Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2017

Orang yang Tak Bisa Berbohong

Mardi Luhung Siapa pun tahu, Dia tak bisa berbohong. Apa yang diomongkan selalu benar. Dan selalu tepat pada sasaran. Mangkanya, di kampung, jika ada persoalan penting dan membutuhkan orang yang tak bisa berbohong, maka orang-orang selalu menunjuk Dia. Dan menyatakan: “Dalam sejarah kampung, kita beruntung mempunyai warga seperti Dia. Sehingga, kebenaran selalu dapat terjaga. Kebenaran, yang bagi orang lain sulit untuk diomongkan, tapi bagi Dia selalu saja dapat diomongkan.” Tapi, kini, orang-orang di kampung mencuekkan Dia. Dia ada atau tak ada, tak ada yang peduli. Jadi, semacam pepatah: “Datang tanpa muka, pergi tanpa punggung,” itulah Dia. Dia yang mungkin lebih banyak hidup dan bergerak sendirian. Dia yang ketika berjumpa dengan orang-orang, lebih banyak dijauhi. Dan lebih banyak seperti angin. Terasa tapi tak terjamah. Kenapa orang-orang memperlakukan Dia seperti itu? Itu ada kisahnya. Begini: dulu ada peristiwa yang menggemparkan, yang terjadi di kampung, tentang uang yan

Gegasi dalam Cerita Kakek

Herman RN ANAK kecil harus tidur cepat. Kalau tidak, nanti dimakan gegasi. Begitu kata kakekku saban malam. Herman RN “JADI kita tidak boleh keluar malam hari ya, Kek? Kalau aku mau lihat bola di langit, Kek? Bolanya terang sekali. Bola itu cuma ada malam hari, Kek. Boleh, Kek?” Kakek tersenyum. Tatapannya lekat. “Itu bukan bola, cucuku.” Ia merangkulku lalu memapahku ke kamar. “Tidak baik lama-lama di luar. Nanti dimakan gegasi.” Ini bukan kali pertama kakek menyebut nama gegasi agar aku segera tidur. Pernah suatu kali, di saat aku sedang bermain bersama teman-temanku di halaman rumah, kakek menghardikku. Katanya, kalau aku tidak segera masuk dan tidur, gegasi akan memakanku. Di kali yang lain, ketika aku sedang tidak bisa tidur, kakek juga mengatakan, gegasi akan datang dan menelanku bulat-bulat. “Kenapa gegasi suka makan orang, Kek?” “Gegasi itu senang makan anak kecil. Cuci kaki dulu. Nanti kakek ceritakan tentang gegasi.” Inilah yang kutunggu, cerita tentang gegas

Konflik Masyarakat Multikultural di Mata Sastrawan

YUSRI FAJAR Masyarakat multikultural dengan pluralitas identitas dan etnisitas sering direpresentasikan dalam karya sastra. Narasi ketegangan dan kedamaian diartikulasikan oleh para sastrawan sebagai hasil pengamatan terhadap konstelasi dan dinamika manusia yang dipenuhi perpecahan di satu sisi, dan kebersamaan serta kerukunan di sisi lainnya. Konflik berlatar perbedaan etnik, agama, dan aliran kepercayaan, stratifikasi sosial dan kepentingan ekonomi yang menginspirasi dan menjadi pilihan tematik beberapa sastrawan menunjukkan kritik para sastrawan terhadap ketidakmampuan menerima perbedaan. Sementara kerukunan di tengah perbedaan dikisahkan sastrawan untuk merepresentasikan harmoni sebagai dampak toleransi dan negosiasi antarbudaya yang bisa dengan baik dilakukan. Pada konteks ini, karya-karya sastra menjadi medium menyuarakan dan mengingatkan kebinekaan, menyemaikan arti toleransi, dan menjadi jembatan yang menghubungkan pemikiran serta sikap kritis sastrawan dengan publik. B

Saat Maut Batal Menjemput

Radhar Panca Dahana AKU tahu, di tiap “sakit itu”, “tak siapa pun di situ”. Kesendirian, kadangkala juga sebuah kesunyian, memang adalah watak sakit yang sebenarnya. Tapi tidak kali ini. “Sakit ini”, rasa sakit yang ada sekarang ini, bahkan “aku pun tidak di sini”. Entah kenapa. Aku belum paham, apakah ini hikmah atau jati diri sakit yang sesungguhnya. Yang melampaui kesadaran biologis bahkan kepekaan psikologisku. Ah. Aku.aku sesungguhnya tidak cemas pada “sakit ini atau itu”, aku juga tidak peduli ini watak atau jati diri sakit yang sesungguhnya atau bukan. Apa yang kucemaskan hanyalah kesadaran dan kepekaan itu. Adakah aku masih memilikinya? Aku mencoba paham, jangan-jangan aku sudah “mengatasi” sakit itu, atau ini keadaan yang “meng-atas-i” sakit ini? Aku mencoba sekuatnya untuk merasakan, menghayati, sebagaimana biasanya sakit semacam ini datang padaku. Tapi aneh, bahkan ajaib, untuk pertama kali aku tidak bisa mempekerjakan kesadaran fisiologis juga kepekaan psikologisku.