Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2018

Suatu Ketika di Ruang Gawat Darurat

Des Alwi Tidak mudah membedakan rintihan kesakitan dan erangan kematian. Apalagi dalam ruang gawat darurat yang dipenuhi pasien-pasien kritis. Mendengarkan rintihan sambil menahan sakit tentu lebih susah. Terlebih lagi jika badan tidak bisa digerakkan. Karena itu aku hanya memutar-mutar bola mata mencoba melihat siapa saja yang merintih memanggil ibu, emak atau mamanya. Upayaku untuk memutar kepala dan mencoba mendapatkan sudut pandang lebih baik tidak berhasil, karena ikatan yang membelit dadaku menyebabkan pergerakan sangat terbatas. Bayang-bayang dokter, yang menyarankan agar aku selalu tersenyum menghadapi tekanan di dada, rasanya tidak terlalu banyak menolong. Tapi saat tersenyum, ada rasa nyaman menyeruak ke rongga dada, yang membuat aku bisa membuka mata. ”Bagus, senyuman pertama yang terpenting,” ujar dokter yang terus menggerakkan stetoskop di seputaran dadaku. ”Sekarang tarik napas yang dalam,” tambahnya. Dengan pengerahan napas perlahan dari perut ke dada terus ke

Kematian Kedua

Aslan Abidin Lelaki tua itu akhirnya benar-benar meninggal dunia. Jenazahnya ditutupi kain hitam dan diletakkan di atas tikar daun lontar di ruang tengah rumahnya. Sebuah rumah panggung suku Kajang. Orang-orang bersedih melayat mayatnya. Menyingkap kain yang menutupi wajahnya seolah hendak memastikan bahwa ia sungguh sudah tak bernyawa. Juga diam-diam berupaya melihat satu tanda. Sebuah keloid. Bekas luka yang menebal dan timbul di kulit. Serupa seekor lipan, sebesar—namun sedikit lebih panjang—jari telunjuk orang dewasa. Lengkap dengan kaki-kaki dari bekas jahitan kasar di kedua sisinya. Melingkar agak miring di sisi kanan lehernya. Sappe meyakini dan orang-orang percaya bahwa dirinya sudah pernah mati. Hanya keajaiban membuatnya hidup kembali. ” Nakke maengnga’ mate, mingka attallasa’asse’ ,” begitu ia sering berkata memulai ceritanya. Saya sudah pernah mati, namun hidup kembali. Sebuah kalimat yang akan membuat orang-orang terhenyak, menunggu dia melanjutkan kisahnya. Ia

Amnesti

Putu Wijaya Di zaman baheula, ada seorang bromocorah yang divonis hukuman mati. Ulahnya membunuh, menjarah, menyiksa, sangat biadab. Seluruh warga mengutuk dan berdoa supaya bajingan itu cepat mati. Dia dianggap iblis yang memberi isyarat hari kiamat sudah tiba. Tak hanya terbatas menjarah orang kaya, bandit itu juga tak segan-segan merampok, memperkosa, membantai rakyat jelata yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan darah dingin, saraf baja, ia hirup nikmat kutukan biadab bagai pujian, sembari nyengir gila. Ia meyakini dapat kepercayaan untuk menyelamatkan dunia dan kehidupan dengan dana dari perdagangan narkoba. ”Manusia adalah serigala kata Thomas Hobbes. Untuk menggembalakannya perlu macan,” kata bajingan itu bangga, ”Maka, aku jadi Raja Rimba. Hukum sudah tak bertaring lagi. Hukum hanya sandiwara untuk menipu sejarah. Itu bukan infrastruktur peradaban, bukan pasukan pengawal-pengaman kehidupan, bukan Robin Hood dari rimba Sherwood. Hukum hanya ular kobra, black mamba,

Cara-cara Klise Berumah Tangga

Novka Kuaranita Malam itu ia mampir ke kios bunga. Tiga blok ke arah timur dari Stasiun Shin-koenji. Tiga tangkai shiragiku, katanya. Lelaki itu meminta krisan putih. Ia telah merencanakan segala sesuatunya. Sembilan Agustus 2018. Krisan putih dan sampai apartemen sebelum jam delapan. Makan malam dan berbincang-bincang. Ia mengintip jam tangan di balik lengan kemeja, pukul 19.50. Dari kios itu, apartemennya sudah tampak. Lantai kelima, unit paling kiri. Lampu ruang tengah telah dinyalakan; jendelanya berpendar kuning pucat. Lelaki itu menekan bel apartemennya sendiri. Deringnya janggal, entah karena ia tak terbiasa mendengarnya dari luar sini atau lantaran sudah kelewat lama tak berbunyi hingga terasa asing. Dari tempatnya berdiri itu, ia juga menangkap suara beradu alat-alat makan dari kayu. Air keran yang mengucur lalu berhenti. Sesuatu yang dibereskan. Sebelum tapak-tapak kaki bergerak mendekat. Seorang perempuan membuka pintu sambil mengatakan rupanya kau sudah pulang. Ia

Sepotong Tulang dengan Daging Kering yang Menempel di Sisinya

Supartika Kau tahu? Waktu itu, anak itu masih sangat kecil. Belum bisa bilang mama-papa, dan seharusnya baru bisa bilang ”abaabaaba” walaupun sepanjang aku di sana ia tak pernah mengeluarkan suara atau lebih tepatnya suaranya tak mau keluar. Jika kau berada di sana waktu itu, maka kau akan menemukan ia yang kurus kering dan mengap-mengap di pangkuan ibunya tanpa ada suara yang keluar sedikit pun dari mulutnya. Ya, ibunya dengan pandangan mata sayu duduk di atas batu di samping pintu masuk gubuknya yang nyaris tak berbentuk tempat tinggal manusia sambil memangku anak itu. Dinding gubuk yang terbuat dari bambu yang dibelah telah berlubang di sana-sini. Bahkan dari lubang dinding gubuknya itu, bisa masuk dengan bebas seekor anjing gemuk. Ia yang seharusnya waktu itu berbobot empat kilo lebih sebagaimana anak normal seumurannya, namun ia mungkin hanya memiliki bobot sekilo kurang. Dan mungkin lebih ringan dari berat anak anjing yang baru lahir kemarin. Dengan kulit kehitaman, tangann