Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2018

Karangan Bunga

Desi Puspitasari Seharusnya Sabtu pagi itu menjadi hari yang cerah dan tenang bagi Helene. Pukul sembilan ia akan membuka toko dan menata karangan-karangan bunga sesuai rangkaian ciamik hasil kreasi tangannya. Lalu, ia akan membikin segelas teh lemon yang ditambahi sedikit gula—entah mengapa ia paling tidak bisa menghabiskan teh tawar sejak kecil—meletakkannya di salah satu meja di dalam toko. Tak perlu ada tambahan biskuit atau kudapan ringan untuk menemani ritual minum teh paginya. Ia tak ingin tubuhnya menjadi gembrot. Meski tak mungkin lagi jatuh cinta dan atau bercinta, Helene tetap ingin menjaga tubuhnya tetap ramping. Namun, dering telepon pagi itu membuyarkan segala rutinitas akhir pekan yang cerah dan menyenangkan. Seseorang di seberang sana memesan karangan bunga untuk kematian. Gangguan semacam ini tak pernah menjadi masalah bagi Helene karena untuk itulah ia membuka toko bunganya; menyediakan bunga baik untuk kegembiraan seperti pernikahan, pesta ulang tahun, lamara

Gentong Tua

Muna Masyari Dua gentong berusia ratusan tahun itu bagai sepasang manusia renta yang tercampakkan. Keduanya duduk muram di sudut kamar paling belakang. Menekur diam. Bibirnya berlumur lelehan pewarna yang pekat dan sudah mengering. Menatap gentong tua itu tiba-tiba aku seperti melihat bayangan ibumu. Melihat kedua tangannya yang berwarna kerak nasi dan telah menghasilkan lembar-lembar batik gentongan, yang sebagian dijual dan sebagian lagi sudah dipersiapkan untuk pernikahanmu, sebagaimana kewajiban seorang ibu memersembahkan hadiah itu, meskipun sudah pernah kautegaskan bahwa itu tidak perlu! Dialah perempuan Tanjungbumi yang tak lelah menyunggi tradisi meskipun berkelindan dengan sepi. Lepas hari ketujuh, para tetangga tak lagi bertandang. Tentu mereka kembali sibuk dengan kain mori, lelehan lilin dan gentong, yang sempat ditinggal selama sepekan karena ikut bantu-bantu di sini, di rumahmu. Sepulang dari pekuburan di penghujung senja, setelah menyirami pusara ibumu dengan

Musim Berburu Telah Dimulai

Sandi Firly Membiru dan bau. Dada bolong—seperti matanya yang terbelalak kosong, tanpa jantung. Senja di kampung pinggiran hutan Meratus seketika riuh. Ini mayat kedua—satu minggu lalu juga ditemukan seonggok tubuh membusuk dengan kondisi yang sama. ”Hanya Anak Sima yang sanggup melakukan pekerjaan semacam ini,” ucap seorang kakek di tengah kerumunan warga kampung yang menutup mulut dan hidung. Orang-orang menoleh kepada kakek berpakaian lusuh dengan jenggot panjang memutih. Tidak banyak yang mengenalnya. Sebagian hanya tahu bila kakek itu berdiam seorang diri di atas bukit. Anak Sima, itu adalah kisah usang dan bahkan sebagian hanya menganggapnya karangan. ”Bagaimana Kakek yakin ini ulah Anak Sima?” tanya seorang pemuda. “Bukankah itu dongeng belaka?” Tatapan orang-orang beralih dari mayat—yang mulai mengundang lalat-lalat hijau besar datang. Mereka menunggu kakek bicara. ”Tidakkah kalian lihat bagaimana kondisi mayat ini?” cetus kakek. ”Tidak ada beruang, atau binatang

Ayat Kopi

JOKO PINURBO Kedai kopi bermunculan di mana-mana, tetapi warung kopi Bu Trinil tetap menjadi favorit saya. Kopi bikinan Bu Trinil tetap paling jos rasanya; saya sudah merasakan khasiatnya bagi kesehatan jiwa saya. Di warung Bu Trinil saya bisa berkenalan dan mengobrol dengan berbagai macam orang. Petang itu, misalnya, saya berkenalan dengan seorang pria berbaju batik biru, namanya Marbangun. ”Panggil saja Bang Bangun,” ujarnya. Marbangun bercerita, saat ini dia sedang menata hidupnya. Sudah bertahun-tahun dia mencari peruntungan di dunia politik, tetapi belum juga membuahkan hasil. Dia pernah dua kali nekat ikut mencalonkan diri sebagai anggota badan legislatif di kotanya dan kedua-duanya gagal. ”Semoga sampean tidak terjerumus ke dalam kancah politik. Politik itu keras, penuh muslihat. Orang lugu seperti sampean akan celaka,” katanya. Untuk menuruti ambisinya, banyak harta benda yang telah dia korbankan. Dia sudah menjual tanah dan sapi di kampung, mobil, perabotan furnitur

Suara di Bandara

Budi Darma Ketika saya terbangun, pesawat baru saja memasuki wilayah Hongaria, dan pada waktunya nanti pasti akan mendarat di Amsterdam. Inilah pekerjaan saya sebagai penerbit: menerbitkan buku, mengusahakan terjemahan, memasarkan buku di negara-negara Eropa, jual beli hak cipta, dan berbagai negosiasi lain. Dan pekerjaan ini saya lakukan satu tahun sekali, atau, kadang-kadang dua tahun sekali. Tapi, karena dalam beberapa bulan terakhir saya sering mendengar suara perempuan di bandara-bandara besar, saya berusaha untuk lebih sering bepergian. Kalau saya tidak datang lagi dalam waktu lama, mungkin suara itu akan diganti oleh suara orang lain. Rekaman pengumuman mengenai keberangkatan dan kedatangan pesawat internasional bisa saja sewaktu-waktu diganti. Pengumuman dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Mandarin, dan Jepang, itu biasa. Yang luar biasa, di samping bahasa-bahasa itu, adalah pengumuman dalam bahasa Indonesia, dan juga bahasa etnik Jawa. Suaranya halus tapi sekal