Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2017

Nio

Putu Wijaya Namaku Nio. Tapi aku lebih suka dipanggil Nia. Bukan karena mataku tidak sipit. Bukan karena tulang pipiku tidak menonjol. Bukan karena wajahku tidak bulat. Bukan karena lidahku tidak cadel. Bukan karena keluargaku kere. Bukan karena kami hidup dalam gubuk miskin di sebuah kampung, baur dengan pendatang dari Madura, Bugis, Padang, Medan, dan Ambon. Bukan juga karena aku tidak mau dibilang keturunan China. Kenapa harus tidak mau? Nenek moyangku totok dari China daratan. Sanak saudaraku masih berserakan di sekitar jalanan Sutera. Aku tidak pernah keberatan, malu, kecil hati atau tersinggung. Bahkan, aku bangga betul berasal dari negeri leluhur yang menciptakan mesiu, percetakan, dan mi yang sekarang menjadi kebudayaan dunia. Bangsa yang pernah melahirkan orang-orang besar, seperti Kong Hu-Cu, Lao Tze. Bangsa yang begitu hebat etos kerjanya sehingga di seluruh dunia ada China Town. Bangsa yang menguasai ekonomi di Indonesia. Satu-satunya bangsa kulit berwarna yang ma

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban

Tubuh Ayah Berwarna Tanah

DAMHURI MUHAMMAD Seberapa lama kita sanggup melihat kembali wajah yang pernah kita kekalkan dalam foto setelah ia meninggal dunia? Tanyamu sambil mencari potret diri seorang tokoh penting dalam sebuah folder khusus di laptopmu. Seorang teman kolumnis spesialis obituari menginginkannya, lantaran orang besar itu baru saja dilaporkan telah meninggal dunia. Bagaimana kalau yang muncul di layar monitor adalah wajah ayahmu sendiri, yang mungkin pernah kau abadikan sebelum ia pergi untuk selamanya? Kau sanggup menatapnya lama-lama? Sekadar melakukan olah-digital ringan untuk kebutuhan cetak buku Yasin dalam acara tahlilan 40 hari setelah kematian, misalnya? Bagimu, itu pekerjaan paling mengerikan. Barangkali lebih berbahaya dari upaya keras mendapatkan sebuah momentum pemotretan dalam situasi yang sedemikian genting. Wajah dalam foto itu seolah-olah ingin bercakap-cakap denganmu. Bibirnya seperti nyata bergerak. Tangannya bagai menggapai-gapai memintamu diam sejenak, menyimak pembicaraan

Percakapan Dua Perasaan

Han Gagas Udara pagi yang segar seketika terasa sesak saat dia mulai marah-marah. Makian-makiannya merusak suasana. Seprai, kasur, dan bantal berhamburan. Semua berantakan. Susah juga para suster menenangkannya. Setiap hari Sabtu, dia selalu begitu. Satu-satunya cara adalah membiarkannya, mengisolasinya dengan mengurungnya di bangsal akut. Nanti, setengah hari kemudian, saat mulai reda, aku akan mendekat, memberinya air putih, segelas. Sekali teguk minuman itu tandas. Kuberi rokok sebatang, dan menyulut ujungnya dengan api. Saat dia mulai mengisap dan menikmati rokok itu pertanda ia sudah tenang. Aku akan duduk di sampingnya, berjam-jam. Kami berdua berdampingan, tanpa bicara, hanya sesekali aku ikut bersedih, ikut menangis diam-diam, sedang dia sesekali hanya mendesis lirih, dengan tatapan hampa. Hari Sabtu, aku tak tahu, ada apa dengan hari itu. Bukankah semua hari sama? Siapa yang bisa menjelaskan kepadaku, apakah hari itu terasa berbeda dengan hari lainnya. Apakah di hari