Langsung ke konten utama

Pemesan Batik

Muna Masyari



Kali ini, untuk menggarap batik pesanan lelaki itu, ia memilih saat malam buta, di sebuah kamar berhias sarang laba-laba. Kamar penyimpan langut dan kemelut. Sebelumnya, hampir lima tahun pintu kamar itu dibiarkan terkatup serupa kebisuan mulut disumpal ujung selimut.

Ditemani kompor kecil bertindih wajan berisi cairan malam, perempuan itu menggores kain putih yang serupa kafan dan dihampar di pangkuan dengan cantingnya. Menggambar pola. Dituntun suara yang memantul dari palung paling rahasia. Setiap celupan canting pada cairan malam adalah detak jantung si pemesan yang memantul ke palung dadanya.

Di luar, jerit jangkrik beradu dengan desah gesekan daun pisang.

Sebagai pembatik yang biasa menerima pesanan khusus, bagi perempuan itu, corak, warna, dan motif batik buatannya merupakan kesatuan rasa dan jiwa pemesan. Salah satu cara untuk bisa menjiwai saat menggarap batik pesanan, perempuan yang baru menginjak kepala empat itu mengajukan beberapa pertanyaan laiknya penjaga warung makan menanyai pelanggan.

Terlebih dahulu, ia bertanya, kain batiknya untuk siapa? Akan dikenakan sendiri? Dalam rangka apa? Acara keluarga, pesta atau dinas?

Atau, akan dihadiahkan pada orang lain? Istri? Suami? Teman? Orangtua? Saudara? Sahabat dekat? Atasan? Anak buah?

Dalam rangka apa? Kado pernikahan? Ulang tahun? Kenaikan pangkat? Hadiah prestasi?

Tak hanya itu. Ketika mengajukan pertanyaan, ia mencuri pandang pada kedalaman matanya. Memancing rasa yang menjalar dari palung dada. Mengaktifkan sinyal di dadanya sendiri seperti tangan seorang ibu ketika menyentuh buah hati.

Tak jarang ia menerima pesanan dari seorang karyawan untuk dihadiahkan di ulang tahun atasannya, dengan harapan gaji dinaikkan karena bahan pangan melambung tak terjangkau. Ia membuatkan batik bermotif padih kepa’ (gabah kosong) bertabur di tanah, serupa beras tumpah. Ditambahi anak-anak burung dengan paruh menganga dan sayap mengepak rendah. Sementara corak warnanya mengambil warna gelap dan gunungan bermotif tanah retak.

Ketika ada seorang guru hendak menghadiahkan kain batik pada anak didiknya karena meraih juara lomba mata pelajaran menjelang hari kemerdekaan, ia membuatkan batik bermotif Tabur Bintang dengan latar biru langit. Dari goresan canting, polesan warna, tercurah harapan masa depan secerlang bintang di gelap malam. Saat menggarapnya, ia pun memilih nuansa pagi ceria di bawah rindang pohon lengkeng tua, tempat di mana sewaktu kecil ia disuapi ibunya sambil melihat anak ayam ribut berebut makanan.

Batik buatannya tidak berkutat pada motif dan corak yang sudah dipatenkan sebagai batik Madura, seperti batik Sagarah, Gentongan, Kembhang Saladri, Kerraban Sape, Mo’-ramo’ dan lainnya. Ia membatik dengan menyatukan imajinasi dan jiwa. Menggurat motif dan corak sesuai perasaan pemesan. Semakin kuat jiwa dan perasaan pemesan, semakin hanyut ia dengan cantingnya, semakin halus noktah dan guratan yang dihasilkan, semakin membutuhkan waktu panjang untuk menyelesaikan. Tak jarang ia melakukan tapapuasa demi menghasilkan karya yang sempurna.

Untuk pemesan batik kali ini, tak sekadar melakukan tapapuasa selama tujuh hari, ia pun terpaksa menyepuh kenangan demi merasakan kemarahan yang sama kentalnya dengan apa yang dirasakan si pemesan. Terpaksa menguak pintu kamar berkarat, penyimpan kisah laknat yang tak pernah lumat dan sempat menimbulkan kiamat.

Di hari ketiga tapapuasa, daun pintu itu dibuka dan menimbulkan denyit parau. Sarang laba-laba dan wang-sawang bersekutu. Ranjang dan seprai berlapis debu. Di kamar itu, langut dan kemelut saling pagut. Ia tak cukup memiliki kekuatan untuk membukanya, sepanjang lima tahun ini. Membiarkan pintunya rapat terkatup sama artinya berdamai dengan kenangan pada malam terkutuk.

Akan tetapi, pemesan batik itu datang suatu senja, ketika matahari tak lagi jelita. Kulitnya legam dan berkumis tebal. Dari mulutnya tercium anyir kemarahan yang begitu kental. Kepulan asap rokok yang disemburkan dengan pedas seolah satu-satunya jalan mengurangi sesak.

Ia memesan batik untuk seseorang yang telah menyulut sulur-sulur api di dadanya. Katanya, sungguh cara paling purna menghadiahkan susuatu yang bisa dijadikan penyampai pesan. Mewakili kemarahan. Bahkan ancaman. Tanpa perlu mengumbar serapah dan cercaan sampah lewat kata-kata yang sudah diracuni amarah.

”Kain batik itu bukan sekadar hadiah pernikahan. Ia berupa surat pesan, jadi harus selesai dalam sebulan! Jangan sampai terlambat!” tegas lelaki itu.

Semula ia menolak begitu mencium anyir kemarahan dan dendam dari mulutnya. Ia tidak mau campur tangan perkara dendam. Akan tetapi, anyir kemarahan kian pekat begitu mendengar dirinya menolak.

”Mungkin kau sama saja dengan perempuan senok(1) itu!” sindir lelaki itu, pedas.

Ia terdiam. Tidak tersinggung. Perkataan yang menyembur dari kemarahan tak lebih dari celoteh anak ayam berebut makanan. Kata ibunya.

”Samua perempuan sama saja! Tidak tahu diuntung! Dia yang memaksaku bekerja ke Malaysia untuk beli gelang dan kalung. Sepergianku, di belakang malah main serong!” mendengus geram.

Perempuan itu menelan ludah. Sepat. Seperti ada lidah api menjilati sudut hati. Ia melihat kebodohan dan kemarahan yang sama pada wajah lelaki di depannya. Ia tahu bagaimana kerasnya banting tulang di negeri orang. Bekerja tak kenal malam. Dalam 24 jam, tak jarang hanya sempat memejam mata dua jam. Telat bangun, cacimaki majikan seperti semburan air didih dari mulut keran.

Ia pernah merasakan didihnya darah yang mengalir di sekujur tubuh begitu tahu bahwa kekasih yang selama ini dikirimi uang hasil memeras peluh justru berlabuh ke lain tubuh.

”Bajingan itu boleh mengawini biniku, tapi setelah melangkahi mayatku!” lelaki itu menepuk dada tiga kali, ”aku menantangnya!”

Amarah berletupan.

”Buatkan batik pesan untuknya! Aku pulang untuk membuat perhitungan! Etembhang pote mata lebbi bhagus pote tolang!” pungkasnya.

Tanpa diundang, kejadian malam laknat itu terpampang serupa lembar-lembar foto tua dalam album hitam. Setiap lembar terbuka bergantian seperti dihempas angin kencang.

Di bawah langit kelam dan deru angin kencang, saat pulang dari rantau. Merayapi pertengahan malam baru menginjak kampung halaman. Seturun dari ojek, hujan deras yang memberingas ia tebas dengan langkah gegas sambil menjinjing kardus dan tas. Memburu teras demi segera berlindung dari hujan deras.

Rumah sepi bagai tak berpenghuni. Pintu terkunci. Sebentar ia mengintip ke dalam melalui celah jendela. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Ia pulang tanpa pemberitahuan. Hendak menghadiahkan kejutan.

Tanpa kunci cadangan, ia memilih masuk lewat pintu samping belakang, dekat kamar mandi. Ada pintu kayu yang bisa dibuka dari luar dengan mengulurkan tangan lewat celah lubang di bagian tepi. Dengan sedikit menggeser kunci kayu, pintu lorong penghubung antara kamar mandi dan rumah terkuak. Empat tahun ditinggal, rumah itu tidak ada perubahan, termasuk pintu samping belakang.

Langkahnya dipelankan agar tidak menimbulkan suara. Kardus dan tas besar setengah basah diletakkan hati-hati. Langkahnya terhenti di depan sebuah kamar, tempat menghabiskan malam-malam mesra selama 24 bulan, sebelum pergi meninggalkan kampung halaman.

Pintu didorong agak ragu. Tidak dikunci. Akan tetapi, begitu terbuka, petir di luar serasa menyambar tepat di atas kepala. Betapa sulit untuk percaya. Di atas ranjang, dua tubuh saling labuh.

Dengan kepala sarasa akan pecah ia berlari ke dapur, mencari sebilah pisau, namun hanya menemukan setumpuk cabai di lincak yang dipenuhi perabot kotor.

Sebelum dilipat, kain batik berlatar warna kunyit busuk itu dihampar. Masih hangat, karena baru saja diturunkan dari tali jemuran. Matanya nanar memerhatikan hasil batiknya dengan dada berdenyar.

Daun-daun waru bertebaran sebagaimana korban musim kemarau, sebagai simbol cinta yang tak sempurna. Daun-daun itu berwarna hijau layu. Bagian tepi daun bergiligir, bagai bekas dilahap ulat. Pada tepi bawah kain, sulur-sulur api saling jilat, semerah darah. Di atasnya, celurit-celurit berujung lancip saling silang.

Perempuan itu menamainya batik arek lancor.

Sebentar lagi, begitu pemesan batik itu datang sesuai perjanjian, ia akan melipat kain batiknya dengan rapi, dan memasukkan ke dalam peti mungil terbuat dari kayu jati. Ia akan mengajak pemesan batik itu ke pantai Jumiang, dan melarungkan peti kecil berisi segala dendam dan amarah itu ke lautan.

Biarlah pengkhianatan menjadi urusan semesta. Kelak, ia akan menemukan muaranya sendiri. Kembali pada yang memiliki.

Pun demikian yang dilakukan perempuan itu lima tahun silam. Sebuah ajaran yang ibu berikan, sebelum kemarahan yang lebih pitam melumatnya jadi arang.



Muna Masyari, lahir di Pamekasan, Madura, 26 Desember 1985. Menulis cerpen dan puisi. Salah satu puisinya menjadi nomine dalam Lomba Puisi Forum Tinta Dakwah FLP Riau, dan terkumpul dalam antologi Munajat Sesayat Doa. Salah satu cerpennya termuat dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas 2016. Ia bisa dihubungi melalui e-mail: masyarimuna@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...