Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2018

Peri Ayu Lembah Wilis

Bre Redana 35 tahun empat bulan dua hari tiba saatnya Peri Ayu Lembah Wilis menagih janji kepada Lawrence Pasa—begitu ia menamakan dirinya. Sebelumnya, ia menamakan diri Lor Ing Pasar yang berarti ”sebelah utara pasar”, sesuai tempat tinggalnya di masa kecil. Pada perkembangannya, ia internasionalisasikan nama tersebut mengikuti kaidah bunyi, atau dalam ilmu bahasa disebut diftong: Lor Ing Pasar menjadi Lawrence Pasa. Berkali-kali ia mengubah nama. Banyak orang tidak tahu nama dia sebenarnya, termasuk ia sendiri. ”Bangun,” kata Peri Ayu. Ia perhatikan lelaki itu di tempat tidur. Tidurnya selalu begitu. Tampak nyenyak justru di pagi hari. Tangan bersedekap di dada. Kaki lurus. Seperti posisi orang mati. Dia tak memperdengarkan suara apa pun seperti misalnya mendengkur. Diam, lurus, napas teratur. ”Bangun, saatnya kamu kembali padaku,” Peri Ayu mengulang kata-kata. Perlahan Lawrence Pasa membuka mata. Begitu mata terbuka, ia tergeragap kaget. Dia, benarkah ini dia, Lawrence te

Durian Ayah

Rizki Turama  Di antara semua pohon yang ditanam ayah, hanya durian yang sampai sekarang belum berbuah. Padahal tangan ayah setahuku cukup dingin. Ia hampir selalu berhasil dalam dunia cocok tanam. Hampir semua tanaman yang mendapat sentuhan tangannya akan jadi subur, menghasilkan apa yang diharapkan. Karena itulah, perihal durian yang tak kunjung berbuah ini menjadi sesuatu yang cukup mengganjal hati ayah. ”Pohon ini bisa kau anggap adikmu,” ujar ayah sekitar sepuluh tahun lalu. Aku masih SMA waktu itu. Ayah memang suka begitu, mengatakan pohon-pohon tertentu sebagai kakak atau adik dari kami, anak-anaknya. Tolok ukur yang digunakannya jelas adalah usia. Rambutan di sudut kanan halaman depan rumah dibilang sebagai kakakku karena dia ditanam dua tahun lebih dulu daripada kelahiranku. Begitu juga dengan kelengkeng yang ada sekitar tujuh meter dari rambutan, dia juga kakakku yang lebih tua empat tahun. ”Dia lebih muda darimu empat tahun,” ayah melanjutkan. Aku menelengkan kepa

Menjelang Bebas

Sori Siregar Dengan debar jantung seorang penderita aritmia, Hendar terus menatap ke luar jendela dari lantai dua rumahnya. Cemas menghantuinya sejak sebulan lalu. Ia tidak pernah membayangkan bahwa hari tuanya setelah ia pensiun akan terganggu seperti ini. ”Ayah tidak boleh terus-menerus ketakutan seperti itu. Putusan yang ayah jatuhkan benar-benar berdasarkan hati nurani dan sesuai dengan ketentuan undang-undang,” ujar putranya Hamonangan. Hendar tampaknya tidak mendengar kata-kata anaknya itu. Atau pura-pura tidak mendengarnya. Ia terus menatap ke luar jendela. Kelihatannya ia menunggu sesuatu atau seseorang yang entah kapan munculnya. ”Ia tidak sejahat seperti yang ayah katakan. Ayah adalah temannya sejak sekolah dasar. Walaupun ia bekas kepala preman dan dikenal dengan sebutan Preman Besar, aku yakin ia tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri. Kebebasan yang akan diperolehnya tidak akan membuatnya gegabah. Percayalah, Ayah,” Hamongan melanjutkan. H

Kue Itu Memakan Ayahku

Guntur Alam ”Pelan-pelan, aku akan mati karena dimakan sebuah kue.” Itu ayah ucapkan padaku tepat satu minggu setelah ia diangkat menjadi juru potong kue di kantornya. Awalnya aku bingung, kok bisa ayah menjadi juru potong kue, padahal kata ibu, ayah seorang akuntan yang hebat. ”Di kantor, kita bisa menjadi apa saja,” terang ayah saat aku mengemukakan kebingunganku. ”Kadang-kadang, seorang sarjana ekonomi bisa menjadi tukang ketik surat. Sarjana teknik sipil bisa jadi tukang fotocopy.” Aku ingat persis, ayah tersenyum lebar saat mengucapkan kalimat itu padaku. Aku melipat kening, ”Kok, bisa?” Ayah terkekeh. ”Lah, namanya saja bekerja, ya tergantung bos butuh tenaga kita sebagai apa.” ”Jadi, bos ayah butuh tukang potong kue?” Ayah mengangguk. Aku bergidik. Dalam benakku, bos ayah pasti seseorang bertubuh tambun, mempunyai pipi chubby , bibir tebal, mulut lebar yang tak berhenti mengunyah dan jari-jari tangan pendek nan gemuk. Namun, seminggu setelah itu, khayalanku tentan