Gde Aryantha Soethama Sudah larut malam, barak pengungsi itu dipagut sepi. Mereka saling pandang ketika hendak memutuskan siapa akan menjemput Ida Waluh di lereng Gunung Agung. Perjalanan kurang dari tiga jam, tapi penuh mara bahaya, jika gunung yang dalam keadaan awas itu tiba-tiba meletus. “Saya bersedia,” ujar seorang anak muda mengacungkan tangan tiba-tiba setelah sekian lama suasana bisu beku. Semua memandangnya dengan seksama. Dia tamatan institut teknologi informasi, bekerja di penyedia jasa web design di Jimbaran. Ia yatim piatu, kuliah ditanggung bibinya yang tidak menikah, hidup dari menjual sembako di pasar kecamatan. Sejak warga dusunnya, Desa Kesimpar, di lereng Gunung Agung mengungsi ke Swecapura, Ananta selalu bermalam bersama mereka. Saban hari ia ulang-alik Swecapura-Jimbaran menempuh dua jam bermotor. “Kalau begitu, saya ikut,” usul laki-laki bersarung, mengenakan kemeja endek. “Biar saya sendiri saja, Pak Losen. Bapak dibutuhkan di sini menyambut kun...