Langsung ke konten utama

Cerpen Karya Martin Aleida Terpilih sebagai Cerpen Terbaik ”Kompas” 2016

PENGHARGAAN SASTRA

Dahono Fitrianto & Wisnu Dewabrata
15 Juni 2017 21:46 WIB
Kompas/Hendra A Setyawan 
Penulis Martin Aleida menceritakan latar belakang penulisan cerita pendek karyanya berjudul ”Tanah Air” yang terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2016 dalam malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (15/6).



JAKARTA, KOMPAS — Cerita pendek atau cerpen ”Tanah Air” karya penulis Martin Aleida terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2016 dalam malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan Nomor 17, Jakarta Pusat, Kamis (15/6) malam. Dalam acara tahunan yang digelar dalam rangkaian peringatan hari ulang tahun Kompas tersebut, sastrawan Triyanto Triwikromo dari Semarang juga mendapat penghargaan Kesetiaan Berkarya.

Penyerahan penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2016 diserahkan langsung Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo kepada Martin Aleida. Sementara penghargaan Kesetiaan Berkarya diserahkan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy kepada Triyanto Triwikromo.
Kompas/Hendra A Setyawan 
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo (kiri) memberikan piala kepada Martin Aleida (kanan), penulis cerita pendek (cerpen) berjudul ”Tanah Air” yang terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2016 dalam malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (15/6).


Cerpen yang dimuat di harian Kompas edisi 19 Juni 2016 itu mengisahkan tentang Ang, seorang wartawan olahraga sebuah koran sore di Jakarta yang terjebak di luar negeri dan tak mungkin lagi kembali menemui tanah air-nya karena gejolak politik di dalam negeri. Ia terpaksa berpisah dengan istri dan anaknya. Kisah ini mengambil sudut pandang An Sui, istri Ang, dan perjuangannya untuk bertemu kembali dengan suaminya.

Dalam sambutannya, Martin Aleida mengatakan, cerpen tersebut ia tulis berdasarkan hasil riset dan wawancara terhadap orang-orang Indonesia pelarian di sejumlah negara di Eropa, seperti Perancis, Jerman, Bulgaria, dan Ceko. Salah satunya adalah seseorang yang dulu dikirim untuk kuliah politik dan kedokteran di Tirana, Albania, pada tahun 1964.

Empat tema besar

Selain diisi dengan penganugerahan penghargaan, malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 ini juga ditandai dengan peluncuran buku Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 2016. Buku tersebut berisi 20 cerpen yang dipilih oleh dewan juri dan dibagi dalam empat tema besar.

”Secara keseluruhan, rentang persoalan tema tak lain adalah realitas faktual yang setiap saat membelit kehidupan manusia,” kata Redaktur Seni dan Budaya Kompas sekaligus salah satu anggota Dewan Juri Cerpen Pilihan Kompas 2016, Putu Fajar Arcana.
Kompas/Hendra A Setyawan 
Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy (kiri) memberikan penghargaan Kesetiaan Berkarya kepada sastrawan Triyanto Triwikromo dari Semarang dalam malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (15/6).



Tema pertama adalah kekejamam rezim dalam pergolakan politik. Cerpen-cerpennya meliputi ”Tanah Air” karya Martin Aleida, ”Sejarah” (Putu Wijaya), ”Tukang Cukur” (Budi Darma), ”Mengapa Mereka Berdoa Kepada Pohon” (Faisal Oddang), dan ”Wayang Potehi: Cinta yang Pupus” (Han Gagas).

Tema kedua adalah relasi sosial yang tak setara. Lima cerpen terpilih dalam tema ini adalah ”Tembok Bolong, Bong Suwung, Yogyakarta, 1970” (Seno Gumira Ajidarma), ”Jaket Kenangan” (Gerson Poyk), ”Anjing Bahagia yang Mati Bunuh Diri” (Agus Noor), ”Nalea” (Sungging Raga), dan ”Penglihatan” (Masdhar Zainal).

Tema ketiga, relasi personal yang rumit melahirkan konflik-konflik tak terduga. Lima cerpen terpilih meliputi ”Gulai Kam-bhing dan Ibu Rapilus” (Ahmad Tohari), ”Senjata” (Sori Siregar), ”Celurit Warisan” (Muna Masyarai), ”Nelayan yang Malas Melepas Jala” (Damhuri Muhammad), dan ”Sepasang Merpati dalam Sebuah Cerita” (Supartika).

Tema keempat, tradisi dengan varian spiritualitas dan pengekangan. Kelima cerpen terpilih meliputi ”Roh Meratus” (Zaidinoor), ”Terumbu Tulang Istri” (Made Adnyana Ole), ”Belis Si Mas Kawin” (Fanny J Poyk), ”Perempuan Pencemburu” (Gde Aryantha Soethama), dan ”Setelah 16.200 Hari” (Triyanto Triwikromo).

Acara kemudian ditutup dengan pertunjukan musik oleh pianis Ananda Sukarlan dan soprano Mariska Setiawan. Komposisi piano dan vokal yang disusun Ananda sejak April 2017 itu merupakan interpretasinya terhadap cerpen ”Tanah Air”. Ananda mengatakan, komposisi sepanjang 20 menit ini mengungkapkan kerinduan mendalam seseorang akan tanah air-nya. (DHF/DWA)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat untuk Anak Perempuanku

TENNI PURWANTI Saat aku menulis surat ini, seorang istri di Bali sedang kesakitan karena kakinya ditebas dengan parang hingga putus oleh suaminya sendiri. Alasannya, hanya karena cemburu. Seorang perempuan lain di Tangerang menanggung malu karena ditelanjangi, dipukuli, dan dibawa berkeliling oleh warga akibat dituduh berbuat mesum dengan pasangannya sendiri. Perempuan 14 tahun di Kendari diperkosa bergilir oleh 14 laki-laki. Perempuan lain di Jakarta, dihujat karena keputusannya melepas jilbab. Tiba-tiba saja aku berpikir untuk menulis surat untukmu. Jika aku tak berumur panjang dan tak sempat melihatmu setelah kau lahir, setidaknya aku punya sesuatu yang bisa kuceritakan, melalui surat ini. Sebelumnya aku ingin menyampaikan bahwa aku bersyukur mengetahui bahwa bayi yang kukandung berjenis kelamin perempuan. Bertahun-tahun sebelum aku mengandungmu, teknologi sudah memungkinkan para orangtua mengetahui jenis kelamin anak mereka sebelum mereka lahir. Aku yang sejak dulu meng...

Ziarah Kepayang

Martin Aleida Lima puluh tahun…! Rentang waktu sepanjang itu tak membawa perubahan di sini. Jembatan yang terbuat dari kayu besi, masih tegak seperti yang kukenal setengah abad lalu. Hitam legam. Penduduk yang akan membawa hasil bumi ke kota, sejauh tujuh kilo, di muara sungai, tetap harus mengalah. Menunggu air sungai surut supaya sampan yang sarat bisa melintas di kolong jembatan. Jalan diapit sungai kecil, yang kami sebut bendar, tetap seperti ketika kulewati dulu. Jalan di mana orang-orang Tionghoa dari kota datang di musim berburu, dan pulang memanggul babi hutan yang masih berlumuran darah, hasil buruan yang ditinggalkan begitu saja oleh orang kampung yang mengharamkannya. Juga uangnya! Di jalan ini aku pernah terjerembab ditindih gerimis, mencium tanah, dalam perjalanan berkilo-kilo bersama Abang menuju pasar malam. Bau tanah liat di tapak kakiku masih seperti lima puluh tahun lalu. Aku menyeberangi titian. Berhenti, merenung di depan gundukan tanah. Kata Emak, seminggu...