Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2018

Kau Tidak Harus Menanggung Beban dari Seluruh Kejadian di Dunia Ini

Yetti A.KA Kakakku tiba-tiba menelepon. Ia bilang, terjadi tabrakan beruntun di depan rumahnya. Aku katakan kalau aku juga punya masalah. Bulu, seekor kucing Persia yang kuadopsi dua bulan lalu, hilang di dalam kandang. Kakakku bilang, pikirannya hitam, begitu hitam, dan kupastikan ia merasa putus asa dan tergugu di balik pintu rumahnya karena tidak sanggup membayangkan darah berceceran di jalan. Aku tahu ia memiliki trauma berat soal itu—juga masih banyak soal yang lain—tapi aku tidak sanggup untuk menyembunyikan kalau ada sesuatu yang juga menggangguku pada pagi ini dan ia mesti mendengarnya. Panggilan telepon memang sudah dimatikan kakakku. Namun, aku tetap mencoba menjelaskan kepadanya, ”Ketika aku bangun pagi ini, aku tidak menemukan Bulu. Padahal, ia berada di dalam kandang yang pintunya sengaja kukaitkan di malam hari, biar dia tidak keluar dan keluyuran. Kandang kucing itu memang kuletakkan di teras depan. Kau tahu aku tidak bisa memasukkannya ke dalam rumah. Nui dan Lo

Bertemu Batu

GDE ARYANTHA SOETHAMA Bulat sudah tekad lelaki itu pergi ke pegunungan, menembus belantara pohon. Dia sudah jenuh bertemu laut, lelah berjemur di pantai. Sudah dua tahun dia menggali pasir, lalu berbaring membenamkan tubuhnya di lubang galian, hanya sebatas leher dan kepala yang tampak. Selalu begitu ia lakukan, setiap matahari sore setinggi pinggang batang kelapa. Ia akan pulang jika matahari terbenam, mengibas-ibaskan pasir yang melumuri tubuh. Badannya akan terasa hangat, ngilu dan kesemutan berkurang, dan berharap tidur akan lelap ini malam. Tapi, laki-laki itu tak kunjung sembuh dari sakit yang bertahun-tahun ia derita, yang membuat badannya sering loyo tak bertenaga. Padahal ia sudah dengan tertib dan tekun menjalankan anjuran teman-temannya untuk membenamkan diri di pasir pantai yang hangat saban sore. ”Sudah banyak yang berhasil,” rajuk rekan-rekan lelaki itu. ”Aliran darah akan lancar, bebas stroke, jantung membaik, diabetes lenyap, otot-otot kaki menguat, badan tak la

Bapak

Ahimsa Marga Usiaku baru 8 tahun ketika ibu melarangku mbeksa.*) Padahal baru saja aku bisa naik kendi kosong, mengatur keseimbangannya sambil mbeksa dan memutarnya ke arah delapan mata angin. Tapi kegembiraan bisa menguasai Beksan Bondan, langsung dipupus oleh ibu. ” Ndhuk , mulai sekarang kamu tidak usah ikut latihan nari lagi di sana.” Aku tidak tahu alasannya. Toh kursus beksa itu tidak bayar. Lagipula, bukannya ibu yang mendorongku belajar mbeksa ? Ibuku dulu penari Gambyong*) di pendopo kewedanan, begitu bisik-bisik yang kutangkap dari kanan-kiri. Di situ Ibu bertemu laki-laki yang katanya adalah ayahku. Di kamarku ada potret laki-laki tak kukenal tetapi tak pernah mengusik keingintahuanku. Suatu hari sepulang sekolah, kulihat ibu bercakap-cakap dengan seorang laki perlente. Wajahnya halus, sedikit diangkat, menunjukkan dia berasal dari keluarga yang berbeda dengan kami. Ibu bersikap sangat hormat pada laki-laki yang dipanggilnya ”Ndoro” itu. Ketika melihatku, laki-l

Merah Pedas

Wicak Hidayat Di atas batu, merah terguling. Potongan-potongan cabai dengan kulitnya yang keriput. Satu demi satu terjatuh dalam gerak lambat, memantul pada permukaan yang kasar. Lalu butiran garam yang putih. Beberapa irisan gula merah, serpihan cokelat kehitaman. Lalu tumbukan pertama yang perlahan menghancurkan semuanya, dari bentuknya yang utuh dan terpisah-pisah menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Merah. Pedas. Semua dimulai, kata Ibu, dari hatimu. Untuk apa kamu mau membuat sambal ini? Siapa yang bakal memakannya? Apa yang kamu inginkan mereka rasakan di saat-saat lidah mereka menyentuh campuran bahan-bahan ini? Merah. Pedas. Lisa kecil menikmati momen-momen ini. Melihat tangan lentik ibunya menari di atas bahan-bahan. Jari-jari itu seakan punya jiwanya sendiri, memilih di antara batang-batang cabai yang tampak agak keriput dan menentukan mana yang akan diambil. Ibu selalu memetik cabai dengan tangannya sendiri, mematahkan tubuh merah itu ke atas cobek batu ka