Gde Aryantha Soethama
Sudah larut malam, barak pengungsi itu dipagut sepi. Mereka saling pandang ketika hendak memutuskan siapa akan menjemput Ida Waluh di lereng Gunung Agung. Perjalanan kurang dari tiga jam, tapi penuh mara bahaya, jika gunung yang dalam keadaan awas itu tiba-tiba meletus.
“Saya bersedia,” ujar seorang anak muda mengacungkan tangan tiba-tiba setelah sekian lama suasana bisu beku.
Sudah larut malam, barak pengungsi itu dipagut sepi. Mereka saling pandang ketika hendak memutuskan siapa akan menjemput Ida Waluh di lereng Gunung Agung. Perjalanan kurang dari tiga jam, tapi penuh mara bahaya, jika gunung yang dalam keadaan awas itu tiba-tiba meletus.
“Saya bersedia,” ujar seorang anak muda mengacungkan tangan tiba-tiba setelah sekian lama suasana bisu beku.
Semua memandangnya dengan seksama. Dia
tamatan institut teknologi informasi, bekerja di penyedia jasa web design di
Jimbaran. Ia yatim piatu, kuliah ditanggung bibinya yang tidak menikah, hidup
dari menjual sembako di pasar kecamatan. Sejak warga dusunnya, Desa Kesimpar,
di lereng Gunung Agung mengungsi ke Swecapura, Ananta selalu bermalam bersama
mereka. Saban hari ia ulang-alik Swecapura-Jimbaran menempuh dua jam bermotor.
“Kalau begitu, saya ikut,” usul laki-laki
bersarung, mengenakan kemeja endek.
“Biar saya sendiri saja, Pak Losen. Bapak
dibutuhkan di sini menyambut kunjungan pejabat dan menemani para pembawa
sumbangan untuk selfi. Tak ada yang bersedih kalau saya tak kembali. Ayah, ibu,
pacar, saya tak punya. Saya cuma titip bibi.”
Losen anggota DPRD Kabupaten Karangasem,
mendulang banyak suara berkat bantuan para bebotoh judi sabung ayam. Berulang
Losen menyampaikan, ia bercita-cita jadi bupati bahkan gubernur, karena dengan
menjadi kepala daerah ia yakin bisa mensejahterakan Desa Kesimpar.
Menjelang subuh Ananta berangkat ke
Kesimpar naik motor. Para pengungsi melepasnya dengan pelukan dan tepukan bahu.
Ibu-ibu terisak seperti melepas putra mereka ke medan perang dan tak akan
kembali. Kakek-nenek mengusap-usap kepalanya, komat-kamit mengucap doa semoga
ia kembali selamat utuh bersama Ida Waluh.
Bibinya justru tegar, memberi semangat.
“Kamu penyelamat dusun kita, An.”
“Kasi hadiah nanti ya, kalau saya
berhasil.”
Si bibi tersenyum, menyodok lembut dada
keponakannya dengan bangga.
Melewati bukit Kahang-kahang, Ananta mulai
merasakan getaran gempa. Selepas Desa Datah, gempa itu kian keras dan semakin
kerap. Memasuki Desa Kesimpar, gempa semakin kuat, tanah tak cuma bergoyang,
juga terguncang, dan bumi bagai hendak terbelah. Pohon terhuyung-huyung,
gesekan semak-semak menimbulkan suara berderak-derak, seakan sebentar lagi
Gunung Agung meletus. Tak ada burung melintas, juga tidak unggas dan anjing.
Sapi-sapi sudah diungsikan. Desa Kesimpar menjadi dusun mati seperti disambar
naga.
Ananta memasuki Pura Desa tempat Ida Waluh.
Beberapa bagian tembok pura retak, atap-atap bangunan miring digoyang ratusan
kali gempa sepanjang hari sejak dua pekan terakhir. Ia berhenti tepekur di
depan sebuah meru tumpang tiga beratap ijuk tempat Ida Waluh berada. Dengan
kunci yang ia ambil dari tas pinggang, perlahan ia membuka pintu dengan dada
berdebar, semakin berdebar oleh getaran gempa yang mengguncang setiap dua
menit.
Ida Waluh duduk bersimpuh, menatap teduh
Ananta yang mencakupkan tangan di dada, sebelum dengan takzim membopongnya ke
balai piasan, tempat yang dipenuhi sesaji jika upacara piodalan digelar.
Rambut Ida Waluh tergulung memanjang ke
belakang, ujungnya melingkar. Dari kemaluannya menyembul bunga waluh menutup
pusar dan sebagian kedua pahanya. Tubuhnya condong ke belakang, kedua tangan
bertumpu menyangga bunga waluh yang besar.
Warga Desa Kesimpar sangat yakin, rambut
yang memanjang adalah lingga, alat kelamin tanda kelaki-lakian Dewa Siwa, dan
waluh adalah yoni, kelamin perempuan. Ida Waluh diyakini sebagai perujudan
lingga-yoni simbol kesuburan, pemberi kesejahteraan dan kedamaian. Warga
menjaganya dengan tidur makemit saban malam di Pura Desa, sejak beberapa tahun
lalu, ketika puluhan patung suci pretima di desa-desa kaki Gunung Agung disatroni
maling.
Ida Waluh memang rawan diculik, karena
persis di belahan dadanya terbenam permata hijau lumut sebesar ibu jari tangan.
Tersebar kabar ke seluruh desa dan kota, permata itu sangat bertuah dan murah
hati. Banyak tokoh yang turut pemilihan kepala daerah atau anggota DPRD mohon
restu di Pura Desa Kesimpar, mohon petunjuk dan restu memenangkan pertarungan
politik. Mereka yakin anugerah permata hijau lumut itu menyiramkan wibawa dan
pengaruh bagi siapa saja yang memohon pada Ida Waluh, yang diyakini percikan
dari Ida Sang Hyang Widhi.
Ananta menyarankan tidak perlu makemit jika
Ida Waluh selalu bersama GPS tracker untuk melacak dan memberi alarm jika
diculik atau dipindahkan. GPS dipasang di atas lempengan baja yang menyatu
dengan kayu, yang menjadi alas duduk Ida Waluh.
Tapi warga tidak pernah yakin, tak pernah
tenang. Laki-laki dusun tidak semangat mengurus kebun, setiap saat dihantui
perasaan was-was dan bersalah jika Ida Waluh diculik. Orang-orang kampung itu
meragukan teknologi, karena teknologi hebat bisa dilawan dengan yang lebih
canggih. Teknologi itu gampang disiasati dan dikibuli. Beberapa hari setelah
pemasangan GPS, tiga wanita kesurupan meminta warga makemit kembali, bermalam
di pura. Ida Waluh memperoleh dua perlindungan: digital dan manual. Dari tempat
kosnya di Jimbaran, dengan smart phone Ananta bisa memantau Ida Waluh karena
GPS tracker tetap terpasang.
Kesurupan kini berulang di pengungsian,
dialami enam perempuan. Selepas petang anak-anak menangis menjerit-jerit tanpa
sebab. Para orang tua bingung, inguh, gelisah. Orang-orang dewasa cuma
tidur-tiduran tidak karuan, bermalas-malasan. Mereka merasa tidak nyaman dan
ingin segera kembali ke Kesimpar, namun takut disergap lahar dan terjebak awan
panas. Ketika itulah mereka sadar, Ida Waluh semestinya hadir untuk menjaga
ketenangan dan kenyamanan. Mereka sepakat menjemput Ida Waluh untuk bersama
tinggal di barak.
Hari menjelang sore tatkala dengan sangat
hati-hati Ananta membopong Ida Waluh, setelah membungkusnya dengan kain kasa
kuning yang ia dapatkan di sudut balai-balai. Gempa mengguncang-guncang semakin
sering dan kian kuat. Kadang Ananta mendengar suara gemuruh seakan gunung
meledak. Waktu terasa berjalan sangat lamban ketika ia bergegas jalan kaki
melewati Tukad Gerudug yang dipenuhi batu muntahan letusan Gunung Agung tahun
1963.
Ananta bergegas menghidupkan motor yang ia
parkir di bawah mohon jambu mete. Ida Waluh ia tempatkan di depan dada, tidak
di boncengan, karena kuwalat memunggungi sosok suci. Apalagi tanpa disadari
kadang ia kentut kalau naik motor. Dengan menempatkannya di depan, ia merasa
seakan dipeluk Ida Waluh. Ia menjadi sangat tenang, tidak gentar akan
bunyi-bunyi aneh alam sekitar karena gempa yang berulang.
Para pengungsi baru menyelesaikan makan
malam ketika Ananta tiba di pengungsian Swecapura. Ia disambut seperti
pahlawan, dielu-elukan, dipeluk penuh haru, dicubit-cubit ibu-ibu. Gadis-gadis
mencium pipinya dengan bangga dan penuh suka cita. Tempat pengungsian itu
menjadi riuh ketika Ida Waluh diarak ke ujung barak, ditempatkan dengan khidmat
di atas tumpukan kardus-kardus bekas mi dan biskuit sumbangan. Sesaji
dihaturkan, mereka menembangkan kidung wargasari, tirta dipercikkan.
Sejak itu orang-orang Kesimpar di
pengungsian menjadi tenang. Tak ada lagi yang kesurupan. Anak-anak meminjam
buku dongeng dari perpustakaan keliling. Untuk para kakek dan nenek, mereka
membaca buku Mendongeng Lima Menit yang dikumpulkan Made Taro. Kali ini
anak muda yang mendongeng untuk orang tua. Meski Gunung Agung dikabarkan kritis
siap meletus, mereka di barak tidur nyenyak. Anak-anak makan banyak, bayi
menetek susu ibunya dengan lahap.
Sampai suatu hari lewat tengah malam ponsel
Ananta berdering. Tat-tit-tut-tet-tet-tet…
Ananta yang sedang duduk-duduk di barak
pengungsi lain, tak harus menunggu dering ketiga, ia menyambar ponselnya. Ia
kaget ketika menatap layar, ikon Ida Waluh bergerak ke luar barak. Ananta
membangunkan orang-orang, mengajak mereka menatap layar selebar telapak tangan
itu.
Belasan orang bergegas mengikuti ikon yang
bergerak semakin cepat di layar. Mereka memasuki sawah yang sedang ditumbuhi
kedele. Mereka meloncati selokan tempat mereka mandi dan buang air di tengah
sawah. Layar di ikon semakin jauh dan kian bergegas menerobos sawah. Mereka
mengikuti Ananta, yang bagai menjadi komando dari sebuah pasukan tempur. Ponsel
di genggamannya seperti sebuah senjata otomatis siap menyalak. Matanya tak
lepas-lepas dari ponsel, silih berganti mengikuti arah pematang di depan agar
ia tidak terperosok.
Ananta memberi aba-aba agar orang-orang
berhenti ketika ikon di layar diam, cuma berkedip-kedip perlahan. Mereka
memandang sekitar, gelap sekali, sawah cuma diterangi cahaya bintang. Mereka
mengendap-endap menuju titik ikon Ida Waluh berhenti.
Ananta memandang lurus ke arah ikon yang
semakin dekat. Matanya tak lepas-lepas dari layar ponsel. Ia menatap sebuah
gubuk kecil beratap alang-alang, dikitari tanaman jagung yang baru berbunga.
Dengan dagunya ia menunjuk ke gubuk itu. Dan mereka serentak bergerak.
“Serbuuuuu…!”
Mereka menerobos gubuk, mendapati seseorang
duduk di atas tumpukan jerami. Gelap sekali dalam gubuk ketika orang itu
dihujani pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Erangan dan jeritan kesakitan
kalah oleh deru hantaman dan bising gerakan lengan.
Gubuk itu roboh karena tak sanggup menahan
belasan orang. Atapnya beterbangan menghantam batang-batang jagung. Ketika
itulah mereka menemukan Ida Waluh terduduk di sudut gubuk. Mereka segera
mengambil pretima, patung suci dari kayu cendana setinggi tiga puluh senti itu,
dan menjunjungnya ramai-ramai ke barak. Kecuali Ananta, tak seorang pun peduli
sama pencuri itu yang tertelungkup.
Dada Ananta berdegup kencang ketika ia
membalik tubuh orang itu, dan menatap wajahnya yang dikenal semua orang
Kesimpar.
“Pak Losen. Pak.. Pak Losen.” Ananta
menggoyang-goyang tubuh lunglai itu.
Losen perlahan membuka mata yang digenangi
darah. “Sejak lama saya ingin memiliki permata ini An,” ujarnya sembari merogoh
saku celana dan mengeluarkan permata hijau lumut yang tadi masih tertancap di
dada Ida Waluh, yang bercahaya lembut memantulkan cahaya bintang-bintang.
Ananta tak percaya, ketika orang-orang
membawa Ida Waluh ke barak, ia masih melihat jelas permata itu berada di
tempatnya.
“Yang itu palsu An, saya mencungkilnya
tadi, menggantinya. Yang ini asli. Saya cuma ingin permata ini, tidak
patungnya. Akan saya kembalikan patung itu setelah berhasil menguasai permata
lumut ini, agar saya bisa jadi bupati atau gubernur.”
“Bapak yakin?”
“Kamu kenal almarhum Pan Buyar?”
“Semua orang Kesimpar mengenalnya.”
“Pan Buyar itu kakekku, pakar batu mulia.
Ia kerap menerima berkah batu bertuah di lereng Gunung Agung, tapi semua untuk
penolak bala, tak ada buat membangun wibawa. Kakekku bilang, permata lumut ini
bisa membuat pemiliknya jadi pemimpin nomor satu.”
Losen menggenggam tangan Ananta, mencoba
memindahkan permata hijau lumut itu ke genggamannya. Ananta terperanjat,
menggeleng, menarik tangannya. Tubuhnya merinding, sesuatu berdesing dalam
dadanya. Ia menggigil.
“Takdir benda ini milikmu An, ambillah,”
suara Losen melemah. “Rawatlah dengan baik, kelak kamu bisa jadi bupati atau
gubernur.”
Losen terengah-engah, tangannya berayun
lemah memasukkan permata hijau lumut itu ke saku baju Ananta. Setelah itu ia
tak bergerak. Wajahnya bengkak tengadah menatap langit, sekujur badannya
berdarah. Orang-orang itu meremukkan tubuhnya, mematahkan rusuk dan betisnya.
Beberapa kali bunyi krok-krok-krok meluncur dari tenggorokannya, kemudian diam,
benar-benar diam.
Di barak orang-orang mengumandangkan kidung
wargasari, menyambut kembali Ida Waluh yang sempat menerebos tanaman kedele dan
jagung. Kidung itu terdengar sayup ke gubuk, seakan sekalian menjadi nyanyian
mengantar keberangkatan Losen.
Sebentar lagi pagi tiba.
Gde Aryantha Soethama, meraih Anugerah
Kesetiaan Berkarya dari harian Kompas pada 2016. Buku kumpulan cerpennya
Mandi Api (2006) meraih Khatulistiwa Literary Award. Hampir setiap tahun
cerpennya lolos dalam buku Cerpen PilihanKompas. Ia juga menulis
buku-buku jurnalistik seperti Menjadi Wartawan Desa (1985), Wawancara
Jurnalistik (1986), dan Koran Kampus (1986).
Komentar
Posting Komentar