Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2017

Kisah Amour dan Liberte

Warih Wisatsana Bahkan jauh sebelum ”boarding”, sewaktu masih antre di pemeriksaan x-ray bagasi, pandanganku tertuju padanya dan tak bisa lepas lagi. Matanya sedikit biru, roman wajahnya Timur Tengah dengan bekas torehan luka di dahi, seketika membuatnya terlihat berbeda. Padahal, dini hari itu, di ruang tunggu Gate 08 Bandara Internasional Ngurah Rai, ada sekian orang lintas bangsa dengan aneka ciri yang tak kalah menarik, entah lelaki sejazirah dengannya dari Irak, Kuwait, boleh jadi dari Lebanon, Suriah, atau siapa tahu pula pelarian kombatan Afghanistan. Belum lagi pasangan orang Perancis dan turunan China- Indonesia yang pastilah tengah mengalami ”amour”, berpeluk kecup tak henti. Kami semua sudah cukup lama menunggu, kini pemeriksaan terakhir boarding pass dan paspor. Lima belas menit lagi pesawat siap terbang lintas benua, transit di Doha dan berakhir di Zaventem, Brussels. Sekilas aku menoleh ke belakang, antrean kelas ekonomi; rupanya ia tak membawa koper atau bag

Rumah-rumah Nayla

DJENAR MAESA AYU  Entah nama apa yang tepat untuk tempat itu. Bar? Restoran? Warung? Sepertinya pemiliknya tidak terlalu peduli, sebagai apa kontainer berukuran delapan kali dua puluh meter persegi itu dimaknai. Rumah-rumah Nayla 24 Desember 2017 Karya Hanafi Entah nama apa yang tepat untuk tempat itu. Bar? Restoran? Warung? Sepertinya pemiliknya tidak terlalu peduli, sebagai apa kontainer berukuran delapan kali dua puluh meter persegi itu dimaknai. Sudah dua jam setelah Nayla membuka tempat usaha barunya yang dinamai Rumah Nayla. Kedengaran lebih mendekati makna kediaman ketimbang tempat usaha. Dan memang ia tinggal di sana. Sekitar setahun lalu Nayla membeli sebidang tanah yang tidak terlalu besar—jika dibandingkan dengan luas tanah rumah sebelumnya, tapi juga tidak terlalu kecil—jika dibandingkan dengan luas tanah rumah tipe sederhana. Tak sampai seratus lima puluh meter persegi luas tanahnya. Lalu dibelinya dua kontainer, satu dijadikan tempat usaha bernama Rumah Nayla,

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke

Aku Membuatmu Bersetia kepada Kesepian dan Kesedihan

Yanusa Nugroho Salya termangu. Dataran luas Kurusetra, yang sekejap lalu dipenuhi manusia saling bacok, tiba-tiba kosong. Lengang, seperti sebuah beranda dengan bangku bambu yang bisu. Di atas kereta perangnya, Salya terpaku. Dia merasakan angin lembah membelai pelipisnya yang beruban, yang basah berkeringat. Musim apakah saat ini? Ada panah mendesing, entah dari mana, dan entah mengenai siapa, tetapi yang tiba-tiba lenyap begitu saja, seperti dibawa angin, atau jin, mungkin malaikat; siapa yang paham? Kurusetra kosong. Kurusetra seperti seraut wajah manusia berusia 300 tahun; renta, rapuh, sepi, dan tak bisa ditandai lagi. “Lalu, aku harus bagaimana, ayah?” tiba-tiba Candabirawa, pemuda ganteng yang terlalu cantik-mungkin terlalu perempuan untuk disebut laki-laki. Tetapi, barangkali, memang tak penting itu semua, karena Candabirawa sesungguhnya bukan bangsa manusia, sehingga batasan ‘laki-perempuan’ tentu tidak berlaku baginya. Jika dia berwajah ganteng, cantik, atau menaku

Mince, Perempuan dari Bakunase

FANNY J POYK Apa yang akan kaulakukan jika suamimu kerap memukulimu, lalu ia melakukan pelecehan dengan mempermalukanmu di depan umum kemudian mengarang kisah yang sangat imajinatif seolah-olah kaulah yang melakukan perbuatan tercela, hingga akhirnya masyarakat menghakimimu dengan gosip nyinyir yang sangat menyakitkan? Apa yang akan kaulakukan jika suamimu pemabuk, minum ”sopi” setiap saat, lalu marah-marah bila pulang ke rumah tanpa ada makanan di meja makan, sementara ia kadang memberi uang belanja atau bahkan sering tak memberi? Apa yang akan kaulakukan bila suamimu bermain gila dengan perempuan lain, kemudian terang-terangan membawa perempuan itu ke rumah dan tidur seranjang hari dengannya di hadapanmu dengan sikap penuh ejekan? Mince Messakh, perempuan dari Bakunase, sebuah kampung di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, menjawab dengan ringan, tegas dan penuh nada amarah. ” Cuki mai , beta akan ambil parang, beta cincang dua-duanya sampai dong dua pung batang leher putu