Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2018

Segulung Kertas Kecil di Ubi Rebus

MARTIN ALEIDA Dia duduk mencangkung di pelataran kamp itu. Bersama puluhan tahanan lain. Menunggu pembebasan. Bersandal jepit. Angin dan terik matahari menyentakkan debu ke mukanya. Dia tak peduli. Di antara pahanya, terapit buntalan sarung pelekat yang luntur dibasuh waktu. Di dalamnya ada sehelai baju tetoron biru lengan pendek, kenang-kenangan dari kawan yang dibuang entah ke penjara mana, beberapa tahun lalu. Juga sepotong celana pendek hitam yang ditemukannya hanyut, dan dijangkaunya dari arus ketika kerja paksa di Sungai Silau. Itulah harta yang dia punya setelah tiga belas tahun ditendang dari kurungan yang satu ke bui yang lain. Kalau tamsilnya lubang jarum, lubang yang dia lalui sepanjang hidupnya adalah lubang jarum berduri. Berapi. Setelah disekap sehari-semalam, dia, dan beberapa orang, dijajarkan di tubir Sungai Ular, tiga belas tahun lalu. Kedua tangan mereka disilangkan di belakang, diikat pelepah pisang. Dibentak supaya menghadap ke sungai. Disusul dentuman mesiu

Sepasang Matryoshka

Vika Wisnu Melalui kotak pesan daring Anna mengonfirmasi ia akan datang dua pekan lagi, yang berarti hari ini. Tidak perlu menyiapkan apa-apa, aku adalah bagian dari keluarga, bukan tamu istimewa, tulisnya gede rasa. Memang dikiranya aku akan menggelar karpet merah di bandara? Tapi, toh kubalas dengan gambar wajah kuning bulat menyeringai jenaka, meski saat mengetiknya mulutku mengerucut, bersungut. Aku tak benar-benar berminat menerima kedatangannya, jauh hari, dekat hari, terencana atau tiba-tiba, bagiku sama buruknya. Setelah korespondensi panjang lewat media sosial yang entah bagaimana permulaannya itu, akhirnya Anna mengaku sebagai saudara kembarku. Dia tuliskan, saat dikirim untuk belajar kedokteran di Universitas Saint Petersburg, Bapak kami jatuh cinta pada seorang mahasiswi lokal yang kelak ia menjadi ibu kami. Kisah cinta mereka mekar di semester ketiga perkuliahan, sejak pertemuan tak sengaja di lorong manuskrip Melayu di perpustakaan umum Saltykov-Shchedrin. Itu terj

Lelaki yang Menderita bila Dipuji

Ahmad Tohari Mardanu seperti kebanyakan lelaki, senang bila dipuji. Tetapi akhir-akhir ini dia merasa risi bahkan seperti terbebani. Pujian yang menurut Mardanu kurang beralasan sering diterimanya. Ketika bertemu teman-teman untuk mengambil uang pensiun, ada saja yang bilang, ”Ini Mardanu, satu-satunya teman kita yang uangnya diterima utuh karena tak punya utang.” Pujian itu sering diiringi acungan jempol. Ketika berolahraga jalan kaki pagi hari mengelilingi alun-alun, orang pun memujinya, ”Pak Mardanu memang hebat. Usianya tujuh puluh lima tahun, tetapi badan tampak masih segar. Berjalan tegak, dan kedua kaki tetap kekar.” Kedua anak Mardanu, yang satu jadi pemilik kios kelontong dan satunya lagi jadi sopir truk semen, juga jadi bahan pujian, ”Pak Mardanu telah tuntas mengangkat anak-anak hingga semua jadi orang mandiri.” Malah seekor burung kutilang yang dipelihara Mardanu tak luput jadi bahan pujian. ”Kalau bukan Pak Mardanu yang memelihara, burung kutilang itu tak akan demiki