Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2019

Wakyat

Putu Wijaya Bu Amat tiba-tiba menodong suaminya. ”Sejatinya Wakyat itu siapa, Pak?” Amat tertegun. Berpikir, lalu menggeleng. ”Bapak tidak tahu.” ”Ah, masak tidak? Kita kan yang memilihnya?” ”Memilih? Memilih siapa?” ”Wakyat.” ”Siapa dia?” ”Pilihan kita, kan!” ”Kita siapa? ”Kita yang memilih!” ”Kita ini?” ”Ya dan tidak.” Amat ketawa. ”Ibu ini dulu kan guru bahasa indonesia, sekarang kok bahasanya mundur sekali! Ngomongnya yang bener , dong! Jangan seperti orang bingung. Ya, ya, ya! Tidak, ya, tidak. Tidak bisa ya dan tidak.” Bu Amat tersenyum. Amat berdiri mau cari angin di teras. ”Tunggu dulu, Bapak belum menjawab itu karena tidak tahu atau setuju?” ”Ya dan tidak!” Bu Amat cemberut. Amat ketawa besar lalu ke teras. Tapi belum sempat duduk, pikirannya seperti menyengat. Ia cepat kembali masuk. ”O, maksud Ibu….” Tapi Bu Amat sudah ngeloyor ke dapur. Amat jadi penasaran. Ia sekarang ingat sama Pak Wakyat. Orang itu sempat dipilih oleh penguru

Malam Laksmita

S Prasetyo Utomo Tengah malam, dalam pulas tidur, Ayah mengigau, ketakutan, serupa diburu setan. Berteriak-teriak. Tak jelas benar kata-kata yang diteriakkan. Menampakkan rasa ngeri. Laksmita pernah bertanya pada Ayah, mimpi apakah yang selalu menghantuinya. Ayah tak pernah memberi tahu peristiwa mimpi yang senantiasa mencekam tidur malamnya. Ayah seorang preman, melarikan diri dari pembantaian penembak misterius. Sejak dalam pelarian ke lereng Gunung Merapi, Laksmita, kelas dua sekolah dasar, selalu mendengar teriakan-teriakan ketakutan dalam mimpi Ayah. Bertahun-tahun kemudian Laksmita tumbuh sebagai gadis, terus didengarnya tiap tengah malam, igauan ketakutan. Ayah yang lumpuh, dan selalu terbaring di tempat tidur, menyisakan kengerian masa silam dalam mimpinya. Meninggalkan lereng Gunung Merapi, kembali menempati rumah tua di pinggir kota Yogya yang sepuluh tahun lebih ditinggalkan, Laksmita merasakan hal yang merisaukan. Ayah terus mengigau tiap tengah malam. Laksmita tak

Kari Mak Qori

Ayi Jufridar Sebagai komandan gerilyawan yang disegani, dada Pang Min terasa membara ketika mengetahui Mak Qori memberi makan tentara musuh sebanyak tiga kali sehari, 21 kali dalam sepekan, atau 90 kali sebulan. Perbuatan terlarang itu sudah berlangsung selama dua bulan dan baru diketahui pada pekan pertama bulan ketiga. Pang Min murka kepada Mak Qori sekaligus anak buahnya yang tidak melaporkan kejadian itu pada kesempatan pertama. ”Coba bayangkan, sudah berapa piring nasi dan lauk yang disumbangkan kepada musuh. Dari makanan yang mereka santap itu, mereka dapat tenaga, otak mereka bisa berpikir untuk menyiksa kita. Berapa banyak saudara kalian dibunuh dengan tenaga yang mereka dapatkan dari makanan yang dimasak Mak Qori. Dan kalian membiarkan saja itu terjadi! Berbulan-bulan!” Pang Min memiliki sepuluh regu gerilyawan. Kekuatan setiap regu berbeda, demikian juga persenjataannya. Satu regu terkadang berjumlah 10 orang, terkadang hanya lima saja, tergantung kebutuhan, situasi,

Dolag Melukis Tuhan

Supartika Si tua bangka Dolag menaruh kanvas lukis berukuran 90 x 50 sentimeter di atas potongan kayu yang disandarkannya pada tembok. Ia pandangi kanvas itu sebelum akhirnya menyeringai, memperlihatkan giginya yang ompong di bagian depan dan sisanya berwarna kuning kehitaman. Kumisnya yang memutih sedikit terangkat, maklum kini ia telah memasuki usia kepala tujuh. Dolag beranjak ke meja yang berada di dekat pintu, mengambil dua kaleng cat warna merah dan hitam serta tiga buah kuas dengan ukuran bervariasi. Duduk di depan kanvas, menaruh cat, dan ia kembali menyeringai sambil membayangkan sesuatu yang akan muncul dari kanvas di depannya jika tangannya telah mulai menggoreskan kuas berisi cat. Perlahan dan pasti ia buka tutup kedua kaleng cat itu dan tutupnya ditaruh di samping masing-masing kaleng cat dengan kondisi tengadah. Cat merah ia tuangkan pada tutup kaleng yang kemudian disusul dengan cat hitam. Ia ambil kuas yang berukuran sedang dan mulai mencelupkannya pada cat merah