Langsung ke konten utama

Kehidupan di Dasar Telaga

S Prasetyo Utomo

 “APA aku mesti jadi sobrah?” kelakar Arum, perempuan setengah baya itu, sebelum ia menaiki anak tangga untuk mencapai bibir perahu bermesin. Arum memandangi Suman, lelaki setengah baya, teman seperjalanannya dari kota. Lelaki itu masih berdiri di tepi telaga, terdiam. Cekatan lelaki setengah baya itu menaiki anak tangga, memijak papan dasar perahu. Duduk di bangku kayu, berdampingan dengan Arum, Suman merasakan guncangan agak menyentak saat tukang perahu-yang sudah memutih rambutnya, tetapi masih kekar-menghidupkan mesin. Lambat, perahu bercat biru tua itu mengarungi telaga. Tak ada perahu lain. Lelaki setengah baya itu berseloroh dalam hati: apa salahnya melakukan sobrah?

Perahu meluncur pelan meninggalkan daratan, menyibak biru air telaga. Menyibak sunyi kabut tipis pagi. Jauh di ujung telaga, tampak samar puncak bukit, yang lembahnya digenangi air. Ada makam sepasang kekasih, seorang pangeran dan ibu tirinya yang melarikan diri dari keraton, dikuburkan di puncak bukit itu. Orang-orang menyeberangi telaga, mendaki bukit, ziarah ke makam sepasang kekasih itu, mencari berkah.

Duduk memandang gelombang kecil telaga disibak perahu, Arum mulai sangsi akan perjalanannya kali ini: mengapa aku mesti ke bukit itu?

“Kita sedang berlibur, Arum. Kita mencari ketenangan. Tiap hari kita kerja banting tulang, melampaui kerja orang-orang kebanyakan. Kau bukan sobrah, perempuan yang melepas kesuciannya pada lelaki, untuk cari berkah.

Duduk berdua dengan Suman di perahu, Arum kembali teringat akan anak perempuannya, Dewi Laksmi, seorang penari, yang ranum tubuhnya, meminta restunya untuk menikah. Ia memang memberi restu. Bagaimana mungkin ia kembali pada keluarga? Ia sudah meninggalkan suami, meninggalkan anak-anak. Ia menempati rumah sendiri dan menerima Suman dalam kehidupannya. Sesekali ia merasa gelisah, tersiksa, dan tebersit rasa malu. Tetapi kenapa Suman seperti tak pernah merasakan tindakannya hina?

“Apa yang kaulihat di permukaan air telaga ini, Arum? Keindahan genangan air? Ikan-ikan yang ditangkapi nelayan, dipanggang, dan dijajakan di warung makan tepi telaga? Orang-orang yang berlayar menebar canda di atas perahu?” Suman memegangi tangan Arum. “Apa kamu dapat melihat kehidupan di dasar telaga?”

“Ganggang dan ikan-ikan?

Suman tersenyum pedih. “Di dasar telaga ini ada kehidupanku di masa lalu, sebelum wilayah ini ditenggelamkan dengan lima aliran sungai yang dibendung. Aku salah satu penduduk yang tinggal di lembah bukit, ayah-ibuku bertani, menggembala sapi dan kambing. Ayam-ayam berkeliaran, mematuki bulir padi dan jagung yang dijemur.”

Deru mesin mendorong laju perahu itu kian mengapung ke tengah telaga, mendekati pulau-pulau kecil tanpa penghuni. Pulau-pulau itu dulunya bukit-bukit hijau, yang kemudian ditenggelamkan sebagai telaga. Tak ada lagi rumah-rumah, sawah, ladang, kuburan leluhur dan hutan jati, dengan anak-anak yang bermain bola di padang rumput. Dulu selalu dijumpai Suman wajah-wajah yang getir dan menahan diri, yang menghilang satu demi satu, entah pindah ke mana: pulau seberang sebagai transmigran, merantau ke kota, atau bersembunyi di hutan-hutan jati.

PERAHU belum mencapai bukit tempat pangeran dan kekasihnya dimakamkan. Masih jauh. Arum melihat perubahan wajah Suman, yang sepekat endapan lumpur telaga. Wajah yang kehilangan senyum, kehilangan pancaran mata, kehilangan gelagat muslihat dalam lipatan dan gurat-gurat wajahnya. Suman seperti menyusuri kembali lorong gelap masa silam, masa remaja, masa yang diteror ketakutan.

“Aku tak lagi dapat mengenali di mana rumah kami, lahan, dan sawah yang subur,” kata Suman. “Kau tahu, bagaimana ayahku dikejar-kejar aparat desa, dipaksa melepas rumah, sawah, ladang, dengan harga sangat murah. Ayah dituduh pembangkang, bahkan kemudian dituding komunis. Sawah kami digenangi air sungai, dan tempat tinggal kami terendam. Ayah, ibu, dan kakak perempuanku dipaksa transmigrasi ke pulau seberang. Aku bertahan di sini, mengikuti seorang tetangga, tinggal di desa tak jauh dari telaga, bersekolah, membantu membuat keramba, memelihara ikan-ikan, dan menangkapnya untuk dijual ke pasar. “

Masih berkabut, masih senyap, perahu bermesin menyibak air telaga, kadang mendekati pulau-pulau kecil subur ditumbuhi jajaran pohon jagung, atau berhutan jati, dengan gubuk-gubuk lapuk. Kadang perahu menjauh dari pulau-pulau kecil itu. Tak ada perahu mesin lain yang meluncur di tengah telaga. Perahu-perahu mesin itu terapung-apung ditambat di dekat warung makan yang menyajikan ikan panggang di tepi telaga. Asap tipis dari tungku-tungku pembakaran ikan mulai mengapung dari tempat itu.

Wajah Suman masih getir. Tak tampak senyum sinis, sebagaimana biasa. Tak terpancar mata seorang penjilat yang rakus. Ia menjelma menjadi lelaki yang tertindas, lelaki yang membebaskan diri dari tekanan-tekanan batin di masa lalu.

“Aku selalu berlayar mengarungi telaga ini dengan rasa marah,” kata Suman. “Di pulau seberang itu mula-mula ibuku meninggal, lalu ayahku meninggal setahun kemudian. Lahan yang digarapnya tak memberikan apa pun, kecuali kemiskinan. Tinggal kakak perempuanku yang bertahan di sana, menikah dengan sesama perantau, dan memiliki dua orang anak. Pernah aku menengok mereka, dalam keadaan yang nestapa, dan tak pernah bisa pulang ke tanah leluhurnya.”

ARUM lebih banyak berdiam diri, mendengarkan Suman. Aneh. Kali ini Arum merasa lebih mengenal perasaan Suman daripada perasaan suami yang ditinggalkannya. Suman tak sungkan-sungkan membongkar rahasia hidupnya di masa lalu. Ia mengakui tak selesai kuliah arsitektur lantaran tak memiliki biaya dan memulai hidup sebagai mandor bangunan-sebelum kemudian pelan-pelan menikmati kerja sebagai pemborong. Suami Arum senantiasa menjaga diri agar tampak gagah dan tangguh, hadir dari masa silam yang bersih.

Laju perahu mencapai bukit tempat pangeran dan kekasihnya dimakamkan. Dengan tangga kayu kecil, hati-hati sekali, Arum turun dari perahu, mencapai daratan. Suman tak memerlukan tangga itu. Ia meloncat dari bibir perahu, mencapai daratan. Wajah Suman tak sekeruh ketika meluncur dalam perahu. Ia mulai menggoda Arum, “Mari, kita ziarah ke makam pangeran, lalu kau akan menjalani sobrah!”

Mendaki jalan berudak-undak ke makam pangeran, wajah Suman kini tak lagi beku. Ia telah kembali ke perangai sehari-hari: penebar jerat, pemasang perangkap.

“Di sekitar sini banyak penginapan. Kita bisa bermalam.”

“Menginaplah sendiri. Aku akan turun ke kota.”

Bertemu dengan juru kunci yang berwajah keriput, berpakaian lurik, Arum merasa tenteram. Lelaki tua itu menerima siapa pun dengan senyum tulus. Sepasang matanya tak menyembunyikan kepura-puraan. Dari bibirnya senantiasa mengepul asap rokok kretek. “Mari, ziarah. Datanglah ke makam ini dengan hati bersih.”

Bunga tertabur di pusara pangeran. Dupa leleh menghitam di atas arang yang padam, di atas anglo kecil. Juru kunci itu sangat santun pada Suman, seperti sudah mengenal sangat lama. Tetapi Arum tak berani menyingkap keakraban ini menjadi sebuah kesimpulan: Suman sering ziarah ke makam ini. Tentu tidak ziarah seorang diri. Dia datang ke makam ini bersama perempuan sobrah? Lama Suman berdoa. Matanya terpejam, seperti ingin membebaskan segala kesialan hidup di masa lalu. Orang-orang yang ziarah belakangan sudah meninggalkan makam, tetapi Suman masih bersimpuh dengan doanya.

Meninggalkan makam yang dikeramatkan, melangkah lambat-lambat, Suman seperti enggan menuruni jalan berundak-undak mencapai bibir telaga. Arum menarik tangan Suman, segera menuju ke perahu, kembali menyeberangi telaga. Mereka diseberangkan tukang perahu yang tadi mengantar mereka ke bukit. Muka Suman kembali suram sepanjang perjalanan perahu. Matanya kelam memandang kehidupan di dasar telaga. Terus-menerus memandangi permukaan air telaga, seperti ingin melihat kehidupan masa lalu yang penuh ketakutan.

ASAP ikan panggang memenuhi pasar tradisional di tepi telaga. Arum duduk di tikar warung makan memesan ikan nila panggang. Suman tak ingin menikmati ikan panggang apa pun. “Aku tak bisa makan dari kehidupan di telaga ini. Tak tega. Pesankan saja aku kelapa muda.” Arum melumuri ikan panggang itu dengan sambal kecap. Ikan yang gurih segar itu dimakannya dengan sambal terasi dan lalapan irisan mentimun. Ia sangat menikmatinya.

“Kadang aku merasa sangat berdosa terhadapmu,” kata Suman.

Arum berhenti mengunyah ikan panggang. Memandangi lelaki setengah baya yang memendam kepedihan dalam hatinya. Ia tak pernah menduga bila Suman membongkar kepedihan hidup masa lalunya. Ia merasa sudah menyimpang terlalu jauh dengan meninggalkan suami, dua anak perempuan, untuk menemukan pekerjaan, menempati rumah sendiri, dan menerima Suman dalam kehidupannya. Tetapi ia tak merasa kecewa.

“Aku telah menyeretmu meninggalkan keluarga. Mula-mula membujukmu mengikuti pemilihan kepala daerah. Memaksamu sebagai calon wakil wali kota, dan kalah, hingga menanggung utang. Kau menjual rumah dan ladang. Aku memintamu meninggalkan keluarga, memberimu pekerjaan dan rumah. Apa kau tak pernah berpikir untuk kembali pada suami dan anak-anak?”

Arum tengah menikmati ikan panggang dan sambal terasi yang membangkitkan selera makannya. Ia makan dengan lahap. Sama sekali ia tak menduga, Suman bakal memintanya kembali pada suami.

“Ingat, putri bungsumu bakal nikah!” desak Suman. “Ia memerlukan kehadiranmu.”

“Lalu, bagaimana dengan kamu?”

“Aku? Aku tetaplah hidup seperti sedia kala, menjadi pemborong bangunan dan merawat istriku yang lumpuh. Mungkin, kalau beruntung, aku akan menemukan perempuan lain sebagai penggantimu.”

“Semudah itu?”

“Menjauhlah dariku, sebelum aku berubah pikiran!” pinta Suman, menatapi air telaga, bening dan tenang. Perahu-perahu beriringan berlayar di atas telaga, dengan para penumpang yang berwajah ceria: bercanda di atas perahu dan Suman merasa bahwa mereka tengah menertawakannya.

Arum tak memberi jawaban. Ia tetap menikmati ikan panggang, sambal terasi, dan lalap irisan mentimun, sampai tinggal duri-duri ikan terserak di piring, dan kepala nila yang utuh. Ia tak bisa begitu saja kembali pada suami, yang selama ini tak pernah berusaha mencarinya. Dewi Laksmilah, anak perempuannya, yang diam-diam selalu menemuinya dan meminta agar ia kembali pada suami. Dewi Laksmi ingin pernikahannya dengan Wisnu didampingi ayah dan ibu.

Meninggalkan warung makan lesehan di pasar tradisional itu, hari menjelang senja, hutan-hutan jati yang mengelilingi telaga memantulkan bayang-bayang kegelapan. Para penjual ikan panggang meninggalkan tepi telaga dengan mobil bak terbuka. Tak ada cahaya listrik. Genangan air telaga kian menghitam. Pulau-pulau mengabur di tengah telaga. Bukit dan langit menghitam. Kabut mulai turun. Mengendap di sekitar telaga.

Suman memasuki mobil yang masih baru. Arum duduk di sisinya. “Kau boleh membawa mobil ini. Aku sudah memberikannya padamu. Mobil ini kubeli atas namamu.”

Terdiam, di ruang parkir yang senyap, tak lagi terdapat mobil lain dan pengunjung telaga. Dari dalam hutan jati mulai terdengar bersahutan suara serangga, berasal dari kegelapan pekat tanpa cahaya. Suman enggan meninggalkan tempat parkir. Ia masih memandangi telaga, seperti melihat kehidupan di dasarnya. Telaga menghitam, perahu-perahu yang ditambatkan serupa gambar hangus terbakar. Masih tersisa aroma asap panggang ikan di pasar tradisional dan warung makan yang ditinggal pulang penjualnya. Arum bisa membaca pertentangan hasrat dalam batin Suman.

“Aku tak akan kembali pada suamiku,” kata Arum pelan.

Tanpa menunjukkan perasaannya, Suman mengendarai mobil itu tenang, cahaya lampunya terang, menyibak gelap jalan berkelok-kelok, menuruni celah hutan-hutan jati, menjauhi telaga.

Catatan: Sobrah: seorang perempuan yang mencari berkah di Gunung Kemukus, setelah ziarah ke makam Pangeran Samodra, dengan jalan berhubungan intim dengan lelaki bukan suaminya.



S Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Semenjak 1983 menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa. Tulisannya antara lain dibukukan dalam antologi Perdebatan Sastra Kontekstual (antologi esai, 1985), Antologi Puisi Jawa Tengah (antologi puisi, 1994), Serayu (antologi puisi, 1995), Ritus (antologi cerpen, 1995), Lawang Sewoe (antologi puisi,1996), Sesudah Layar Turun (antologi puisi, 1996).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya.

Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu?

Faisal Oddang Nama saya Rahing, usia delapan tahun lebih. Saya baru saja membunuh kakak saya. Lehernya saya potong pakai parang milik gerombolan. Saya ditangkap tentara. Tentara banyak sekali pertanyaannya, saya jadi pusing. Saya bilang mau pulang. Tentara bilang tidak boleh. Saya jadi sedih dan takut. Besok hari Minggu, Guru Semmang akan cubit saya kalau tidak masuk sekolah. Sekolah kami sekarang, pindah ke dalam hutan. Saya bilang, saya mau cerita tetapi sudah itu, saya pulang. Tentara setuju. Saya bilang lagi, saya mau cerita tetapi jangan bilang sama Guru Semmang. Dan jangan kasih tahu Ayah kalau saya di sini, tentara janji. Saya takut Guru Semmang cubit saya. Saya takut Ayah lihat saya, dia mau bunuh saya. Dia sering dipukul ayahnya menggunakan warangka parang. Bermacam-macam persoalan menjadi penyebabnya. Yang paling sering, karena Rahing dekat dengan Semmang-lelaki yang ayahnya benci secara ideologi bahkan secara personal. Yang Rahing alami sungguh tidak serumit yang di kep

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke