Dewi Ria Utari ”Kamu harus mendukung pendapatku ketika nanti sampai di rumah. Jangan lupa itu.” Suara kakak pertamaku mengisi kepalaku dan bermukim di sana, bahkan ketika aku terlelap di sela-sela penerbangan 16 jam 45 menit dari Praha ke Jakarta. Sia-sia aku menenggak anggur putih dan merah yang kerap kuminta kepada pramugari untuk membuatku terlelap. Karena setiap kali kantuk dan alkohol memberatkan mataku, sembari terpejam, suara kakakku itu terasa berdenging terus-terusan di kedua telingaku. Membuat kegelisahanku memuncak dan berhasil mengalihkan pikiranku dari kematian Bapak. Bapak meninggal. Teks itu kuterima di jaringan Whatsapp di ponselku saat aku tengah minum Velkopopovický Kozel di sebuah bar kecil di daerah Kozy Street. Dengan bergegas, aku membayar tiga gelas besar Velkopopovický Kozel dan menelepon kakakku yang mengirim teks itu. Aku menyanggupi usulnya untuk segera memesan tiket pulang dan bertanya kapan Bapak akan dimakamkan. ”Nunggu semuanya pulang dulu. Lagi pu...