Kurnia JR
Setiap kali kami bersua, yang kutangkap pada parasnya hanya kesedihan, duka berlapis-lapis, mengental, mengeras, seakan-akan tidak pernah ada musim panas yang melelehkan gumpalan kristal gelap di dalam jiwanya.
Pada suatu malam kami duduk di pinggir lapangan tenis yang sunyi di blok rumahku. Lampu-lampu merkuri memercikkan suasana menenteramkan. Malam seperti disekap halimun yang turun dari gunung. Aku termangu mendengarkan Bisma bermonolog. Hal yang biasa terjadi jika kami sedang berdua. Secara otomatis, aku selalu menjadi pendengar yang baik
”Meski kamu sudah sering mendengarkan aku, isi hatiku, pikiranku, sampai saat ini aku ragu apakah kamu memahami aku dengan sebenar-benarnya. Ah, bukan itu. Tidak persis begitu maksudku. Aku hanya ingin bilang orang tidak akan pernah memahami orang lain, kecuali hanya secuil.”
Apa bedanya? Hatiku menyanggah diam-diam. Kamu hanya bermain parafrase.
Aku yakin aku pernah mendengar ocehan itu, setidak-tidaknya yang seperti itu. Dari banyak kalimatnya. Sebagian besar pernah kudengar. Hanya segelintir yang benar-benar baru. Itu pun kadang kala hanya merupakan parafrase dari yang pernah diungkapkan.
”Dari yang secuil itu, kukira, hanya tentang kematian.”
Aku tidak kaget. Dia benar. Yang kerap terngiang di telingaku dari ocehannya selama ini adalah kerinduan akan kematian atau, lebih tepatnya, tuntutan akan kematian, terutama pada saat depresinya memuncak. Lebih dari sekali kudapati dia terkapar di lantai kamar kosnya dengan botol minuman keras terguling. Dia mengaku mengoplos minuman itu supaya bisa membantu menyetop detak jantungnya, tetapi tidak pernah berhasil. Aku sendiri belum berhasil melepaskan dia dari obsesi yang menakutkan terhadap kematian. Kadang-kadang aku ngeri bertemu dengan dia, tetapi demi persahabatan kami yang lama, aku bertahan.
Aku memandang bulan. Aku tetap menengadah sampai dia menghabiskan tiga atau empat kalimat lagi yang melintasi ruang pendengaranku bagaikan gugusan bintang berbondong-bondong membentuk galaksi, bergerak samar dari pangkal ke ujung garis koordinat tanpa terdeteksi jiwa penasaran manusia.
”Ah, sudah malam.”
”Hampir pagi,” aku mengoreksi tanpa selera.
Buat aku tiada bekas apa pun dari percakapan itu, seperti yang sudah-sudah. Tidak juga ada rasa iba yang baru kepada Bisma yang selalu meletupkan perasaan yang kelam dari lembah jiwa yang rapuh dan sunyi. Oh, Bisma, kadang kala kuanggap kau adikku sebab kamu lebih muda dua pekan. Aku bukan tak merasa ada saat-saat kamu menatap aku seperti lelaki yang memendam rasa khusus tanpa keberanian mengungkapkan. Ya, rasa cinta, atau minimal, rasa sayang Aku hanya tak ingin mendengar ungkapan itu terlontar dari bibirmu.
Di pinggir lapangan tenis itu, sebelum kami berdiri, dia melontarkan satu pertanyaan aneh, ”Kamu sedang mencintai seseorang saat ini?”
Apa-apaan ini? Bukankah dia tahu aku tidak pernah bisa—atau belum bisa—mencintai siapa pun? Dia tahu persis aku tak mudah tergetar oleh ketampanan pria. ”Apa yang bisa membuat kamu jatuh cinta?” pernah dia bertanya begitu.
”Mencintai seseorang bukan soal sederhana, Bisma.”
”Ah, jawab saja pertanyaanku.”
”Ya, itu jawabanku.”
Dia merajuk. Aku mencoba tersenyum, tetapi dia buang muka, lalu bersikap seolah-olah dia sedang menikmati bulan sementara aku memunguti butiran pantulan sinarnya di lapangan itu.
Sepekan kemudian kulihat dia di bawah matahari pagi, berjalan penuh semangat di trotoar melewati gedung perkantoran serba-kaca. Aku takjub. Ingin kukejar, tetapi dia sudah melesat jauh. Kenapa lelaki selalu bergegas kala berjalan? Apa yang mereka kejar? Untuk memanggil dia, suaraku tentu terkalahkan oleh deru kendaraan yang tak pernah putus. Jadi, kubiarkan punggungnya lenyap di kejauhan.
Ketika tiba di kantor aku masih merasa takjub. Masih kupikirkan gaya berjalannya yang riang dengan dagu terangkat. Bahunya tertarik ke belakang sehingga sikap tubuhnya tegak seakan-akan Bisma yang kukenal telah bertransformasi menjadi manusia baru dengan roh baru. Aku melihat Bisma yang baru. Atau, itu bukan Bisma, hanya seseorang yang mirip dia?
Pada akhir pekan, malam yang basah karena hujan tak kunjung reda, kami duduk di sudut sebuah kafe sambil memandang jalanan yang macet melalui jendela. Hal baru dia perlihatkan. Dia keluarkan sebatang rokok putih dari bungkus yang baru disobek. Aku diam saja, tidak bertanya dan pura-pura tak terkejut.
Setelah embusan kedua yang dilakukan dengan gaya dramatis perokok yang sok canggih dia berujar, ”Aku tahu kamu kepingin tanya kenapa aku merokok.”
Menanggapi celotehnya yang konyol, aku bersikap acuh tak acuh dengan meneguk vodka—itu minuman lelaki, kata dia, entah apa maksudnya.
Lalu dia diam. Aku juga tak mengatakan apa-apa. Kemudian, tanpa kuminta dia menjelaskan kenapa dia merokok. ”Kubaca imbauan pemerintah yang melarang merokok dan pembatasan peredaran rokok dan iklan tentang bahaya rokok. Hal itu mendorong aku merokok. Sederhana sekali. Ini salah satu jalan pendek memeluk kematian. Bodoh sekali aku tidak menyadari hal ini, padahal peringatan tentang bahaya rokok sudah lama sekali disebarluaskan orang.” Dia tersenyum seolah-olah sedang mengejek diri sendiri.
Tiba-tiba, dia mengulangi pertanyaan lama: ”Kamu sedang mencintai seseorang saat ini?”
”Tidak. Kenapa?”
Dia terdiam. Aku menangkap sesuatu dalam diamnya: dia sedang menata kata-kata. Tak lama kemudian dia menghela napas. Itu ciri khasnya apabila dia hendak menyatakan sesuatu yang agak panjang.
”Aku ingin merasakan bagaimana mencintai seseorang, tapi aku belum pernah bertemu orang yang benar-benar kucintai. Entah bagaimana rasanya mencintai seseorang. Pernah aku ingin mencintai kamu. Kamu satu-satunya sahabat terdekat. Kamu penuh pengertian. Sangat baik buat aku. Juga sangat menarik. Kamu selalu ada. Aku ingin mencintai kamu, sebagai kekasih, tapi aku takut kamu sudah mencintai seseorang, lalu waktumu tidak seluas dulu lagi, bahkan aku harus menyingkir, memberi ruang bagi kekasihmu.”
Dia terdiam. Cukup lama. Kurasa tak ada yang perlu kutanggapi. Cukup monolog malam itu.
”Tunggu.”
”Hm?”
”Aku belum selesai.”
”Oke.”
”Aku ingin mencintai kamu.”
”Yeah, kuharap keinginanmu bisa terkabul, kapan-kapan.” Aku merasa tersinggung, namun perasaan itu kupendam dalam-dalam.
”Kita tahu, kita tak bisa menunggu. Waktu secara membabi buta menggilas kita tanpa jeda.”
”Kalau begitu, cintai aku sekarang juga, dengan ketulusanmu.”
”Cinta platonis—apakah bisa romantis?”
Aku angkat bahu.
Hening. Malam seperti berbisik, entah apa yang dikatakan. Bisma tampak tenang, namun hati kecilku mendeteksi kegelisahan menggeliat di dalam dirinya. Masa persahabatan kami yang panjang memberi keyakinan di hatiku bahwa aku dapat memahami 90 persen perasaan yang dia sembunyikan. Keyakinan itulah yang membuat aku enteng saja memutuskan untuk pulang setelah merasa bahwa dia tidak ingin mengatakan apa-apa lagi.
”Aku pulang, Bisma.”
Dia mengangguk lemah, nyaris acuh tak acuh. Tak perlu ditanggapi lagi.
Itulah momen terakhir kami bersama. Esoknya aku menerima kabar dia masuk rumah sakit, kemudian, saat aku bergegas hendak menjenguk, kuterima kabar lagi bahwa dia telah tiada. Kedua orangtuanya hanya menangis. Dokter menegaskan dia overdosis pil penenang.
Ibunya meminta aku sering datang untuk makan malam. Aku merasa keberatan, tetapi belum menemukan cara untuk menolak permintaan itu.
Kurnia JR, lahir di Tangerang, Banten, bekerja di bidang penerbitan dan buku, telah menerbitkan cerpen dalam antologi, kritik novel, kritik puisi, sketsa, dan novel, di antaranya Kereta Berangkat Senja; Inspirasi? Nonsense! Novel-novel Iwan Simatupang; Puisi untuk Reformasi, Grafiti di Tembok Istana; novel tentang Cina Benteng dengan nama samaran, dan lain-lain.
Setiap kali kami bersua, yang kutangkap pada parasnya hanya kesedihan, duka berlapis-lapis, mengental, mengeras, seakan-akan tidak pernah ada musim panas yang melelehkan gumpalan kristal gelap di dalam jiwanya.
Pada suatu malam kami duduk di pinggir lapangan tenis yang sunyi di blok rumahku. Lampu-lampu merkuri memercikkan suasana menenteramkan. Malam seperti disekap halimun yang turun dari gunung. Aku termangu mendengarkan Bisma bermonolog. Hal yang biasa terjadi jika kami sedang berdua. Secara otomatis, aku selalu menjadi pendengar yang baik
”Meski kamu sudah sering mendengarkan aku, isi hatiku, pikiranku, sampai saat ini aku ragu apakah kamu memahami aku dengan sebenar-benarnya. Ah, bukan itu. Tidak persis begitu maksudku. Aku hanya ingin bilang orang tidak akan pernah memahami orang lain, kecuali hanya secuil.”
Apa bedanya? Hatiku menyanggah diam-diam. Kamu hanya bermain parafrase.
Aku yakin aku pernah mendengar ocehan itu, setidak-tidaknya yang seperti itu. Dari banyak kalimatnya. Sebagian besar pernah kudengar. Hanya segelintir yang benar-benar baru. Itu pun kadang kala hanya merupakan parafrase dari yang pernah diungkapkan.
”Dari yang secuil itu, kukira, hanya tentang kematian.”
Aku tidak kaget. Dia benar. Yang kerap terngiang di telingaku dari ocehannya selama ini adalah kerinduan akan kematian atau, lebih tepatnya, tuntutan akan kematian, terutama pada saat depresinya memuncak. Lebih dari sekali kudapati dia terkapar di lantai kamar kosnya dengan botol minuman keras terguling. Dia mengaku mengoplos minuman itu supaya bisa membantu menyetop detak jantungnya, tetapi tidak pernah berhasil. Aku sendiri belum berhasil melepaskan dia dari obsesi yang menakutkan terhadap kematian. Kadang-kadang aku ngeri bertemu dengan dia, tetapi demi persahabatan kami yang lama, aku bertahan.
Aku memandang bulan. Aku tetap menengadah sampai dia menghabiskan tiga atau empat kalimat lagi yang melintasi ruang pendengaranku bagaikan gugusan bintang berbondong-bondong membentuk galaksi, bergerak samar dari pangkal ke ujung garis koordinat tanpa terdeteksi jiwa penasaran manusia.
”Ah, sudah malam.”
”Hampir pagi,” aku mengoreksi tanpa selera.
Buat aku tiada bekas apa pun dari percakapan itu, seperti yang sudah-sudah. Tidak juga ada rasa iba yang baru kepada Bisma yang selalu meletupkan perasaan yang kelam dari lembah jiwa yang rapuh dan sunyi. Oh, Bisma, kadang kala kuanggap kau adikku sebab kamu lebih muda dua pekan. Aku bukan tak merasa ada saat-saat kamu menatap aku seperti lelaki yang memendam rasa khusus tanpa keberanian mengungkapkan. Ya, rasa cinta, atau minimal, rasa sayang Aku hanya tak ingin mendengar ungkapan itu terlontar dari bibirmu.
Di pinggir lapangan tenis itu, sebelum kami berdiri, dia melontarkan satu pertanyaan aneh, ”Kamu sedang mencintai seseorang saat ini?”
Apa-apaan ini? Bukankah dia tahu aku tidak pernah bisa—atau belum bisa—mencintai siapa pun? Dia tahu persis aku tak mudah tergetar oleh ketampanan pria. ”Apa yang bisa membuat kamu jatuh cinta?” pernah dia bertanya begitu.
”Mencintai seseorang bukan soal sederhana, Bisma.”
”Ah, jawab saja pertanyaanku.”
”Ya, itu jawabanku.”
Dia merajuk. Aku mencoba tersenyum, tetapi dia buang muka, lalu bersikap seolah-olah dia sedang menikmati bulan sementara aku memunguti butiran pantulan sinarnya di lapangan itu.
Sepekan kemudian kulihat dia di bawah matahari pagi, berjalan penuh semangat di trotoar melewati gedung perkantoran serba-kaca. Aku takjub. Ingin kukejar, tetapi dia sudah melesat jauh. Kenapa lelaki selalu bergegas kala berjalan? Apa yang mereka kejar? Untuk memanggil dia, suaraku tentu terkalahkan oleh deru kendaraan yang tak pernah putus. Jadi, kubiarkan punggungnya lenyap di kejauhan.
Ketika tiba di kantor aku masih merasa takjub. Masih kupikirkan gaya berjalannya yang riang dengan dagu terangkat. Bahunya tertarik ke belakang sehingga sikap tubuhnya tegak seakan-akan Bisma yang kukenal telah bertransformasi menjadi manusia baru dengan roh baru. Aku melihat Bisma yang baru. Atau, itu bukan Bisma, hanya seseorang yang mirip dia?
Pada akhir pekan, malam yang basah karena hujan tak kunjung reda, kami duduk di sudut sebuah kafe sambil memandang jalanan yang macet melalui jendela. Hal baru dia perlihatkan. Dia keluarkan sebatang rokok putih dari bungkus yang baru disobek. Aku diam saja, tidak bertanya dan pura-pura tak terkejut.
Setelah embusan kedua yang dilakukan dengan gaya dramatis perokok yang sok canggih dia berujar, ”Aku tahu kamu kepingin tanya kenapa aku merokok.”
Menanggapi celotehnya yang konyol, aku bersikap acuh tak acuh dengan meneguk vodka—itu minuman lelaki, kata dia, entah apa maksudnya.
Lalu dia diam. Aku juga tak mengatakan apa-apa. Kemudian, tanpa kuminta dia menjelaskan kenapa dia merokok. ”Kubaca imbauan pemerintah yang melarang merokok dan pembatasan peredaran rokok dan iklan tentang bahaya rokok. Hal itu mendorong aku merokok. Sederhana sekali. Ini salah satu jalan pendek memeluk kematian. Bodoh sekali aku tidak menyadari hal ini, padahal peringatan tentang bahaya rokok sudah lama sekali disebarluaskan orang.” Dia tersenyum seolah-olah sedang mengejek diri sendiri.
Tiba-tiba, dia mengulangi pertanyaan lama: ”Kamu sedang mencintai seseorang saat ini?”
”Tidak. Kenapa?”
Dia terdiam. Aku menangkap sesuatu dalam diamnya: dia sedang menata kata-kata. Tak lama kemudian dia menghela napas. Itu ciri khasnya apabila dia hendak menyatakan sesuatu yang agak panjang.
”Aku ingin merasakan bagaimana mencintai seseorang, tapi aku belum pernah bertemu orang yang benar-benar kucintai. Entah bagaimana rasanya mencintai seseorang. Pernah aku ingin mencintai kamu. Kamu satu-satunya sahabat terdekat. Kamu penuh pengertian. Sangat baik buat aku. Juga sangat menarik. Kamu selalu ada. Aku ingin mencintai kamu, sebagai kekasih, tapi aku takut kamu sudah mencintai seseorang, lalu waktumu tidak seluas dulu lagi, bahkan aku harus menyingkir, memberi ruang bagi kekasihmu.”
Dia terdiam. Cukup lama. Kurasa tak ada yang perlu kutanggapi. Cukup monolog malam itu.
”Tunggu.”
”Hm?”
”Aku belum selesai.”
”Oke.”
”Aku ingin mencintai kamu.”
”Yeah, kuharap keinginanmu bisa terkabul, kapan-kapan.” Aku merasa tersinggung, namun perasaan itu kupendam dalam-dalam.
”Kita tahu, kita tak bisa menunggu. Waktu secara membabi buta menggilas kita tanpa jeda.”
”Kalau begitu, cintai aku sekarang juga, dengan ketulusanmu.”
”Cinta platonis—apakah bisa romantis?”
Aku angkat bahu.
Hening. Malam seperti berbisik, entah apa yang dikatakan. Bisma tampak tenang, namun hati kecilku mendeteksi kegelisahan menggeliat di dalam dirinya. Masa persahabatan kami yang panjang memberi keyakinan di hatiku bahwa aku dapat memahami 90 persen perasaan yang dia sembunyikan. Keyakinan itulah yang membuat aku enteng saja memutuskan untuk pulang setelah merasa bahwa dia tidak ingin mengatakan apa-apa lagi.
”Aku pulang, Bisma.”
Dia mengangguk lemah, nyaris acuh tak acuh. Tak perlu ditanggapi lagi.
Itulah momen terakhir kami bersama. Esoknya aku menerima kabar dia masuk rumah sakit, kemudian, saat aku bergegas hendak menjenguk, kuterima kabar lagi bahwa dia telah tiada. Kedua orangtuanya hanya menangis. Dokter menegaskan dia overdosis pil penenang.
Ibunya meminta aku sering datang untuk makan malam. Aku merasa keberatan, tetapi belum menemukan cara untuk menolak permintaan itu.
Kurnia JR, lahir di Tangerang, Banten, bekerja di bidang penerbitan dan buku, telah menerbitkan cerpen dalam antologi, kritik novel, kritik puisi, sketsa, dan novel, di antaranya Kereta Berangkat Senja; Inspirasi? Nonsense! Novel-novel Iwan Simatupang; Puisi untuk Reformasi, Grafiti di Tembok Istana; novel tentang Cina Benteng dengan nama samaran, dan lain-lain.
Komentar
Posting Komentar