Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2018

Lorong Gelap

Budi Darma Jumlah sel terpidana mati terbatas, hanya tiga belas, di ujung lorong gelap yang memisahkan penjara terpidana biasa dan terpidana mati. Begitu seorang terpidana mati siap untuk dieksekusi, seorang terpidana mati yang masih tinggal di penjara biasa diseret ke lorong gelap, diserahkan kepada kelompok sipir khusus. Jam sebelas malam sel Den Hardo digedor-gedor, tanda bahwa dia harus segera diseret ke lorong gelap, menggantikan terpidana mati yang siap akan dieksekusi. Beberapa sipir menyambut kedatangan Den Hardo, mengikat tubuh Den Hardo dengan kuat dan menyumpal mulut Den Hardo untuk menghadapi upacara awal: cap stigma. Sebatang besi menyala dilekatkan ke dada bagian depan, dada bagian belakang, kedua tangan, serta di leher dan tengkuk. Desis dan bau daging terbakar menyusup ke semua bagian lorong gelap, dan Den Hardo tidak mungkin berteriak dan berkelejatan menahan rasa sakit karena mulutnya telah disumpal dan tubuhnya telah diikat kuat-kuat dengan tali khusus. La

GoKill

Seno Gumira Ajidarma Jika ingin membunuh seseorang, kontaklah GoKill. (iklan di media sosial) Tahukah dikau rasanya membunuh seseorang yang sedang makan lalampa pada gigitan pertama, tepat ketika potongan ketan berisi ikan itu melewati tenggorokannya? Aku tahu rasanya, karena akulah yang membunuhnya. Tentu ia sempat mengunyah sebelum menelannya, jadi ia sudah tahu rasa lalampa, gurih dan sedikit pedas. Bagiku itu cukup. Ia sudah menikmatinya. Setelah itu ia boleh mati. Saat itulah peluru yang kutembakkan menembus pelipis kirinya untuk keluar lagi dari pelipis kanan. Ketika nyawanya pergi potongan lalampa itu mungkin sudah sampai ke perutnya. Jika petugas forensik membedahnya akan berkesimpulan, ”Ada ketan, ada ikan pedas, sebelum mati korban telah menelan potongan pertama lalampa.” Pasti akan cocok dengan sisa potongan di lantai yang masih empat perlimanya, masih terbungkus daun pisang yang sedikit gosong, mudah-mudahan tidak ada petugas yang berpikir mungkin itu masih

Kapotjes dan Batu yang Terapung

Faisal Oddang Pagi ini, saya tidak perlu menebak siapa lelaki sialan yang bakal membayar karcis untuk tubuh saya. Tidak ada lagi bayonet yang memaksa saya membungkuk ke arah Tokyo. Tangsi-tangsi militer telah kosong dan kami dicampakkan seperti sepah tebu. Kini, di gerbang kompleks pelacuran, langkah saya tidak memiliki tujuan—saya tidak punya apa-apa selain dada penuh luka. Dua tahun lalu, saya diseret ke tempat ini lalu diempaskan ke salah satu kamar sempit berdinding papan. Hari pertama, selangkangan saya disodok besi cocor bebek—untuk memastikan kau tidak penyakitan—kata dokter yang memeriksa sebelum memerkosa saya. Beberapa saat setelah dia mengerang keras seperti suara sapi disembelih, teman-temannya—para tentara, datang menuntut giliran. Saya pingsan dengan selangkangan penuh darah hari itu. Ketika terjaga, saya menemukan tatapan terkejut seorang bocah lelaki yang sedang memperhatikan tubuh telanjang saya. Usianya tidak jauh beda dengan adik saya, Suda—sebelas atau dua bela