Gde Aryantha Soethama
Perempuan pencemburu itu tak pernah lengah sekejap pun mengawasi suaminya. Ia seperti memiliki seribu mata dan sejuta pikiran yang sanggup memberi laporan ke mana suaminya melangkah, di mana berada, dan apa yang dikerjakan.
“Jadi kamu ke perpustakaan di balai kota sepulang mengajar tadi?” selidiknya.
“Iya, jadi, kenapa?”
“Benar cuma ke perpustakaan?”
Laki-laki itu terperanjat, curiga. Ia mengambil tas jinjing yang biasa ia bawa ke sekolah mengajar. Dia rogoh tas kulit itu, mengacaknya beberapa kali. Tangannya terhenti ketika meraba sesuatu di antara selipan kertas tugas anak-anak. Ia keluarkan benda itu, sebuah GPS tracker. Seminggu lalu ia mendapatkan GPS di sepeda motor, kini dalam tas. Perempuan itu punya naluri cemburu sangat kuat dan begitu rinci, seperti seorang detektif bayaran memburu sasaran.
“Aku sempat ke toko buku boncengan bersama teman guru.”
“Guru perempuan kan? Iya kan, perempuan?”
Laki-laki itu beringsut, masuk kamar, merebahkan diri di dipan. Perempuan itu memburunya, berdiri di pintu. “Jujur saja kenapa sih? Perempuan kan?”
Laki-laki itu menutup kepala dengan bantal. Ia acap bingung, bagaimana akhirnya ia terperangkap dalam kurungan seorang perempuan pencemburu berat, yang bahkan melarang dia berbincang berdua dengan murid-murid wanita.
Alangkah sengsara lelaki itu, betapa sedih, perasaannya remuk dari waktu ke waktu, bertahun-tahun. Pernah ia berpikir, kehadiran seorang buah hati akan menenteramkan kecemburuan itu. Tapi penerus itu tak kunjung datang, dan kecemburuan itu terus berbiak, melilit, melahap dan melumat lelaki itu, sampai ia kurus kering, menjadi sosok teronggok tanpa daya, sungguh-sungguh tak kuasa bergerak.
Setahun pensiun ia meninggal karena radang paru-paru. Orang-orang menduga ia mati karena disergap kesepian, dikoyak sunyi karena tak lagi berdiri mengajar di depan kelas. Hanya laki-laki itu yang tahu, ia mati karena tak sanggup melawan kuasa cemburu istrinya. Bahkan perempuan itu tetap cemburu kendati jasad laki-laki itu diaben, dan abunya dibuang ke laut. Ia yakin, setelah menjadi atman suaminya akan tinggal di alam Nir, wilayah yang dihuni oleh banyak sekali roh cantik penuh kobaran gairah, siap menggoda suaminya. Untuk melacak tak mungkin ia minta tolong sama GPS tracker.
“Aku harus ke sana,” kata hati perempuan itu mendesak-desak. Tapi untuk ke Nir ia harus menjadi roh. Ia harus mati baik-baik, kalau bunuh diri atmannya akan nyasar ke mana-mana, tak bakalan sampai ke Nir. Kalau ia panjang umur, alangkah lama menunggu mati baik-baik. Bisa jadi suaminya sudah dalam pelukan perempuan lain.
Beruntung perempuan itu punya ilmu Batas Tidur, yang ia resapi di pedukuhan Astungkara, diturunkan oleh Guru Tung. Siapa pun yang menguasai aji Batas Tidur bisa memilih sendiri hari mati dengan tenang dan sentosa. Dia cukup tidur telentang, kedua tangan di samping badan, dan berusaha tetap terjaga saat-saat detik tertidur. Ketika itulah atman lepas dari badan, melayang-layang meninggalkan Bumi menuju Nir. Dia pun akan mati jika memutuskan tidak kembali ke Bumi, karena roh tak kembali ke badan.*)
Perempuan itu menjalankan aji Batas Tidur setelah suaminya meninggal sebulan. Orang-orang berujar betapa setia perempuan itu pada pasangannya, sampai-sampai mati cuma empat pekan setelah ditinggal suami. “Hanya perempuan yang sangat setia bisa menjalankan welas asih seperti itu,” komentar orang-orang disertai ratap tangis kerabat.
Hujan turun lebat ketika perempuan itu tiba di Nir. Kabut menyelinap di mana-mana di wilayah yang tak mengenal perbedaan siang dan malam itu. Perempuan itu menerobos hujan mencari-cari suaminya. Hatinya dag-dig-dug terus, disertai harap jangan sampai suaminya dalam pelukan roh perempuan lain.
Perempuan itu terus melangkah, hilir mudik, kadang ia tergopoh-gopoh mendekati sosok seperti suaminya. Hatinya semakin deg-degan, lama sekali dan sudah sangat jauh ia melangkah, tak jua berjumpa laki-laki yang meninggalkan Bumi baru sebulan lalu. Kepalanya disesaki pikiran curiga, dijejali syak wasangka.
Cemburu berputar kencang dalam dadanya bagai hendak merontokkan jantung, ketika ia melihat seorang separo baya menjinjing buku catatan. Pipi orang itu gembul, berkuncir, dengan rahang bawah terdorong ke depan dan jidat menonjol, sehingga bola matanya tampak masuk lebih dalam ke ceruknya. Ia mendekati laki-laki itu, mencakupkan tangan di dada.
“Bolehkah hamba menanyakan keberadaan seseorang?” sapanya. “Hamba baru sampai, ingin tahu keberadaan suami hamba yang datang ke Nir sebulan lalu.” Perempuan itu menyebut hari kematian suaminya, menjelaskan ciri-cirinya, penyebab kematian, untuk dicocokkan dengan catatan yang dibawa si pipi gembul.
“Wah. wah. belum sejam lalu suamimu menitis ke Bumi,” ujar si pipi gembul setelah memeriksa catatan.
Perempuan itu tercengang. “Begitu cepat? Adakah sesuatu yang mengharuskan ia menitis segera?”
“Dia roh yang baik, belum sepantasnya berada di Nir. Bumi membutuhkannya.”
“Boleh hamba tahu di mana ia menitis, jadi apa?”
“Dia akan menyempurnakan baktinya sebagai guru, di kota yang dihuni berbagai suku dan bangsa.”
“Mohon ampun hamba lancang, bolehkah hamba segera menyusul dia?”
Si pipi gembul tersenyum. “Ini demi kesetiaan atau..”
“Hamba bersumpah akan terus merawatnya, ke mana pun dia pergi.”
“Merawat atau menjaga? Karena setia atau karena cemburu?” Si pipi gembul terkekeh. Perempuan itu melengos malu, tapi ia bahagia karena diperkenankan kembali ke Bumi segera, padahal belum separo hari dia di Nir.
“Tapi, kedudukan dan martabatmu akan berbeda jauh dengan dia.”
“Tidak apa-apa, yang penting kami ditakdirkan selalu dekat dan bersama.”
Terik matahari memanggang ketika perempuan itu lahir di lereng bukit yang gersang, di tengah gubuk petani miskin. Dia meneruskan sekolah selepas SMP, bertani membantu orangtua, kemudian seorang kerabat mengajaknya ke kota, menyerahkan dia ke keluarga seorang guru yang beristri karyawan bank, untuk jadi pembantu rumah tangga, mengurus seorang anak balita. Si istri terlalu sibuk, berangkat pagi sekali dan pulang paling cepat selepas petang. Perempuan itu pun menjadi seperti ibu pengganti, mengurus seluruh keperluan rumah tangga. Dan ia selalu merasa dekat dan berhasrat memiliki laki-laki guru itu. Ia cemburu jika melihat si istri bermesraan dengan suaminya. Ia sering mengintip jika lelaki guru itu duduk memangku istrinya di ruang tengah dalam cahaya remang sambil menonton televisi.
“Ibu tak baik kalau bermesraan sama Bapak,” protesnya kepada si istri suatu saat ketika mempersiapkan sarapan.
Tentu si istri heran dan merasa itu cuma guyonan belaka. “Memangnya kenapa? Kamu iri ya? Hi-hi-hi..”
Perempuan itu cemberut. “Karena tidak baik saja kalau kebetulan saya lihat,” ujarnya ketus berlalu menyeret langkah ke dapur. Dia merasa si istri menjadi penghalang untuk memiliki lelaki guru itu. Dia bertekad melenyapkannya agar dia terbebas dari cemburu. Sudah dia pilih cara paling jitu: meracun.
Kakek perempuan itu seorang dukun yang sering menolong orang desa penderita muntah darah karena diracun. Dari si kakek, ia paham bermacam jenis racun yang kasar, yang begitu diminum membuat seseorang sakit perut, terkapar muntah darah; sampai racun sangat halus, yang enam bulan baru tampak akibatnya. Korban akan digerogoti maut, kurus kering, lumpuh, mata layu kosong, napasnya kian sesak, tak kuasa bicara, mati perlahan-lahan. Kakek menyebut racun itu Cetik Lemuh, terbuat dari serbuk kuningan, dicampur buah lempeni dan abu tulang manusia, digiling halus.
Perempuan itu dengan mudah memperoleh serbuk kuningan dari bengkel kerja pembuat gamelan di Desa Tihingan. Tulang dibakar dengan mudah ia curi ketika menghadiri ngaben. Buah lempeni banyak tumbuh di kampungnya. Racun itu ia tuangkan ke dalam kopi-susu yang ia hidangkan buat perempuan karyawan bank itu setiap sarapan, dicampur setengah sendok teh madu untuk menyamarkan rasa.
“Enak banget kopi-susumu,” puji si istri sering kali. Tentu ia tak sadar setiap teguk yang ia seruput memakan ribuan darah merah dan darah putih di sekujur badan, disertai maut menggerogoti, sehingga lima bulan setelah tegukan pertama ia cuma terbaring di tempat tidur, diare tak kunjung berhenti. Tubuhnya tinggal tulang berselimut kulit. Dua bulan kemudian ia meninggal, dokter mendiagnosis ia menderita kanker pankreas.
Tentu yang paling girang adalah perempuan pembantu rumah tangga itu. Kini ia mencengkeram nasib sang guru, tapi cemburunya tetap meledak-ledak. Selalu ia bertanya penuh selidik ke mana saja si guru pergi, apa kesibukannya. Ia juga melarang sang guru berbincang berdua dengan murid-murid wanita.
Suatu hari perempuan itu bertanya, ke mana lelaki itu pergi seusai rapat guru di kantor Dinas Pendidikan.
“Jadi Bapak cuma rapat, tidak ke mana-mana setelah itu?”
“O ya ya ya, saya singgah ke Perpustakaan Kota, baca-baca.”
“Dengan siapa ke sana? Dengan guru perempuan kan?”
Laki-laki itu mengerenyitkan alis tidak mengerti mengapa ia dituduh. “Ya ya ya ada guru perempuan ikut, kami bertiga ke sana.”
“Setelah itu Bapak ke Pasar Kereneng kan, ada apa ke sana?”
Laki-laki itu semakin bingung. “Kami beli soto. Lapar.” Tentu ia tak tahu kalau sebuah GPS tracker dipasang di bagasi motornya, melacak keberadaannya. “Memangnya kenapa?”
“Tak elok saja Pak, makan bersama perempuan bukan istri, kendati sama-sama guru.”
Di alam Nir, perempuan itu menjadi perbincangan di antara para pencatat atman.
“Ganjaran apa kita berikan buat perempuan pencemburu berat seperti itu, sampai membunuh pesaing, jika ia datang lagi ke Nir?” tanya si pipi gembul kepada rekan-rekannya.
Tak ada yang menjawab, mungkin karena memang belum ada hukumnya, atau mereka sedang menimbang-nimbang penuh saksama. .
*) Tentang aji Batas Tidur, baca cerpen Batas Tidur karya Gde Aryantha Soethama (Kompas, 23 Oktober 2011) Gde Aryantha Soethama menulis puisi, cerita pendek, laporan perjalanan, dan karya jurnalistik dengan napas kebalian yang kental. Pengalamannya menjadi wartawan, koresponden, pemimpin redaksi, ia tuangkan ke dalam buku kewartawanan Menjadi Wartawan Desa (1985), Wawancara Jurnalistik (1986), dan Koran Kampus (1986). Kumpulan esainya, Basa Basi Bali (2002), Bali is Bali (2003), Bali Tikam Bali (2004), Dari Bule Jadi Bali (2010) dan novelnya Senja di Candidasa (2002), Wanita Amerika Dibunuh di Ubud (2002), diterbitkan oleh Buku Arti. Antologi cerpennya Mandi Api menjadi pemenang Khatulistiwa Literary Award. Tahun 2016 menerima Penghargaan Kesetiaan Berkarya dari Kompas.
Perempuan pencemburu itu tak pernah lengah sekejap pun mengawasi suaminya. Ia seperti memiliki seribu mata dan sejuta pikiran yang sanggup memberi laporan ke mana suaminya melangkah, di mana berada, dan apa yang dikerjakan.
“Jadi kamu ke perpustakaan di balai kota sepulang mengajar tadi?” selidiknya.
“Iya, jadi, kenapa?”
“Benar cuma ke perpustakaan?”
Laki-laki itu terperanjat, curiga. Ia mengambil tas jinjing yang biasa ia bawa ke sekolah mengajar. Dia rogoh tas kulit itu, mengacaknya beberapa kali. Tangannya terhenti ketika meraba sesuatu di antara selipan kertas tugas anak-anak. Ia keluarkan benda itu, sebuah GPS tracker. Seminggu lalu ia mendapatkan GPS di sepeda motor, kini dalam tas. Perempuan itu punya naluri cemburu sangat kuat dan begitu rinci, seperti seorang detektif bayaran memburu sasaran.
“Aku sempat ke toko buku boncengan bersama teman guru.”
“Guru perempuan kan? Iya kan, perempuan?”
Laki-laki itu beringsut, masuk kamar, merebahkan diri di dipan. Perempuan itu memburunya, berdiri di pintu. “Jujur saja kenapa sih? Perempuan kan?”
Laki-laki itu menutup kepala dengan bantal. Ia acap bingung, bagaimana akhirnya ia terperangkap dalam kurungan seorang perempuan pencemburu berat, yang bahkan melarang dia berbincang berdua dengan murid-murid wanita.
Alangkah sengsara lelaki itu, betapa sedih, perasaannya remuk dari waktu ke waktu, bertahun-tahun. Pernah ia berpikir, kehadiran seorang buah hati akan menenteramkan kecemburuan itu. Tapi penerus itu tak kunjung datang, dan kecemburuan itu terus berbiak, melilit, melahap dan melumat lelaki itu, sampai ia kurus kering, menjadi sosok teronggok tanpa daya, sungguh-sungguh tak kuasa bergerak.
Setahun pensiun ia meninggal karena radang paru-paru. Orang-orang menduga ia mati karena disergap kesepian, dikoyak sunyi karena tak lagi berdiri mengajar di depan kelas. Hanya laki-laki itu yang tahu, ia mati karena tak sanggup melawan kuasa cemburu istrinya. Bahkan perempuan itu tetap cemburu kendati jasad laki-laki itu diaben, dan abunya dibuang ke laut. Ia yakin, setelah menjadi atman suaminya akan tinggal di alam Nir, wilayah yang dihuni oleh banyak sekali roh cantik penuh kobaran gairah, siap menggoda suaminya. Untuk melacak tak mungkin ia minta tolong sama GPS tracker.
“Aku harus ke sana,” kata hati perempuan itu mendesak-desak. Tapi untuk ke Nir ia harus menjadi roh. Ia harus mati baik-baik, kalau bunuh diri atmannya akan nyasar ke mana-mana, tak bakalan sampai ke Nir. Kalau ia panjang umur, alangkah lama menunggu mati baik-baik. Bisa jadi suaminya sudah dalam pelukan perempuan lain.
Beruntung perempuan itu punya ilmu Batas Tidur, yang ia resapi di pedukuhan Astungkara, diturunkan oleh Guru Tung. Siapa pun yang menguasai aji Batas Tidur bisa memilih sendiri hari mati dengan tenang dan sentosa. Dia cukup tidur telentang, kedua tangan di samping badan, dan berusaha tetap terjaga saat-saat detik tertidur. Ketika itulah atman lepas dari badan, melayang-layang meninggalkan Bumi menuju Nir. Dia pun akan mati jika memutuskan tidak kembali ke Bumi, karena roh tak kembali ke badan.*)
Perempuan itu menjalankan aji Batas Tidur setelah suaminya meninggal sebulan. Orang-orang berujar betapa setia perempuan itu pada pasangannya, sampai-sampai mati cuma empat pekan setelah ditinggal suami. “Hanya perempuan yang sangat setia bisa menjalankan welas asih seperti itu,” komentar orang-orang disertai ratap tangis kerabat.
Hujan turun lebat ketika perempuan itu tiba di Nir. Kabut menyelinap di mana-mana di wilayah yang tak mengenal perbedaan siang dan malam itu. Perempuan itu menerobos hujan mencari-cari suaminya. Hatinya dag-dig-dug terus, disertai harap jangan sampai suaminya dalam pelukan roh perempuan lain.
Perempuan itu terus melangkah, hilir mudik, kadang ia tergopoh-gopoh mendekati sosok seperti suaminya. Hatinya semakin deg-degan, lama sekali dan sudah sangat jauh ia melangkah, tak jua berjumpa laki-laki yang meninggalkan Bumi baru sebulan lalu. Kepalanya disesaki pikiran curiga, dijejali syak wasangka.
Cemburu berputar kencang dalam dadanya bagai hendak merontokkan jantung, ketika ia melihat seorang separo baya menjinjing buku catatan. Pipi orang itu gembul, berkuncir, dengan rahang bawah terdorong ke depan dan jidat menonjol, sehingga bola matanya tampak masuk lebih dalam ke ceruknya. Ia mendekati laki-laki itu, mencakupkan tangan di dada.
“Bolehkah hamba menanyakan keberadaan seseorang?” sapanya. “Hamba baru sampai, ingin tahu keberadaan suami hamba yang datang ke Nir sebulan lalu.” Perempuan itu menyebut hari kematian suaminya, menjelaskan ciri-cirinya, penyebab kematian, untuk dicocokkan dengan catatan yang dibawa si pipi gembul.
“Wah. wah. belum sejam lalu suamimu menitis ke Bumi,” ujar si pipi gembul setelah memeriksa catatan.
Perempuan itu tercengang. “Begitu cepat? Adakah sesuatu yang mengharuskan ia menitis segera?”
“Dia roh yang baik, belum sepantasnya berada di Nir. Bumi membutuhkannya.”
“Boleh hamba tahu di mana ia menitis, jadi apa?”
“Dia akan menyempurnakan baktinya sebagai guru, di kota yang dihuni berbagai suku dan bangsa.”
“Mohon ampun hamba lancang, bolehkah hamba segera menyusul dia?”
Si pipi gembul tersenyum. “Ini demi kesetiaan atau..”
“Hamba bersumpah akan terus merawatnya, ke mana pun dia pergi.”
“Merawat atau menjaga? Karena setia atau karena cemburu?” Si pipi gembul terkekeh. Perempuan itu melengos malu, tapi ia bahagia karena diperkenankan kembali ke Bumi segera, padahal belum separo hari dia di Nir.
“Tapi, kedudukan dan martabatmu akan berbeda jauh dengan dia.”
“Tidak apa-apa, yang penting kami ditakdirkan selalu dekat dan bersama.”
Terik matahari memanggang ketika perempuan itu lahir di lereng bukit yang gersang, di tengah gubuk petani miskin. Dia meneruskan sekolah selepas SMP, bertani membantu orangtua, kemudian seorang kerabat mengajaknya ke kota, menyerahkan dia ke keluarga seorang guru yang beristri karyawan bank, untuk jadi pembantu rumah tangga, mengurus seorang anak balita. Si istri terlalu sibuk, berangkat pagi sekali dan pulang paling cepat selepas petang. Perempuan itu pun menjadi seperti ibu pengganti, mengurus seluruh keperluan rumah tangga. Dan ia selalu merasa dekat dan berhasrat memiliki laki-laki guru itu. Ia cemburu jika melihat si istri bermesraan dengan suaminya. Ia sering mengintip jika lelaki guru itu duduk memangku istrinya di ruang tengah dalam cahaya remang sambil menonton televisi.
“Ibu tak baik kalau bermesraan sama Bapak,” protesnya kepada si istri suatu saat ketika mempersiapkan sarapan.
Tentu si istri heran dan merasa itu cuma guyonan belaka. “Memangnya kenapa? Kamu iri ya? Hi-hi-hi..”
Perempuan itu cemberut. “Karena tidak baik saja kalau kebetulan saya lihat,” ujarnya ketus berlalu menyeret langkah ke dapur. Dia merasa si istri menjadi penghalang untuk memiliki lelaki guru itu. Dia bertekad melenyapkannya agar dia terbebas dari cemburu. Sudah dia pilih cara paling jitu: meracun.
Kakek perempuan itu seorang dukun yang sering menolong orang desa penderita muntah darah karena diracun. Dari si kakek, ia paham bermacam jenis racun yang kasar, yang begitu diminum membuat seseorang sakit perut, terkapar muntah darah; sampai racun sangat halus, yang enam bulan baru tampak akibatnya. Korban akan digerogoti maut, kurus kering, lumpuh, mata layu kosong, napasnya kian sesak, tak kuasa bicara, mati perlahan-lahan. Kakek menyebut racun itu Cetik Lemuh, terbuat dari serbuk kuningan, dicampur buah lempeni dan abu tulang manusia, digiling halus.
Perempuan itu dengan mudah memperoleh serbuk kuningan dari bengkel kerja pembuat gamelan di Desa Tihingan. Tulang dibakar dengan mudah ia curi ketika menghadiri ngaben. Buah lempeni banyak tumbuh di kampungnya. Racun itu ia tuangkan ke dalam kopi-susu yang ia hidangkan buat perempuan karyawan bank itu setiap sarapan, dicampur setengah sendok teh madu untuk menyamarkan rasa.
“Enak banget kopi-susumu,” puji si istri sering kali. Tentu ia tak sadar setiap teguk yang ia seruput memakan ribuan darah merah dan darah putih di sekujur badan, disertai maut menggerogoti, sehingga lima bulan setelah tegukan pertama ia cuma terbaring di tempat tidur, diare tak kunjung berhenti. Tubuhnya tinggal tulang berselimut kulit. Dua bulan kemudian ia meninggal, dokter mendiagnosis ia menderita kanker pankreas.
Tentu yang paling girang adalah perempuan pembantu rumah tangga itu. Kini ia mencengkeram nasib sang guru, tapi cemburunya tetap meledak-ledak. Selalu ia bertanya penuh selidik ke mana saja si guru pergi, apa kesibukannya. Ia juga melarang sang guru berbincang berdua dengan murid-murid wanita.
Suatu hari perempuan itu bertanya, ke mana lelaki itu pergi seusai rapat guru di kantor Dinas Pendidikan.
“Jadi Bapak cuma rapat, tidak ke mana-mana setelah itu?”
“O ya ya ya, saya singgah ke Perpustakaan Kota, baca-baca.”
“Dengan siapa ke sana? Dengan guru perempuan kan?”
Laki-laki itu mengerenyitkan alis tidak mengerti mengapa ia dituduh. “Ya ya ya ada guru perempuan ikut, kami bertiga ke sana.”
“Setelah itu Bapak ke Pasar Kereneng kan, ada apa ke sana?”
Laki-laki itu semakin bingung. “Kami beli soto. Lapar.” Tentu ia tak tahu kalau sebuah GPS tracker dipasang di bagasi motornya, melacak keberadaannya. “Memangnya kenapa?”
“Tak elok saja Pak, makan bersama perempuan bukan istri, kendati sama-sama guru.”
Di alam Nir, perempuan itu menjadi perbincangan di antara para pencatat atman.
“Ganjaran apa kita berikan buat perempuan pencemburu berat seperti itu, sampai membunuh pesaing, jika ia datang lagi ke Nir?” tanya si pipi gembul kepada rekan-rekannya.
Tak ada yang menjawab, mungkin karena memang belum ada hukumnya, atau mereka sedang menimbang-nimbang penuh saksama. .
*) Tentang aji Batas Tidur, baca cerpen Batas Tidur karya Gde Aryantha Soethama (Kompas, 23 Oktober 2011) Gde Aryantha Soethama menulis puisi, cerita pendek, laporan perjalanan, dan karya jurnalistik dengan napas kebalian yang kental. Pengalamannya menjadi wartawan, koresponden, pemimpin redaksi, ia tuangkan ke dalam buku kewartawanan Menjadi Wartawan Desa (1985), Wawancara Jurnalistik (1986), dan Koran Kampus (1986). Kumpulan esainya, Basa Basi Bali (2002), Bali is Bali (2003), Bali Tikam Bali (2004), Dari Bule Jadi Bali (2010) dan novelnya Senja di Candidasa (2002), Wanita Amerika Dibunuh di Ubud (2002), diterbitkan oleh Buku Arti. Antologi cerpennya Mandi Api menjadi pemenang Khatulistiwa Literary Award. Tahun 2016 menerima Penghargaan Kesetiaan Berkarya dari Kompas.
Komentar
Posting Komentar