Sandi Firly “Kelak, apa yang aku kisahkan ini tinggal menjadi hikayat. Hikayat rumah lanting. Maka catatlah baik-baik setiap perkataan dan kisahku sebelum akhirnya nanti aku menutup mata, dan tak pernah lagi kulihat cahaya matahari pagi atau senja mengapung di sungai dari jendela ini.” Kai Badar, yang usianya telah melampaui abad, mulai bercerita sembari berbaring di kasur lepek usang di samping jendela. Di luar, senja kuning mulai luruh. Aku menyiapkan buku catatan, dan meletakkan sebuah tape recorder di samping bahunya yang telanjang, kering, dan kurus. Meski sesekali diselingi batuk-batuk yang seolah keluar dari rongga dadanya yang tipis-sesungguhnya lebih mirip derit pintu yang engselnya tak pernah diberi minyak pelumas, ia bercerita cukup lancar, terkadang seolah memojokkanku walau kutahu ia tak bermaksud begitu. Entah karena batuk yang terasa menyayat, atau karena ia terharu, bulir bening mengembun di ujung matanya yang telah rabun. Tak ada yang bisa aku lakukan untuk lela...