Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2018

Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?

Hamsad Rangkuti “Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling ke arah laut. Ada pulau di ke jauhan. Mungkin impiannya yang patah sudah tidak mungkin direkat. “Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.” Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Tiba-tiba dia melepas sepatunya. Dia pegang kedua sepatu itu dengan kedua tangannya yang terjulur ke luar pagar pengaman. Laut menampar dinding kapal. “Ini dari dia,” katanya dan melepas sepatu yang dia pegang itu. Aku mengabadikan kedua sepatu itu melayang jatuh ke dalam air. Kemudian dia meraba jari tangan kirinya. Di sana ada sebentuk cincin. “Apa kata si perayu itu, sesaat sebelum dia memberi cincin ini kepadaku. ‘Upik Siti si Rabiatun. Basubang ameh di telinganya. Sudah tiga kali Den minum racun.’ Dan kuterimalah cincin ini.” Cincin itu dia lepas dari jari manisnya. Tangkainya yang terbuat dari emas murni berkilau diterima panas matahari. Berlian yang diikatnya membiaskan cahaya. Diulurkannya cincin itu ke atas

Baruna

Meutia Swarna Maharani Terlahir sebagai seorang buta tidaklah begitu buruk. Setidaknya bagiku. Aku masih bisa merasakan hangatnya sinar mentari di permukaan kulitku, juga masih mampu meminta tambah untuk setiap masakan Simbok. Aku tak terlalu menderita. Selama hidungku masih dapat menghirup udara seberapa pun yang kumau, aku masih terhitung bahagia. Aku tak tahu sejak kapan aku buta. Mama dan Simbok tak pernah mau membahasnya. Kata mereka, tak penting membicarakan yang sudah-sudah, kecuali jika keadaan bisa diubah. Jadi aku menurut saja. Toh, aku tak pernah tahu bagaimana rasanya bisa melihat, jadi tidak terlalu berguna juga untuk sakit hati karena ini. Mamaku, seorang perempuan tentunya. Ia yang melahirkanku, tetapi Simbok yang membesarkanku. Simbok merupakan anak dari kepala asisten rumah tangga di rumah Mama ketika masih kecil. Katanya, ketika Mama mengandungku, Simbok yang sudah tiga kali kawin-cerai dan tak punya anak pun jadi iba, lalu memutuskan untuk tak pernah menikah l

Dongeng Tarka dan Sarka

Yanusa Nugroho Maka mereka pun hanya membuka telinga badaniah mereka, sebelum mampu membuka yang batin. Mereka–Tarka dan Sarka–mencoba membuka telinga dan menutup lisan. ”Lakukanlah pekerjaan kalian sebagaimana biasa, namun dengan satu pantangan: jangan berbicara sepatah kata pun tentang apapun,” begitu pesan ayah mereka, yang memang seorang pertapa. Sarka, sang adik, yang bertubuh kurus dan selalu lapar itu mempertanyakan ’pelajaran’ yang baru saja diterima dari ayahnya. Menurutnya, itu hal yang hampir mustahil bisa dilakukan di tengah kehidupan masyarakat negeri Hastina yang makmur ini. ”.. Kalian akan mendengar begitu banyak pengetahuan secara diam-diam. Dengan mendengar, berarti kalian bisa menyimak. Dengan membisu, lisan kalian akan terjaga dari pengucapan yang sia-sia.. Karena seringkali lidah kita mengeluarkan racun fitnah yang tak bisa kita duga…” begitu pesan sang ayah kepada kedua kakak-beradik Tarka-Sarka yang mengais rejeki dengan menjual jasa menyeberangkan orang-

Aku Tak Ingin Kacamata, Aku Hanya Ingin Mati, Tuhan

Ranang Aji SP Menjelang usia ke-90, aku mulai merasakan kesepian yang sangat. Di dalam ruang jiwaku, kegelapan seolah menyelimuti hidupku yang pahit. Aku tak lagi mengetahui apa pun yang terjadi di dunia ini. Keadaan ini, membuatku merasa tidak bahagia lagi. Pohon-pohon yang bergoyang di halaman rumah, kuperhatikan selalu dengan irama yang sama. Di malam-malam yang sungsang, mata anjing sialan yang biasa di depan rumahku pun menyala merah –dan menggonggong seakan tak mengenaliku. Padahal ia milik tetanggaku. Sungguh, aku bosan dengan kehidupan. Setiap bangun tidur, tulangku yang kaku berderit bersama ranjangku yang usang. Otakku seolah lengket. Aku hanya mampu mengingat jarak antara desaku dengan desa tetangga. Jalan yang berdebu, pintu rumah yang terkelupas catnya, dan tahi kerbau yang bercecer di jalanan. Orang-orang seusiaku juga semakin langka. Mereka satu-satu mati dan digantikan oleh anak-anak muda yang asing dan tak bisa mengerti bahasaku. Aku pun tak mampu memahami mereka.

Mayat Masa Lalu

Ken Hanggara Seonggok mayat dirubung lalat di halamanku, persis di bawah pohon nangka. Jauh sebelum itu terjadi, berpuluh tahun lalu, pohon itu tempatku main petak umpet. Setelah agak dewasa, aku jadikan pohon itu sebagai tempat nongkrong bersama teman-temanku sesama pengangguran. Sesudah menikah, pohon itu tidak lagi kuperhatikan. Aku tinggal di rumah peninggalan orangtuaku sejak bayi. Jadi hafal tiap sudutnya. Ketika seonggok mayat ditemukan di bawah pohon nangka tersebut, aku pikir seseorang sengaja membuat masalah. Mayat itu tukang kebunku. Kardi namanya, yang mengaku bernama Sapono saat awal kami kenal kira-kira tujuh tahun silam. Lalu, kuketahui dia pernah menipu seseorang di suatu dusun di kaki gunung, dengan KTP palsu bernama Markoni, dan menyaru jadi guru SD. Dia mencabuli dua perempuan dan kabur membawa beberapa ekor sapi, dan mengganti nama menjadi Kardi. Aku tidak ingin memenjarakan tukang kebun ini, karena dia begitu telaten merawat segalanya. Dia tidak marah wa