Hamsad Rangkuti
“Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling ke arah laut. Ada pulau di ke jauhan. Mungkin impiannya yang patah sudah tidak mungkin direkat.
“Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.”
Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Tiba-tiba dia melepas sepatunya. Dia pegang kedua sepatu itu dengan kedua tangannya yang terjulur ke luar pagar pengaman. Laut menampar dinding kapal.
“Ini dari dia,” katanya dan melepas sepatu yang dia pegang itu. Aku mengabadikan kedua sepatu itu melayang jatuh ke dalam air. Kemudian dia meraba jari tangan kirinya. Di sana ada sebentuk cincin.
“Apa kata si perayu itu, sesaat sebelum dia memberi cincin ini kepadaku. ‘Upik Siti si Rabiatun. Basubang ameh di telinganya. Sudah tiga kali Den minum racun.’ Dan kuterimalah cincin ini.”
Cincin itu dia lepas dari jari manisnya. Tangkainya yang terbuat dari emas murni berkilau diterima panas matahari. Berlian yang diikatnya membiaskan cahaya. Diulurkannya cincin itu ke atas laut.
“Ini dari dia.” Cincin itu dia lepas dan tak tertangkap kameraku. Begitu cepat benda itu terjun ke dalam ombak.
“Semua yang ada pada diriku yang berasal darinya, akan kubuang. Aku tidak ingin benda-benda ini menempel di tubuhku. Biarkan aku tanpa bekas sedikit pun yang berasal darinya.”
Wanita itu mulai melepas kancing-kancing bajunya. Dia tanggalkan baju penutup bagian atas tubuhnya dan dibuangnya ke laut. Kain penutup itu melayang ditiup angin sebelum jatuh ke atas air. Kemudian dia tanggalkan penutup bagian bawah tubuhnya, dan membuka penutup dadanya.
“Ini juga dari dia. Apa pun darinya, tidak boleh ada yang melekat di jasadku, saat aku sudah tiada, di dasar laut.”
Wanita yang telanjang itu mengangkat sebelah kakinya ke luar pagar dermaga. Kamera kubidikkan. Pemandangan yang fantastis! Tiba-tiba dia menoleh ke arahku. Aku memandangnya. Lama. Kemudian, “Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?” katanya.
Permintaan itu sangat mengagetkan dan tidak masuk akal. Kupandang wajahnya lebih cermat. Pemulas bibir yang dipakainya berwarna tembaga dengan sentuhan warna emas, menyiratkan gaya aksi untuk kecantikan bibir.
“Aku tidak ingin bekas itu kubawa ke dasar laut.”
Orang-orang yang terpaku di pintu lantai geladak berteriak kepadaku.
“Lakukan! Lakukan!”
Seseorang muncul di pintu lantai geladak membawa selimut. Mereka siap menutup tubuh wanita yang telanjang itu.
“Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?” katanya sebelum dia melemparkan dirinya ke laut. “Tolonglah. Aku tidak ingin membawa bekas bibirnya di bibirku ke dasar laut. Tolonglah hapus.”
“Lakukan! Lakukan!” kata mereka.
Aku menghampiri wanita yang telanjang itu. Orang-orang di pintu lantai geladak berlari ke arah kami. Mereka menutup kami dengan selimut. Di dalam selimut kucari daun telinga wanita itu.
“Masih adakah bekas yang lain darinya di bagian tubuhmu yang harus kuhapus dengan bagian tubuhku?” bisikku.
***
“Saya Chechen, Pak,” kata wanita itu memperkenalkan dirinya begitu aku selesai menyampaikan cerpen lisan itu dan berada kembali di antara penonton. “Saya menggemari cerpen-cerpen Bapak. Saya mahasiswi fakultas sastra semester tujuh. Saya senang sekali bisa bertemu dengan Bapak, pengarang dari cerpen-cerpen yang telah banyak saya baca.”
“Terima kasih. Namamu Chechen? Tidak nama seorang Minang.”
“Bagaimana kelanjutan cerpen lisan itu?”
“Kau yang harus melanjutkannya. Kalian. Para pendengarnya.”
Sejak itu kami akrab. Aku seperti muda kembali. Berdua ke mana-mana di dalam kampus Kayutanam maupun ke Danau Singkarak, Desa Belimbing, Batusangkar, Bukittinggi, Lembah Harau, Tabek Patah, Kota Gadang, Danau Maninjau, Ngalau Indah, Lubang Jepang, Ngarai Sianok, Lembah Anai dan Istana Pagaruyung.
Besok adalah hari terakhir aku di Kayutanam. Aku harus kembali kekehidupan rutin di Jakarta. Perpisahan itu kami habiskan di kawasan wisata di luar kota Padangpanjang. Sebuah kawasan semacam taman, berisi rumah gadang dari berbagai daerah di Minangkabau. Kawasan itu bersebelahan dengan lokasi Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau. Tempat itu sejuk diliputi kabut, terkenal sebagai kota hujan. Sebentar-sebentar kabut tebal melintas menutup kawasan itu. Kami mencari tempat kosong di salah satu bangunan berbentuk payung dengan meja bulat dan kursi sandar melingkar, yang disediakan untuk para pengunjung duduk-duduk memandang sungai kecil berbatu yang terhampar di bawah dan memandang puncak Gunung Merapi. Kami berkeliling mencari tempat kosong, tetapi semua bangunan-bangunan kecil itu telah dihuni pasangan-pasangan remaja. Mereka duduk memandang lembah dan lereng gunung yang terus menerus diselimuti kabut yang datang seperti asap hutan terbakar.
Kami akhirnya duduk di hamparan rumput berbukit, di antara rumah gadang pajangan dalam ukuran yang sebenarnya.
Selama lima hari, siang dan malam kita tak pernah berpisah. Malam kita duduk berdekatan di warung-warung membiarkan kopi dingin sambil kita berpandangan. Aku mendengar proses kreatifmu sedang kau mendengarkan riwayat dan asal-usul tempat-tempat yang akan kita kunjungi besok pagi. Kita tidak menghiraukan mata-mata yang memandang kita. Kita biarkan percakapan-percakapan mereka tentang kita. Tanganku kau pegang dan aku merebahkan kepala ke bahumu dalam udara dingin Kayutanam. Semua itu akan menjadi kenangan. Besok kau akan pulang dan aku akan kembali ke kampus.
Kita pergi ke Lubang Jepang. Masuk ke dalam kegelapan gua. Berdua kita di dalam tanpa seorang pengunjung pun mengawasi kita. Aku berbisik, seolah kita masuk ke dalam kamar pengantin dan kau meminta lampu dipadamkan. Kita duduk di puncak pendakian di Lembah Harau. Kita duduk berdua memandang ke bawah mengikuti arah air terjun. Lembah kita lihat dari ketinggian dan tempat itu sangat sunyi. Kita biarkan kera-kera mendekat dan kita tidak merasa terganggu. Kita biarkan pedagang kelapa muda itu meletakkan sebutir kelapa dengan dua penyedot di lubang tempurungnya. Kita tidak hiraukan dia turun meninggalkan kita dan membiarkan kita berdua menikmati kelapa muda yang kau pesan. Kita benar-benar berdua di tempat sunyi itu. Kita menyedot air kelapa muda itu dengan dua alat sedotan dari lubang tempurung yang sama. Aku satu dan kau satu. Terkadang hening kita bersentuhan pada saat menyedot air kelapa muda itu. Kita pun lupa, mana milikku dan mana milikmu pada saat kita mengulang menyedot air kelapa muda itu. Kita sudah tidak menghiraukannya. Sesekali kedua penghisap air kelapa itu kita gunakan keduanya sekaligus, bergantian, sambil kau menatap tepat ke mataku dan aku menatap tepat ke matamu. Aku yakin, hal itu kita lakukan semacam isyarat yang tak berani kita ucapkan.
“Kelapa itu kita belah. Kau sebelah dan aku sebelah. Alangkah indahnya semua itu.”
“Kenangan itu akan kubawa pulang.”
“Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?”
Aku mendekat kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami. Begitu tebal kabut itu, seolah kami terbungkus di dalam selimut yang basah. Tak tampak sesuatu pun dalam jarak dua meter. Kelambu kabut itu menutup kami dari pandangan dunia. Kami berguling-guling di atas rumput dalam kepompong kabut.
“Masih adakah bekas yang lain di bagian tubuhmu yang harus kuhapus dengan bagian tubuhku?” bisikku.
Dia menggeliat di dalam kabut. Dicarinya telingaku.
“Tak ada bekas yang lain, yang perlu dihapus, Sayang,” bisiknya.
Serpihan kabut menyapu wajah kami bagaikan serbuk embun dipercikkan.
“Apakah kita akan keluar dari kepompong kabut ini sebagai sepasang kupu-kupu?”
“Bekas ini akan kubawa pulang dan akan ada yang menghapusnya. Bagaimana denganmu?”
“Akan kutunggu bekas yang baru di bekas yang lama, darimu.”
“Apakah itu mungkin?”
“Mungkin.”
“Aku lima empat dan kau dua-dua. Itu tidak mungkin.”
“Mungkin.”
“Aku Datuk Maringgih dan kau Siti Nurbaya, dalam usia. Apa yang memaksamu?”
“Entahlah. Aku pun tak tahu.”
Kami turun dari puncak bukit itu berpegangan tangan. Dia memegang erat jari-jariku. Dan aku memegang erat jari-jarinya. Seolah ada lem perekat di antara jari-jari kami. ***
Kayutanam 1997
“Tolong ceritakan mengapa kau ingin bunuh diri?” Dia berpaling ke arah laut. Ada pulau di ke jauhan. Mungkin impiannya yang patah sudah tidak mungkin direkat.
“Tolong ceritakan. Biar ada bahan untuk kutulis.”
Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Tiba-tiba dia melepas sepatunya. Dia pegang kedua sepatu itu dengan kedua tangannya yang terjulur ke luar pagar pengaman. Laut menampar dinding kapal.
“Ini dari dia,” katanya dan melepas sepatu yang dia pegang itu. Aku mengabadikan kedua sepatu itu melayang jatuh ke dalam air. Kemudian dia meraba jari tangan kirinya. Di sana ada sebentuk cincin.
“Apa kata si perayu itu, sesaat sebelum dia memberi cincin ini kepadaku. ‘Upik Siti si Rabiatun. Basubang ameh di telinganya. Sudah tiga kali Den minum racun.’ Dan kuterimalah cincin ini.”
Cincin itu dia lepas dari jari manisnya. Tangkainya yang terbuat dari emas murni berkilau diterima panas matahari. Berlian yang diikatnya membiaskan cahaya. Diulurkannya cincin itu ke atas laut.
“Ini dari dia.” Cincin itu dia lepas dan tak tertangkap kameraku. Begitu cepat benda itu terjun ke dalam ombak.
“Semua yang ada pada diriku yang berasal darinya, akan kubuang. Aku tidak ingin benda-benda ini menempel di tubuhku. Biarkan aku tanpa bekas sedikit pun yang berasal darinya.”
Wanita itu mulai melepas kancing-kancing bajunya. Dia tanggalkan baju penutup bagian atas tubuhnya dan dibuangnya ke laut. Kain penutup itu melayang ditiup angin sebelum jatuh ke atas air. Kemudian dia tanggalkan penutup bagian bawah tubuhnya, dan membuka penutup dadanya.
“Ini juga dari dia. Apa pun darinya, tidak boleh ada yang melekat di jasadku, saat aku sudah tiada, di dasar laut.”
Wanita yang telanjang itu mengangkat sebelah kakinya ke luar pagar dermaga. Kamera kubidikkan. Pemandangan yang fantastis! Tiba-tiba dia menoleh ke arahku. Aku memandangnya. Lama. Kemudian, “Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?” katanya.
Permintaan itu sangat mengagetkan dan tidak masuk akal. Kupandang wajahnya lebih cermat. Pemulas bibir yang dipakainya berwarna tembaga dengan sentuhan warna emas, menyiratkan gaya aksi untuk kecantikan bibir.
“Aku tidak ingin bekas itu kubawa ke dasar laut.”
Orang-orang yang terpaku di pintu lantai geladak berteriak kepadaku.
“Lakukan! Lakukan!”
Seseorang muncul di pintu lantai geladak membawa selimut. Mereka siap menutup tubuh wanita yang telanjang itu.
“Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?” katanya sebelum dia melemparkan dirinya ke laut. “Tolonglah. Aku tidak ingin membawa bekas bibirnya di bibirku ke dasar laut. Tolonglah hapus.”
“Lakukan! Lakukan!” kata mereka.
Aku menghampiri wanita yang telanjang itu. Orang-orang di pintu lantai geladak berlari ke arah kami. Mereka menutup kami dengan selimut. Di dalam selimut kucari daun telinga wanita itu.
“Masih adakah bekas yang lain darinya di bagian tubuhmu yang harus kuhapus dengan bagian tubuhku?” bisikku.
***
“Saya Chechen, Pak,” kata wanita itu memperkenalkan dirinya begitu aku selesai menyampaikan cerpen lisan itu dan berada kembali di antara penonton. “Saya menggemari cerpen-cerpen Bapak. Saya mahasiswi fakultas sastra semester tujuh. Saya senang sekali bisa bertemu dengan Bapak, pengarang dari cerpen-cerpen yang telah banyak saya baca.”
“Terima kasih. Namamu Chechen? Tidak nama seorang Minang.”
“Bagaimana kelanjutan cerpen lisan itu?”
“Kau yang harus melanjutkannya. Kalian. Para pendengarnya.”
Sejak itu kami akrab. Aku seperti muda kembali. Berdua ke mana-mana di dalam kampus Kayutanam maupun ke Danau Singkarak, Desa Belimbing, Batusangkar, Bukittinggi, Lembah Harau, Tabek Patah, Kota Gadang, Danau Maninjau, Ngalau Indah, Lubang Jepang, Ngarai Sianok, Lembah Anai dan Istana Pagaruyung.
Besok adalah hari terakhir aku di Kayutanam. Aku harus kembali kekehidupan rutin di Jakarta. Perpisahan itu kami habiskan di kawasan wisata di luar kota Padangpanjang. Sebuah kawasan semacam taman, berisi rumah gadang dari berbagai daerah di Minangkabau. Kawasan itu bersebelahan dengan lokasi Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau. Tempat itu sejuk diliputi kabut, terkenal sebagai kota hujan. Sebentar-sebentar kabut tebal melintas menutup kawasan itu. Kami mencari tempat kosong di salah satu bangunan berbentuk payung dengan meja bulat dan kursi sandar melingkar, yang disediakan untuk para pengunjung duduk-duduk memandang sungai kecil berbatu yang terhampar di bawah dan memandang puncak Gunung Merapi. Kami berkeliling mencari tempat kosong, tetapi semua bangunan-bangunan kecil itu telah dihuni pasangan-pasangan remaja. Mereka duduk memandang lembah dan lereng gunung yang terus menerus diselimuti kabut yang datang seperti asap hutan terbakar.
Kami akhirnya duduk di hamparan rumput berbukit, di antara rumah gadang pajangan dalam ukuran yang sebenarnya.
Selama lima hari, siang dan malam kita tak pernah berpisah. Malam kita duduk berdekatan di warung-warung membiarkan kopi dingin sambil kita berpandangan. Aku mendengar proses kreatifmu sedang kau mendengarkan riwayat dan asal-usul tempat-tempat yang akan kita kunjungi besok pagi. Kita tidak menghiraukan mata-mata yang memandang kita. Kita biarkan percakapan-percakapan mereka tentang kita. Tanganku kau pegang dan aku merebahkan kepala ke bahumu dalam udara dingin Kayutanam. Semua itu akan menjadi kenangan. Besok kau akan pulang dan aku akan kembali ke kampus.
Kita pergi ke Lubang Jepang. Masuk ke dalam kegelapan gua. Berdua kita di dalam tanpa seorang pengunjung pun mengawasi kita. Aku berbisik, seolah kita masuk ke dalam kamar pengantin dan kau meminta lampu dipadamkan. Kita duduk di puncak pendakian di Lembah Harau. Kita duduk berdua memandang ke bawah mengikuti arah air terjun. Lembah kita lihat dari ketinggian dan tempat itu sangat sunyi. Kita biarkan kera-kera mendekat dan kita tidak merasa terganggu. Kita biarkan pedagang kelapa muda itu meletakkan sebutir kelapa dengan dua penyedot di lubang tempurungnya. Kita tidak hiraukan dia turun meninggalkan kita dan membiarkan kita berdua menikmati kelapa muda yang kau pesan. Kita benar-benar berdua di tempat sunyi itu. Kita menyedot air kelapa muda itu dengan dua alat sedotan dari lubang tempurung yang sama. Aku satu dan kau satu. Terkadang hening kita bersentuhan pada saat menyedot air kelapa muda itu. Kita pun lupa, mana milikku dan mana milikmu pada saat kita mengulang menyedot air kelapa muda itu. Kita sudah tidak menghiraukannya. Sesekali kedua penghisap air kelapa itu kita gunakan keduanya sekaligus, bergantian, sambil kau menatap tepat ke mataku dan aku menatap tepat ke matamu. Aku yakin, hal itu kita lakukan semacam isyarat yang tak berani kita ucapkan.
“Kelapa itu kita belah. Kau sebelah dan aku sebelah. Alangkah indahnya semua itu.”
“Kenangan itu akan kubawa pulang.”
“Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?”
Aku mendekat kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami. Begitu tebal kabut itu, seolah kami terbungkus di dalam selimut yang basah. Tak tampak sesuatu pun dalam jarak dua meter. Kelambu kabut itu menutup kami dari pandangan dunia. Kami berguling-guling di atas rumput dalam kepompong kabut.
“Masih adakah bekas yang lain di bagian tubuhmu yang harus kuhapus dengan bagian tubuhku?” bisikku.
Dia menggeliat di dalam kabut. Dicarinya telingaku.
“Tak ada bekas yang lain, yang perlu dihapus, Sayang,” bisiknya.
Serpihan kabut menyapu wajah kami bagaikan serbuk embun dipercikkan.
“Apakah kita akan keluar dari kepompong kabut ini sebagai sepasang kupu-kupu?”
“Bekas ini akan kubawa pulang dan akan ada yang menghapusnya. Bagaimana denganmu?”
“Akan kutunggu bekas yang baru di bekas yang lama, darimu.”
“Apakah itu mungkin?”
“Mungkin.”
“Aku lima empat dan kau dua-dua. Itu tidak mungkin.”
“Mungkin.”
“Aku Datuk Maringgih dan kau Siti Nurbaya, dalam usia. Apa yang memaksamu?”
“Entahlah. Aku pun tak tahu.”
Kami turun dari puncak bukit itu berpegangan tangan. Dia memegang erat jari-jariku. Dan aku memegang erat jari-jarinya. Seolah ada lem perekat di antara jari-jari kami. ***
Kayutanam 1997
*Cerpen ini sebelumnya telah dimuat di Kompas Minggu, 15 Februari 1998, halaman 17. Dimuat ulang sebagai penghormatan pada dedikasi Hamsad Rangkuti pada dunia sastra.
Komentar
Posting Komentar