Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2017

Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu?

Faisal Oddang Nama saya Rahing, usia delapan tahun lebih. Saya baru saja membunuh kakak saya. Lehernya saya potong pakai parang milik gerombolan. Saya ditangkap tentara. Tentara banyak sekali pertanyaannya, saya jadi pusing. Saya bilang mau pulang. Tentara bilang tidak boleh. Saya jadi sedih dan takut. Besok hari Minggu, Guru Semmang akan cubit saya kalau tidak masuk sekolah. Sekolah kami sekarang, pindah ke dalam hutan. Saya bilang, saya mau cerita tetapi sudah itu, saya pulang. Tentara setuju. Saya bilang lagi, saya mau cerita tetapi jangan bilang sama Guru Semmang. Dan jangan kasih tahu Ayah kalau saya di sini, tentara janji. Saya takut Guru Semmang cubit saya. Saya takut Ayah lihat saya, dia mau bunuh saya. Dia sering dipukul ayahnya menggunakan warangka parang. Bermacam-macam persoalan menjadi penyebabnya. Yang paling sering, karena Rahing dekat dengan Semmang-lelaki yang ayahnya benci secara ideologi bahkan secara personal. Yang Rahing alami sungguh tidak serumit yang di kep

Lelucon Para Koruptor

Agus Noor Ada yang tak disampaikan ketika ia masuk penjara: mesti menyiapkan banyak lelucon. Mungkin Join Sembiling SH lupa soal itu. Pengacara yang menangani kasusnya itu hanya mengatakan kalau ia tak usah terlalu khawatir selama menjalani 8 tahun masa tahanannya karena segala sesuatunya sudah ada yang atur dan urus. “Percayalah, penjara bukanlah tempat yang menyeramkan bagi koruptor,” katanya setengah tertawa. Kehilangan kebebasan, bagaimanapun membuatnya merasa tertekan. Ia membayangkan kehidupan yang begitu membosankan dan akan mati kesepian. Tapi pengacara berpenampilan perlente itu, yang sudah menangani puluhan kasus korupsi, menenteramkannya, “Anggap saja kau hanya pindah tempat tidur. Kau tetap bisa menjalankan bisnismu dan menikmati hal-hal yang kau sukai seperti biasanya.” Ia kini benar-benar percaya dengan semua yang dikatakan pengacaranya. Ia tak perlu pusing memikirkan kebutuhan hidup bulanan istrinya karena sudah ada yang menanggung, juga biaya sekolah anak-anakny

Akhir Perjalanan Gozo Yoshimasu

Sori Siregar Puluhan pemuda melangkah cepat sambil berteriak riuh menuju markas tentara Jepang di pojok jalan. Dengan bentangan tangannya, seseorang yang bertubuh besar menghentikan langkah para pemuda yang dibakar amarah itu. Lelaki bertubuh besar itu maju ke depan. “Mana komandan kamu. Panggil dia. Kami datang untuk mengambil semua senjata yang kalian miliki,” katanya kepada para pengawal. Gozo Yoshimasu, yang telah mendengar gemuruh teriakan ketika para pemuda itu semakin mendekati markas mereka, melangkah keluar sebelum pengawal memanggilnya. Ia berdiri tenang. Semua pemuda yang berada di depannya juga diam. Rasa takut belum meninggalkan wajah mereka. Susah rasanya melepaskan diri dari rasa takut, benci, dan amarah setelah lebih dari tiga tahun ditindas oleh tentara-tentara bermata sipit itu. Tentara Jepang dikenal kejam dan gemar menyiksa. Gozo Yoshimasu yang bertugas sebagai komandan di markas tentara di kota Tebing Tinggi itu menatap mata lelaki bertubuh besar yang b

Sekuntum Melati Ibu

Miranda Seftiana Aku mengenal ibu sebagai perempuan yang ceria. Dia sering tertawa, meski aku tidak benar-benar mampu mengeja apakah karena gemar saja atau dia memang sedang bahagia. Satu hal yang pasti, banyak lelucon yang sedatar papan sekali pun mampu memantik gelaknya. Persis seperti bocah usia di bawah lima tahun yang menganggap anjing tercebur ke kubangan lumpur bukan sebagai masalah, melainkan ajang bermain air dan sabun. Pekerjaan menyebalkan bagi sebagian orang dewasa karena mesti mengulang aktivitas yang sama padahal bisa dilakukan sekali saja dalam seminggu. Tapi aku suka ibu. Suka melihat sudut bibirnya yang tertarik nyaris mencapai tulang pipi. Suka melihat retinanya yang coklat mengembun seperti daun ketika pagi hari. Segalanya lebih menarik. Tentu. Daripada kau melihat sepasang bahu yang berguncang atau lima jari yang membekap mulut dengan rapat. Aku tidak suka itu dan mungkin ibu juga begitu. “Kana, ambilkan arang dan sekam!” suara Ibu merambati udara. Beradu de

Perihal Tanda-tanda

Wisnu Sumarwan Aku selalu penasaran bagaimana nenekku bisa selalu benar tatkala menduga bahwa kematian akan datang pada suatu malam, pagi, siang, petang atau dini hari. Pertama kali aku mengetahui bakat semacam itu adalah saat nenek berkata bahwa seorang yang dekat tapi jauh akan pergi bersama orang-orang asing yang tak diketahui selain nama mereka. Pamanku yang termuda mengatakan bahwa seluruh orang dekat kami berkumpul dekat-dekat saja, tiada yang jauh, jadi tidak akan ada orang mati. Empat bulan kemudian paman termuda itu mati saat kapal laut yang ditumpanginya menuju perairan Filipina lenyap ditelan badai. Ia baru bekerja sebagai seorang mualim kapal ikan. Kami semua sudah lupa bahwa nenek pernah mengatakan tentang itu sebelumnya. Berikutnya, enam bulan sebelum kakek meninggal, nenek berkata bahwa akan ada pergantian kapten kapal karena kapten yang lama harus segera berpindah kapal, burung-burung akan mengiringinya. Lagi-lagi, tiada satu pun anggota keluarga kami yang bekerj