Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2017

Kalau Kau Memandang dengan Mata Terpejam

Hajriansyah Birin mengucek matanya yang merah darah. Semakin dikuceknya semakin perih. Jari-jarinya basah. Agak samar ia melihatnya berwarna darah. Sementara pecahan kaca semakin menempel, perih makin parah. Ibunya yang melihatnya terpekik. Hening sesaat, lalu ia berteriak, “Usuuup!” Rumah lanting berayun, tanda seseorang menjejak dengan kaki yang tergesa. Pamannya itu bereaksi cepat, ia tangkap tangan Birin yang masih mengucek, digendongnya anak kecil itu dan berlari membawanya ke mantri terdekat. Ibunya rebah di atas kaki bertelimpuh, hilang tenaga. Ibu-ibu tetangga datang menghiburnya. Peristiwa hilangnya penglihatan Birin itu terjadi saat umurnya belum genap lima tahun. Menjelang usia sekolah. Kini ia telah memasuki usia remaja, waktu sepuluh tahun berlalu seperti air sungai mengalir menuju muara. Kadang terasa kadang tidak. Birin menjalaninya dengan tabah. Tapi tidak bagi ibunya. Orangtua yang malang itu sering menangis di malam hari. Suaranya samar-samar ditangkap tel

Lelaki Garam

MADE ADNYANA OLE Pada saat bersamaan ketika lelaki itu mengibaskan ujung kerah kemeja di sisi bahu yang basah oleh keringat, Jenawi tanpa sadar menjulurkan sedikit ujung lidah untuk melontarkan biji jambu yang tertinggal di mulut sehabis meneguk jus campur buah lokal. Tepat saat itulah lidahnya mencecap rasa asin yang menggetarkan hati, asin yang dirindukannya sejak bertahun-tahun lalu. Ia merasakan angin aneh berembus dari tubuh lelaki itu, angin dengan kandungan uap garam yang basah. Uap itu mungkin meruap dari keringat yang terbang ketika ujung kerah kemeja lelaki itu dikibaskan. Mereka sama-sama berdiri di tepi danau, di pinggiran acara Festival Wisata Air yang digelar Dinas Pariwisata. Jadi, tak mungkin ada embusan uap garam dari danau, kecuali dari tubuh lelaki dengan kejanggalan yang menyiksa: keringat berlebih di udara sejuk sekali pun. Jenawi serasa mabuk. Dan dengan dorongan sensasi asin ia dekati lelaki itu, lelaki yang melamun sendiri di bibir danau, di antara tong

Hikayat Tukang Kayu

Abdul Hadi Ketika tubuhnya menjadi lapuk digasak wabah yang tak dikenal, tak diragukan lagi, ajal Kalan sudah berada di ujung tanduk. Melihat parahnya penyakit yang bersarang di badannya, rasanya tak mungkin nyawanya terselamatkan. Apabila ia meninggal, mungkin inilah akhir dari hikayat tukang kayu yang kisahnya kesohor di sepanjang daratan Karuman. Awalnya, pekerjaan sebagai tukang kayu hanyalah pekerjaan biasa, tak berbeda semacam tukang rotan, tukang besi, tukang dempul, dan tukang-tukang lainnya. Namun, karena saban hari harus merayapi hutan, menjejak perdu, serta menebang beraneka-rupa pohon, mau tak mau, beberapa tukang kayu yang sangat erat memegang adat selalu membentengi diri dengan mantra. Orang-orang Kutai percaya bahwa hutan memiliki penunggu, pohon-pohon mempunyai penjaga, dan bala celaka selalu mengintai pendatang asing yang berulah tingkah semaunya. Sejak saat itu, tukang-tukang kayu diberi mandat sebagai penjaga adat. Penguasa mantra dan aji pelindung. Turun-temu

Surga Pembangkang

Ken Hanggara Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang-dalam aku-bersama kesepuluh prajuritnya. “Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar,” kata Herman padaku. Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka. Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia. Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. “Kau jadi bagianku, aku bagianmu,” kataku. Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajurit yang ia bawa turut bersembunyi dalam cangkangku. Mereka buronan.

Penagih Hutang Bersepeda Kumbang

Farizal Sikumbang Perihal cerita tentang seorang penagih hutang bersepeda kumbang, memang sudah banyak dilupakan oleh orangtua di kampung Kuranji. Bagi anak-anak, dan remaja yang beranjak dewasa, tentu saja cerita itu kini bagai tak pernah ada, karena tak pernah dituturkan oleh orangtua mereka. Tapi bagi keluarga kami, cerita itu tetaplah hidup. Si penagih hutang itu, memang sudah tidak ada di kampung Kuranji. Mungkin itu yang membuat kisah ini tidak abadi di banyak orang. Karena musim mengikisnya, dan juga masa telah melupakannya. Tapi tentang sepeda kumbang itu? Ia benar-benar ada. Karena sepeda kumbang itu tergantung rapi di sudut dapur rumah kami. Rumah kami? Masih seperti dulu. Berpuluh-puluh tahun lampau tidak jauh berbeda ketika si penagih hutang itu ada. Rumah panggung berdinding papan. Dan karena usia, sebagian papan-papan itu sudah lapuk dimakan rayap, sebagian lagi sudah diganti oleh Uni Ida dengan papan yang baru. Uni Ida dan suaminya, beserta tiga anaknya tinggal