Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2016

Perempuan Pencemburu

Gde Aryantha Soethama Perempuan pencemburu itu tak pernah lengah sekejap pun mengawasi suaminya. Ia seperti memiliki seribu mata dan sejuta pikiran yang sanggup memberi laporan ke mana suaminya melangkah, di mana berada, dan apa yang dikerjakan. “Jadi kamu ke perpustakaan di balai kota sepulang mengajar tadi?” selidiknya. “Iya, jadi, kenapa?” “Benar cuma ke perpustakaan?” Laki-laki itu terperanjat, curiga. Ia mengambil tas jinjing yang biasa ia bawa ke sekolah mengajar. Dia rogoh tas kulit itu, mengacaknya beberapa kali. Tangannya terhenti ketika meraba sesuatu di antara selipan kertas tugas anak-anak. Ia keluarkan benda itu, sebuah GPS tracker . Seminggu lalu ia mendapatkan GPS di sepeda motor, kini dalam tas. Perempuan itu punya naluri cemburu sangat kuat dan begitu rinci, seperti seorang detektif bayaran memburu sasaran. “Aku sempat ke toko buku boncengan bersama teman guru.” “Guru perempuan kan? Iya kan, perempuan?” Laki-laki itu beringsut, masuk kamar, merebahkan di

Celurit Warisan

Muna Masyari Keesokan malam setelah kulantangkan sumpah di halaman balai desa, celurit itu masih di tempat yang sama. Tergantung sungsang pada paku payung berkarat di dinding sebuah kamar yang sudah sekian tahun kau kosongkan. Celurit yang tidak terlalu melengkung dan matanya tidak mengilap, justru agak coklat seperti berkarat, itu seolah tidak sabar menanti malam eksekusi. “Celurit ini tidak akan melukai orang yang tidak bersalah.” Jelasmu suatu malam, sepulang dari balai desa. Suaramu tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Kau membasuh celurit berlumur darah dengan air rendaman kertas bertuliskan huruf-huruf hijaiyah yang tidak sempat kubaca isinya. Kuamati jemari ringkihmu ketika mengusap mata celurit tanpa takut terluka. Bayangan sebuah tangan lepas dari batang lengannya masih menyisakan getaran pada sendi lututku. Hanya sekali tebas tangan itu terdampar ke tanah. Erangan keras penuh kesakitan mengoyak sunyi malam di antara kebungkaman warga yang rapat

Gulai Kam-bhing dan Ibu Rapilus

Ahmad Tohari Orang yang gencar memanggil-manggil saya dari warung tenda seberang jalan ternyata Jubedi. Ah, Jubedi, sudah agak lama saya tidak bertemu. Dia teman lama yang setengah abad lalu duduk bersama di bangku SMP. Saya menyeberang jalan sambil menyipitkan mata karena matahari di timur bikin silau. Jabat tangan Jubedi erat dan hangat. Sama dengan saya ternyata rambut Jubedi sudah memutih. Tetapi tidak seperti saya yang kerempeng, badan Jubedi cukup gemuk, perutnya sedikit maju. Tak ada keriput di wajahnya. Ahmad Tohari Jubedi kelihatan segar dan bersemangat. Pada jam sepuluh pagi ini kulit wajahnya tampak berkilat oleh keringat yang mengandung lemak. Matanya berair dan bibirnya merah. Agaknya Jubedi sedang menahan rasa pedas. Dia duduk menghadapi sepiring nasi berkuah santan dan semangkuk gulai yang isinya tinggal setengah. Mangkuk yang satu sudah kosong. Katanya, itu mangkuk gulai kedua yang dia makan. Tentu pedas karena banyak cabai mengambang di perm