pedas. Lisa kecil menikmati momen-momen ini. Melihat tangan lentik ibunya menari di atas bahan-bahan. Jari-jari itu seakan punya jiwanya sendiri, memilih di antara batang-batang cabai yang tampak agak keriput dan menentukan mana yang akan diambil. Ibu selalu memetik cabai dengan tangannya sendiri, mematahkan tubuh merah itu ke atas cobek batu ka