Langsung ke konten utama

Ziarah Terakhir Gus Dar

Triyanto Triwikromo


Setelah shalat tahajud, Gus Dar merasa mendapat pesan yang sudah lama ditunggu: kau akan mati pada saat berziarah di salah satu makam wali.

Kiai 81 tahun itu gemetar. Bukan karena takut. Ia justru takjub pada kedatangan pesan yang terduga itu. Ia sama sekali tidak ingin menghindar dari kematian. Karena itulah, sesungguhnya, ia tak hendak melacak dari mana asal pesan. ”Tetapi kalau berasal dari iblis, bahaya juga. Mati dalam rengkuhan tangan perkasa sang iblis bukanlah kenikmatan yang kuinginkan.”

Gus Dar, pemimpin Pondok Pesantren Kalipungkur yang meskipun telah uzur tetap dipanggil dengan sebutan Gus itu, lalu membayangkan bagaimana pesan kematian tersebut sampai kepadanya. Mungkin mula-mula Allah berbisik kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad berbisik kepada merpati. Merpati berbisik kepada angin. Angin mengulang berkali-kali kemudian menyampaikan kepada hujan. Kata Hujan: aku tidak sanggup menyampaikan sendiri. Aku akan segera membisikkan pesan ini kepada Sunan Kalijaga.

Karena itulah, menurut Gus Dar, Sunan Kalijaga pun menerima pesan itu. Sebelum itu, Sunan Kalijaga menyibak kerumunan seribu sunan dan nabi, menembus lapisan tujuh langit, dan akhirnya hanya berhadapan dengan Hujan.

”Di makam wali yang mana ia akan mati?” tanya Sunan Kalijaga.

Hujan tak menjawab. Hujan hanya membisikkan pesan berantai itu.

”Bagaimana jika ternyata Hujan merupakan penjelmaan iblis?” batin Gus Dar, ”Bagaimana jika ternyata pesan itu berbunyi: kau akan mati sesaat setelah mimpi buruk, sesaat setelah kau pulang dari Makam Sunan Bonang?”

”Tak ada cara lain aku harus sowan ke Pondok Pesantren Kiai Rahtawu,” kata Gus Dar, ”Aku harus bertanya apakah aku akan mati pada usia 81 tahun pada saat sujud di Makam Sunan Bonang?”

Gus Dar yakin setelah bertanya kepada kiai berusia 101 tahun itu misteri kematiannya akan tersibak. Gus Dar membayangkan: Allah telah mengirimkan pesan kematian itu kepada Izrail, sang malaikat pencabut nyawa. Izrail lalu membisikkan pesan itu kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad berbisik kepada merpati. Merpati berbisik kepada angin. Angin mengulang berkali-kali kemudian menyampaikan pesan itu kepada hujan. Hujan lalu berbisik kepada Sunan Kalijaga. Kata Sunan Kalijaga: Hanya Rahtawu yang sanggup membisikkan perihal kematian itu kepada Gus Dar.

”Mengapa?” tanya Hujan.

”Karena Gus Dar berguru kepada Rahtawu.”

”Hanya karena itu?”

”Karena Rahtawu itu Al Hallaj dan Gus Dar apinya. Karena Rahtawu itu Simurg dan Gus Dar 30 burung pencari raja. Karena Rahtawu cermin dan Gus Dar sepasang mata.”

Hujan tidak terlalu memahami ungkapan-ungkapan Sunan Kalijaga. Hujan hanya bilang kepada Sunan Kalijaga: di balik kematian masih ada langit, di balik kematian masih ada laut, di balik kematian masih ada hutan. Apakah telah kau siapkan juga semacam buraq semacam cahaya untuk siapa pun yang akan dibunuh Izrail agar ia bisa terbang ke langit? Apakah telah kau siapkan semacam perahu kencana? Apakah telah kau siapkan kereta kuda terindah?

Gus Dar tahu Sunan Kalijaga tidak akan pernah mau menjawab pertanyaan semacam itu. Gus Dar tahu Sunan Kalijaga justru akan segera meminta dia ke Pondok Pesantren Kiai Rahtawu.

Diantar sopir terkasih, Gus Dar meluncur ke Kota Suci. Mereka kemudian menuju ke Pegunungan Rahtawu.

Akan tetapi, tidak mudah bertemu Kiai Rahtawu. Untuk bertemu sang kiai, Gus Dar harus berhadapan dengan Jamal Juaim. Jamal adalah penjaga pintu pondok pesantren yang sangat mengetahui situasi Kiai Rahtawu. Jamal tahu apakah Kiai Rahtawu sedang sujud atau membaca Al Quran. Jamal paham Kiai Rahtawu sedang tidur atau berzikir. Jamal juga paling mengerti apakah Kiai Rahtawu ingin menolak atau berkenan menerima tamu. Namun, Jamal tak tahu Gus Dar adalah murid terkasih Kiai Rahtawu.

”Apakah aku bisa bertemu dengan Kiai Rahtawu?” tanya Gus Dar begitu berada di Pondok Pesantren Kiai Rahtawu.

”Mungkin bisa,” kata Jamal Juaim, ”Tetapi menunggu waktu yang tepat.”

”Aku murid Kiai Rahtawu,” kata Gus Dar.

”Murid atau bukan murid tidak bisa bertemu dengan Kiai Rahtawu sekarang.”

”Apakah Kiai Rahtawu sedang berzikir?”

”Bisa, ya, bisa tidak.”

”Apakah Kiai Rahtawu sedang membaca Al Quran?”

”Bisa, ya, bisa tidak.”

”Apakah Kiai Rahtawu tidak pernah berpesan kepadamu: bakal datang seseorang untuk menanyakan kapan ia akan mati dan di mana ia akan dikuburkan?”

”Kiai Rahtawu tidak berpesan apa-apa.”

Gus Dar terdiam sesaat. ”Pasti ada yang tak beres,” pikirnya, ”Sunan Kalijaga bisa saja belum mengatakan apa-apa kepada Kiai Rahtawu. Bisa juga Sunan Kalijaga sudah mengatakan segalanya tetapi Kiai Rahtawu lupa.”

Gus Dar lalu bertanya lagi kepada Jamal Juaim, ”Apakah semalam Kiai Rahtawu tidur?”

”Kiai Rahtawu nyaris tidak pernah tidur.”

”Apakah Kiai Rahtawu tidak bermimpi tentang kematian lelaki berusia 81 tahun?”

”Sejak lima tahun lalu Kiai Rahtawu tak bisa bermimpi lagi.”

Gus Dar terdiam lagi. ”Pasti ada yang tak beres,” pikirnya, ”Barangkali Allah memang tidak pernah mengirim pesan kematian. Barangkali Izrail ingin memainkan nyawaku. Barangkali Nabi Muhammad juga tidak pernah membisikkan apa-apa kepada merpati. Merpati juga tidak pernah berbisik kepada angin. Angin tidak pernah mengulang pesan kematian itu berkali-kali kemudian menyampaikannya kepada hujan. Hujan juga tidak pernah bercakap-cakap dengan Sunan Kalijaga.

Gus Dar lalu bertanya lagi kepada Jamal Juaim, ”Apakah kau pernah bermimpi bertemu Sunan Kalijaga?”

”Pernah.”

”Apa yang pernah dikatakan oleh Sunan Kalijaga kepadamu?”

”Sunan Kalijaga bilang: seseorang akan mati indah pada saat berziarah di salah satu makam wali.”

”Apakah kau mengenal siapa yang akan mati?”

Jamal Juaim menggeleng. ”Kiai Rahtawu-lah yang tahu siapa yang bakal mati siapa yang bakal hidup hingga sembilan hari mendatang.”

”Kalau begitu,” kata Gus Dar, ”Sekali lagi izinkan aku bertemu Kiai Rahtawu. Aku akan bertanya siapa yang akan mati pada sembilan hari mendatang?”

”Mungkin kau akan bisa bertemu Kiai Rahtawu,” kata Jamal Juaim, juga sekali lagi, ”Tetapi menunggu saat yang tepat.”

Sebenarnya Gus Dar ingin marah. Akan tetapi, ia memilih bersabar. Malah tiba-tiba Gus Dar merasa Jamal Juaim, sebagaimana Kiai Rahtawu, tahu siapa akan mati siapa akan hidup sembilan hari mendatang.

Karena itu, Gus Dar mengurungkan niat bertemu dengan Kiai Rahtawu.

”Apakah sembilan hari mendatang aku akan mati?”

Jamal Juaim terdiam. Jamal Juaim kaget. ”Mengapa tidak kau lontarkan pertanyaanmu itu kepada Kiai Rahtawu?”

Kini ganti Gus Dar yang terdiam. Ia merasa berhadapan dengan tembok yang tidak bisa ditembus. Karena itu, ia ingin pulang saja. Jika masih memiliki sembilan hari untuk hidup, ia memutuskan hari itu juga mulai berziarah ke Makam Sunan Ampel. Lalu meneruskan secara acak ke Makam Sunan Giri, Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim, Makam Sunan Drajat, Makam Sunan Bonang, Makam Sunan Muria, Makam Sunan Kudus, Makam Sunan Gunung Jati, dan diakhiri ke Makam Sunan Kalijaga.

Akan tetapi, niat Gus Dar terhalang oleh sopir yang tiba-tiba menghilang. Tidak. Tidak menghilang. Sopir itu diusir oleh sepasang laki-laki berusia 40 tahunan, yang sangat tampan. Sopir itu akan ditembak jika tidak segera pergi.

”Tidak perlu mencari sopir Sampean. Kami akan mengantar ke mana pun Sampean pergi,” kata salah seorang kepada Gus Dar.

”Aku akan ke makam para wali.”

”Akan kami antar.”

Mereka kemudian mengantar Gus Dar ke makam para wali. Sembilan hari. Selama itu pula Gus Dar tidak pernah bertanya siapakah mereka. Gus Dar yakin kedua pria tampan itu bagian dari kisah kematian dirinya yang dirancang agak berbelit-belit dan rumit oleh Allah. Hanya, pada hari kesembilan Gus Dar masygul. ”Mengapa aku tidak mati-mati?”

Kini Gus Dar berada di Makam Sunan Kalijaga. Ia berharap akan mati setelah melakukan wasilah terakhir. Ia berharap pesan Allah terwujud.

”Apakah jika aku mati hari ini kalian akan memakamkan aku di dekat makam para wali?”

”Siapa bilang Sampean akan mati?” tanya salah seorang.

”Aku merasa akan mati.”

”Mungkin Sampean akan mati,” kata salah seorang, ”Tetapi menunggu saat yang tepat.”

”Aku akan mati saat berziarah di salah satu makam wali.”

”Siapa yang memberi pesan Sampean akan mati saat mengunjungi makam wali?”

”Tentu saja Allah.”

”Yakin?”

”Yakin.”

”Bukan iblis?”

Gus Dar terperanjat mendapat pertanyaan semacam itu. ”Tetapi aku yakin aku akan segera mati. Usiaku sudah 81 tahun.”

”Ya, kau mungkin akan mati,” kata salah seorang, ”Tetapi tidak di makam ini.”

”Lalu aku akan mati di makam siapa?”

Kedua pria tampan itu tidak menjawab. Mereka bergegas memapah Gus Dar yang kian lama kian kelelahan. ”Akan kalian ajak ke mana lagi aku?” tanya Gus Dar.

Kedua pria tampan itu membisu. Mereka kemudian meninggalkan Makam Sunan Kalijaga. Jip mereka kini menuju ke arah Tanjungrasung. Dalam ingatan samar Gus Dar, di Tanjungrasung memang ada makam kecil. Makam di ujung tanjung.

”Apakah itu Makam Syekh Siti Jenar?” Gus Dar membatin, ”Apakah aku akan mati setelah berziarah di makam itu? Apakah Syekh Siti Jenar wali paling wali? Apakah…”

Jip terus melaju ke Tanjungrasung.

”Kami akan membunuhmu sekarang,” kata salah seorang, setelah jip berhenti di ujung tanjung yang sepi.

Meskipun telah cukup lama mempersiapkan kematian, Gus Dar terperanjat juga. Gus Dar tak tahu akan mati dengan cara apa. Apakah kedua orang itu akan berebutan memukul kepala Gus Dar dengan pentungan kasti? Apakah kedua orang itu akan membentangkan tangan Gus Dar di tiang lalu menusukkan lembing di jantung? Apakah seseorang akan meletuskan pistol tepat di lambung atau hanya memintanya tafakur di antara keheningan daun-daun yang gugur? Gus Dar tak tahu. Gus Dar sudah tak berhasrat mengetahui apa pun saat meninggalkan dunia yang fana dan kian karut-marut itu.



Triyanto Triwikromo telah menulis Kematian Kecil Kartosoewirjo yang memungkinkan ia memperoleh penghargaan Tokoh Seni 2015 Pilihan Majalah Tempo. Ia juga menulis Ular di Mangkuk Nabi (pemeroleh Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa). Selain sebagai jurnalis, ia mengajar Penulisan Kreatif di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Sastrawan ini memperoleh Penghargaan Kesetiaan Berkarya Kompas 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...