Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2018

Pemesan Batik

Muna Masyari Kali ini, untuk menggarap batik pesanan lelaki itu, ia memilih saat malam buta, di sebuah kamar berhias sarang laba-laba. Kamar penyimpan langut dan kemelut. Sebelumnya, hampir lima tahun pintu kamar itu dibiarkan terkatup serupa kebisuan mulut disumpal ujung selimut. Ditemani kompor kecil bertindih wajan berisi cairan malam, perempuan itu menggores kain putih yang serupa kafan dan dihampar di pangkuan dengan cantingnya. Menggambar pola. Dituntun suara yang memantul dari palung paling rahasia. Setiap celupan canting pada cairan malam adalah detak jantung si pemesan yang memantul ke palung dadanya. Di luar, jerit jangkrik beradu dengan desah gesekan daun pisang. Sebagai pembatik yang biasa menerima pesanan khusus, bagi perempuan itu, corak, warna, dan motif batik buatannya merupakan kesatuan rasa dan jiwa pemesan. Salah satu cara untuk bisa menjiwai saat menggarap batik pesanan, perempuan yang baru menginjak kepala empat itu mengajukan beberapa pertanyaan laiknya

Apa Bapak Wafat?

Radhar Panca Dahana Pagi itu, pagi biasa, seperti pagi-pagi sebelumnya. Di rumah kami, inilah pagi ke sekian ratus terakhir, di mana aku dan kakak perempuanku menyambung hidup dalam kesederhanaan bersama Bapak kami. Pensiunan pegawai negeri yang sudah melewati 70 tahun usianya dan dalam kondisi kesehatan yang sangat tidak baik. Bapak adalah seorang tradisionalis sejati, pengikut ajaran Taman Siswa yang belajar langsung dari Ki Hajar Dewantara. Secara politis, ia mengikuti orientasi ayahnya yang nasionalis tulen ala Tan Malaka, teman seperjuangan sang kakek walau berasal dari komunitas yang berbeda. Jadi dapat dibayangkan, bagaimana sepanjang hidup Bapak bangun jam empat sebelum Subuh, bebenah rumah—terutama kamar mandi plesteran yang selalu rapi dan bersih—tiba di kantor, instansi negara, pukul tujuh, kembali pukul 5 sore, berkebun, mengawasi anak belajar hingga sembilan petang, membereskan rumah pukul 10 malam, mendengarkan wayang di radio dua band pukul 11 dan tertidur antara pu

Surat untuk Anak Perempuanku

TENNI PURWANTI Saat aku menulis surat ini, seorang istri di Bali sedang kesakitan karena kakinya ditebas dengan parang hingga putus oleh suaminya sendiri. Alasannya, hanya karena cemburu. Seorang perempuan lain di Tangerang menanggung malu karena ditelanjangi, dipukuli, dan dibawa berkeliling oleh warga akibat dituduh berbuat mesum dengan pasangannya sendiri. Perempuan 14 tahun di Kendari diperkosa bergilir oleh 14 laki-laki. Perempuan lain di Jakarta, dihujat karena keputusannya melepas jilbab. Tiba-tiba saja aku berpikir untuk menulis surat untukmu. Jika aku tak berumur panjang dan tak sempat melihatmu setelah kau lahir, setidaknya aku punya sesuatu yang bisa kuceritakan, melalui surat ini. Sebelumnya aku ingin menyampaikan bahwa aku bersyukur mengetahui bahwa bayi yang kukandung berjenis kelamin perempuan. Bertahun-tahun sebelum aku mengandungmu, teknologi sudah memungkinkan para orangtua mengetahui jenis kelamin anak mereka sebelum mereka lahir. Aku yang sejak dulu meng

Biyung

AHIMSA MARGA Semalam Biyung datang lagi dalam mimpinya. Seperti waktu-waktu lalu, kali ini pun Biyung hanya tersenyum, memandangnya dengan mata yang pendarnya seperti cahaya timur. Sekar kangen, Biyung… Tapi Sekar tak mampu menatap Biyung lama-lama. Matanya terhalang silau cahaya. Dia ingin memeluk Biyung erat-erat seperti di masa kanak-kanak, saat dia merasa takut kehilangan Biyung. Dia ingin menaruh kepalanya di pangkuan Biyung seperti dulu, kalau sedang sedih. Biyung seperti tahu apa pun yang terjadi pada Sekar, sejak Sekar kecil. Dia tak pernah mengusiknya dengan pertanyaan. Sepanjang hidupnya, Sekar tak pernah bicara tentang apa pun yang sedang dihadapinya. Tetapi, anehnya Biyung selalu tahu. Dalam surat pendek yang dituliskan tetangga setiap bulan setelah Sekar mengirim wesel, kadang tertulis antara lain, ”… Biyung melihat kamu sedang ndak keruan Ndhuk. Kemarin Biyung caos dahar, nyala menyannya mobat-mabit ndak karuan… ” Kali lain, Biyung hanya menanyakan, ”Ka