Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2018

Melarung Bapak

Dewi Ria Utari ”Kamu harus mendukung pendapatku ketika nanti sampai di rumah. Jangan lupa itu.” Suara kakak pertamaku mengisi kepalaku dan bermukim di sana, bahkan ketika aku terlelap di sela-sela penerbangan 16 jam 45 menit dari Praha ke Jakarta. Sia-sia aku menenggak anggur putih dan merah yang kerap kuminta kepada pramugari untuk membuatku terlelap. Karena setiap kali kantuk dan alkohol memberatkan mataku, sembari terpejam, suara kakakku itu terasa berdenging terus-terusan di kedua telingaku. Membuat kegelisahanku memuncak dan berhasil mengalihkan pikiranku dari kematian Bapak. Bapak meninggal. Teks itu kuterima di jaringan Whatsapp di ponselku saat aku tengah minum Velkopopovický Kozel di sebuah bar kecil di daerah Kozy Street. Dengan bergegas, aku membayar tiga gelas besar Velkopopovický Kozel dan menelepon kakakku yang mengirim teks itu. Aku menyanggupi usulnya untuk segera memesan tiket pulang dan bertanya kapan Bapak akan dimakamkan. ”Nunggu semuanya pulang dulu. Lagi pu

Selendang Bidadari Turun Mandi

PRASETYOHADI Gerimis menyerpih dari pelepah kelapa tepi jalan menuju puncak Bukit Bulupitu. Langit barat memancar sinar matahari, mencipta pelangi di langit timur. Melengkung setengah lingkaran. Satu kaki pelangi tepat di puncak bukit. Saya melewati rel kereta tanpa palang, bertulis di kayu silang: awas kereta, satu sepur. Setengah berlari saya menuju puncak bukit, sebelum matahari turun. Mengintip dari balik semak, mau mencuri selendang bidadari turun mandi. ”Dewi Nawangwulan cantik molek penuh pesona. Hidung mancung pipi halus. Bibir kemerahan. Kerlingnya mampu menghentikan napas laki-laki. Pinggang ramping, pinggul sedikit lebar. Paha dan betis memanjang. Turun dari langit, persis di kolam taman sari.” Mbah Putri mengisahkan pada senja gerimis. Saya bergegas melompati batu-batu jalan. Melintasi perkebunan singkong dan mangga. Menyusup ke semak pagar kolam. Ah, mentari meredup. Kaki pelangi lenyap, tinggal seleret di puncak, para bidadari kembali ke langit. Senja merema

Aroma Doa Bilal Jawad

Raudal Tanjung Banua Apakah doa punya aroma? Setiap kali pertanyaan ini datang menggoda, aku akan teringat seorang tukang doa yang setia di masa kecilku. Entah mengapa, tiap kali mengingatnya, lafaz doa serasa bangkit bersama aroma yang membubung dari hidung ke dalam batin. Adalah Bilal Jawad, lelaki setengah baya yang sudah dianggap sebagai tukang doa keluarga di kampungku lantaran kesetiaannya mendatangi kami pada hari baik bulan baik. Ya, sepekan menjelang bulan puasa, Bilal Jawad akan datang ke kampung kami. Ia tiba selepas siang, dan kembali semalam-malam hari ke rumahnya di kampung lereng bukit. Sebenarnya dia berasal dari kampung kami juga, tetapi menikah di kampung sebelah. Bahkan, ia termasuk kerabat ayahku, karena itu aku dan adikku memanggilnya Pak Uwo. Di kampung istrinya, ia dipercaya sebagai bilal. Suaranya lengking dan panjang, pas belaka dengan keadaan kampung yang berbukit-bukit. Karena itu, tugasnya sebagai muazin tak tergantikan. Nah, di antara itu, Bilal Jaw

Laki-laki yang Kawin dengan Babi

Mashdar Zainal, Setahun silam, menjelang lingsirnya matahari, saat ia memangkas dahan-dahan johar yang tersampir ke atap rumah, seekor babi berlari dari arah utara dan menyeruduk kaki tangga kayu yang ia tunggangi. Tangga kayu itu bergeser beberapa senti, hampir roboh, dan membuat beberapa genting paling tepi lengser dan jatuh ke tanah, berkeping. Seekor babi berwarna kelabu, nyaris hitam, tampak kebingungan, berputar-putar di pekarangan. Mungkin kepala babi itu sedikit pening setelah menabrak kaki tangga. Ia menuruni anak tangga itu lekas-lekas, takut kalau babi itu kabur. Dengan tangan kanan masih menggenggam arit, dan tangan kiri mencengkeram sempalan dahan johar—yang masih memancarkan bunga-bunga warna kuning menyala, ia menggiring babi itu ke sudut pekarangan. Hendak menangkapnya. Dan babi itu, ia tak menampakkan tanda-tanda akan kabur. Justru ia melenggang tenang, seolah merelakan dirinya ditangkap. Langit sudah terlanjur remang. Sebab babi itu, ia lupa membereskan dahan-d