Langsung ke konten utama

GoKill

Seno Gumira Ajidarma


Jika ingin membunuh seseorang,

kontaklah GoKill.

(iklan di media sosial)

Tahukah dikau rasanya membunuh seseorang yang sedang makan lalampa pada gigitan pertama, tepat ketika potongan ketan berisi ikan itu melewati tenggorokannya? Aku tahu rasanya, karena akulah yang membunuhnya.

Tentu ia sempat mengunyah sebelum menelannya, jadi ia sudah tahu rasa lalampa, gurih dan sedikit pedas. Bagiku itu cukup. Ia sudah menikmatinya. Setelah itu ia boleh mati.

Saat itulah peluru yang kutembakkan menembus pelipis kirinya untuk keluar lagi dari pelipis kanan. Ketika nyawanya pergi potongan lalampa itu mungkin sudah sampai ke perutnya.

Jika petugas forensik membedahnya akan berkesimpulan, ”Ada ketan, ada ikan pedas, sebelum mati korban telah menelan potongan pertama lalampa.”

Pasti akan cocok dengan sisa potongan di lantai yang masih empat perlimanya, masih terbungkus daun pisang yang sedikit gosong, mudah-mudahan tidak ada petugas yang berpikir mungkin itu masih enak, lumayan kalau dimakan, dan menelannya.

Sampai sekarang sudah 35 tahun kujalani pekerjaanku dengan cara yang disebut-sebut sebagai profesional. Kukira tiada manusia maupun lembaga yang dibentuk manusia di muka bumi ini akan bisa menangkapku. Hanya Malaikat Maut, atas perkenan Tuhan yang Maha Esa bisa memburu dan mencabut nyawaku, tetapi itu bukanlah masalahku.

Sejak berumur 25 tahun, setelah mendapat medali emas dalam cabang olahraga menembak dalam Pekan Olahraga Nasional, aku direkrut untuk menjalankan pembunuhan demi kepentingan yang disebut-sebut lebih besar daripada nyawa yang kucabut. Aku tidak pernah mencatat berapa orang yang pernah kubunuh, tetapi pasti lumayan banyak. Tahun 1983 itu aku terlibat proyek ramai-ramai membantai penjahat. Untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa katanya.

Jika dikau termasuk penggemar berita-berita kecelakaan, mungkin saja berita yang dikau baca itu bukanlah kecelakaan melainkan perbuatanku. Demi berbagai tujuan, kadang-kadang membunuh seseorang itu tidak boleh terlalu kentara sebagai pembunuhan yang disengaja, dan karenanya dibuat seperti kecelakaan. Supaya lebih tidak kentara lagi, seyogianya kecelakaan itu juga menewaskan orang- orang lain. Makin banyak makin baik. Teror? Hmm. Itu bukan maksudnya, meski mungkin menakutkan juga. Ini semacam seni.

♦♦♦

Pembunuhan terselubung memang sudah kukenal sejak usia dini. Pada tahun 1965 umurku baru tujuh tahun, ketika terbangun dari tidur dan kudengar rencana pembantaian besar-besaran di luar kamar. Agar pembantaian itu berlangsung tidak seperti sesuatu yang sengaja direncanakan, orang banyak didorong untuk terlibat, dan seperti bertindak beringas tanpa rencana, padahal selalu berada dalam pengarahan.

Tahun 1998, aku mendapat tugas yang bermiripan, mengumpankan gagasan-gagasan picik yang segera ditelan, agar penjarahan, pemerkosaan, pembakaran yang menerbangkan nyawa banyak orang menjadi kebersalahan khalayak tanpa bisa dihukum, sebagai usaha mengalihkan perhatian, lagi-lagi demi kepentingan yang selalu dikatakan lebih besar. Tentu saja aku tidak bekerja sendirian, saat itu aku bekerja untuk suatu komplotan, yang menurut rencana untuk mengubah jalan sejarah mengalami kegagalan.

Maka, pembunuhan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hariku sampai sekarang. Jika dikau bertanya apakah diriku tidak memiliki hati nurani, kukira diriku tentu tidak memilikinya. Telah berhasil kulakukan manipulasi terhadap diriku sendiri, betapa aku hanyalah tangan Malaikat Maut yang menjalankan titah Tuhan yang Maha Esa, untuk melepaskan nyawa siapapun yang sudah tiba saatnya untuk berpindah ruang. Keyakinan seperti ini membuat diriku bisa tidur dengan tenang.

Inilah yang membuatku bisa menyatakan, jika dikau sungguh-sungguh tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya membunuh seseorang, tepat setelah syair Payung Teduh yang disenandungkannya sampai pada… sedikiiiit cemas, banyak rinduuuunya…, semua itu aku tahu rasanya.

♦♦♦

Awal tahun 2018 aku masih melakukan pembunuhan. Rupa-rupanya menjadi pembunuh telah dikenal sebagai bidang pekerjaan di bawah permukaan yang tidak terlalu asing, sama tidak asingnya dengan pekerja seks komersial.

Sekarang ini, kalau butuh ojek dikau akan mengontak GoRide; kalau mau pesan makanan dikau akan menghubungi GoFood; jika tiada asisten rumah tangga di rumahmu sehingga rumahmu penuh dengan sarang laba-laba, dikau akan klak-klik-klak-klik mendatangkan GoClean; kalau perlu mobil sama seperti dikau memerlukan ojek dikau akan memanggil GoCar; dan jika dikau ingin membunuh seseorang, tetapi tidak merasa mampu melakukannya sendiri sehingga harus meminjam—tepatnya membayar—tangan orang lain, dikau akan menggunakan jasa GoKill.

Begitulah GoKill lantas akan menentukan, berdasarkan penilaian atas orang yang akan dibunuh, siapa pekerja pembunuhan yang harus ditunjuknya. Tidak seperti pekerja ojek, yang beradu cepat menyambar tawaran order, para pekerja pembunuhan hanya menunggu. Maklumlah, ini pekerjaan terlarang, tidak akan pernah berlangsung secara terbuka, karena memang tidak semudah jemput-antar ataupun pesan-antar makanan.

Di balik riuh rendahnya kehidupan sehari-hari, permintaan untuk membunuh semakin meningkat, karena menyelesaikan masalah dengan kata-kata semakin tidak bisa diandalkan. Banyak orang menginginkan jalan pintas. ”Sikat aje, abis pekare!” Lantas mereka menghubungi GoKill.

Semenjak GoKill didirikan, dari saat ke saat aku mengerjakan pesanan untuk melakukan pembunuhan. Sampai hari ini, ketika umurku sudah 60 tahun, aku belum merasa sudah waktunya untuk pensiun. Betapapun, terus terang sesuai kewajaran, menjelang umur 60 tahun aku juga memikirkan kematian, ibarat kata jika memandang matahari terbit perlahan-lahan di antara dua gunung, sekarang yang terpandang olehku adalah batu nisan. Namun, sekali lagi aku pun tahu, urusan kematianku sendiri bukanlah urusanku, karena sebagai pekerja pembunuhan pun aku sekadar kepanjangan tangan Malaikat Maut yang dititahkan Tuhan yang Maha Esa.

♦♦♦

Dalam pengalamanku sebagai pembunuh, tugas yang paling tidak kumengerti adalah tugas yang baru saja kuterima sekarang ini, yakni membunuh seseorang berusia 99 tahun.

Dengan usia seperti itu, seberapa jauh seseorang itu perlu dibunuh, seolah-olah hidupnya masih akan lama lagi? Meski tingkat kesulitan membunuhnya sama seperti membalik tangan, aku merasa perlu mempelajari data-data yang diberikan GoKill, karena pertanyaan macam apapun tidak boleh diajukan. Namun dari data yang kubaca, yang biasanya cukup lengkap untuk kutafsirkan, aku tidak mendapatkan cukup kemungkinan yang meyakinkan, tentang mengapa manula 99 tahun ini wajib dibunuh.

Jika GoKill mendapat pesanan, sebetulnya juga tidak perlu tahu alasannya kenapa seseorang itu harus dibunuh, karena data yang dikumpulkannya hanyalah yang berhubungan dengan keberhasilan untuk melakukan pembunuhan itu. Jika orang itu penggemar bubur sumsum, misalnya, sungguh mudah membuatnya menelan racun rasa bubur sumsum sehingga setidaknya tewas dalam kebahagiaan makan bubur sumsum.

Cara membunuh memang diserahkan kepada pekerja pembunuhan. Di sanalah pekerja pembunuhan akan menyalurkan kesenimanannya, ya, dalam seni membunuh. Jika dikau mau tahu, tidak jarang aku bercakap-cakap dengan orang yang sebentar lagi kehilangan nyawanya itu terlebih dahulu, baik itu diketahuinya betapa diriku akan membunuhnya, ataukah tidak diketahuinya sama sekali—tetapi yang satu ini berbeda sama sekali.

”Ah, akhirnya datang juga yang kutunggu-tunggu.”

Ah! Benarkah perempuan bernama Layla yang berumur 99 tahun ini tahu diriku datang untuk membunuhnya?

Kematian hanyalah soal waktu. Namun, apa yang membuat seseorang meninggalkan dunia ini selalu saja perlu. Mengapa harus disebutkan Roland Barthes mati karena ditabrak mobil laundry, setelah makan siang bersama calon presiden Prancis Francois Mitterand pada 25 Februari 1980 di Rue des Écoles, Paris, atas undangan Jack Lang?

Aku masih menduga perempuan ini menunggu sesuatu yang lain. Namun, ia meluruskannya.

”Aku harus berterima kasih padamu Nak, akhirnya bisa kutinggalkan juga dunia ini,” katanya dengan suara serak, ”aku tahu seorang perempuan di Arles, Perancis, pernah mencapai umur 122 tahun pada 1997, dan karena itu pernah melihat Van Gogh yang kumuh, tetapi aku tidak ingin melihat siapapun sekarang. Aku juga selalu ingin tahu bentuk rupa Prapanca yang menulis DesÅ›awarnnana, mungkin saja aku akan menemuinya setelah mati bukan?”

Hmm. Aku menduga-duga dengan cepat. Perempuan berusia 99 tahun ini telah memesan pembunuhannya sendiri. Bisnis unik GoKill memang melindungi pemesan pembunuhan, dalam arti GoKill sendiri tidak akan tahu siapa pemesannya, bahkan menata cara berhubungan terbaik sehingga jika Yang Berwajib berhasil menggerebek GoKill (kukira mesin yang bekerja sendiri, penemunya mungkin teroris yang sudah mati—tetapi ini hanya dugaan tanpa bukti) terjamin bahwa jejak ke arah pemesan tidak ada sama sekali. Tentu aku tidak perlu mengungkapnya secara rinci. Bukankah sudah kusampaikan juga, jasa pembunuhan adalah bisnis terlarang, dan karena itu segala sesuatunya berjalan dalam kerahasiaan?

Ya, perempuan ini ingin bunuh diri, melalui tangan orang lain. Diriku sebagai pekerja pembunuhan memang tahu cukup banyak tentang dirinya. Setidaknya cukup untuk membuat pembunuhannya berhasil. Ya, Layla Rokoke, juara menembak yang menjadi istri orang kaya, lumayan dikenal semasa Orde Baru dan kini tinggal di rumah jompo. Tentu tiada lagi yang mengingatnya, kecuali mungkin anggota Perbakin seperti diriku.

”Kamu memilih waktu yang tepat, Nak, pada jam seperti ini, selalu sunyi di sini,” katanya lagi, ”lakukanlah segera, karena setelah shalat Jumat, para perawat laki-laki akan kembali. Para perawat perempuan juga antre shalat di mushala yang sempit. Ini zaman orang rajin sekali sembahyang.”

Ucapannya itu mengingatkan diriku akan sesuatu.

”Mengapa tidak Ibu lakukan sendiri saja?”

Wajah 99 tahun yang menampakkan kepribadian keras itu tersenyum tipis.

”Kamu tahu aturannya bukan? Dalam agamaku bunuh diri itu dosa.”

Kukira tidak ada agama yang membenarkan bunuh diri karena putus asa.

”Sebenarnya dengan memesan pembunuhan diri sendiri, Ibu bunuh diri juga bukan? Ibu tetap saja menanggung dosanya.”

Layla Rokoke, duduk di kursi roda dengan seluruh tubuh tertutup selimut, sebagaimana biasanya orangtua yang selalu kedinginan. Apalagi AC ruangan ini dinginnya pol.

”Kurasa kamu datang tidak untuk berdebat. Cepatlah!”

Aku memang harus cepat. Setelah waktu shalat Jumat usai, para perawat akan bermunculan. Seperti kubilang, aku tidak perlu peduli kenapa seseorang harus dibunuh ketika sedang mendengarkan Sweet Georgia Brown petikan gitar Django Reinhardt yang jari manis dan kelingking tangan kirinya lumpuh. Terhadap Layla Rokoke aku telanjur peduli.

Bunuh diri itu dosa dan bunuh diri lewat tangan orang lain tentunya juga berdosa, itu urusan dia, mengapa harus membuat diriku ikut berdosa? Aku tidak keberatan menanggung dosa begitu banyak pembunuhan yang sudah kulakukan, tetapi aku keberatan menanggung dosa yang tidak perlu. Jika dirinya ingin mengakhiri riwayat sendiri, yang bisa dilakukannya dengan mudah, mengapa harus melibatkan diriku? Tambah satu dosa lagi mungkin tidak terlalu berarti bagi dosaku yang bertumpuk-tumpuk, apalagi kontrakku dengan GoKill mewajibkan diriku membunuhnya—tetapi sekali ini aku melakukan perkecualian.

Aku mengerti urusanku dengan GoKill, akan kuselesaikan nanti.

”Kukira aku tidak akan membunuhmu Ibu, itu bisa Ibu kerjakan sendiri.”

Aku berbalik dan meninggalkannya.

Namun, lantas kudengar bunyi yang sangat kukenal. Bunyi kokang pistol Glock. Kuingat selimut yang menutup seluruh tubuh, di situlah ia menyembunyikannya. Perempuan 99 tahun yang pernah mengikuti Olimpiade itu akan menembak kepalaku dengan tepat dari belakang.

Aku masih bisa tersenyum sebelum mati. Tentu saja Layla mendapat order GoKill untuk membunuhku. Aku pun tidak akan pernah tahu, siapa yang memberi order kepada GoKill.



Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Bekerja sebagai wartawan sejak 1977, kini menjabat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Seno jadi lebih dikenal setelah menulis trilogi karyanya tentang Timor Timur, yakni Saksi Mata (kumpulan cerpen), Jazz, Parfum, dan Insiden (novel), dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...