Ni Komang Ariani
Bagian I: Laki-laki yang Menyeberang
Setiap kali sebuah peran dimasukinya, laki-laki itu tahu, ada jiwa baru yang tumbuh. Jiwa-jiwa baru yang memesona. Jiwa-jiwa baru yang menyeretnya dalam pusaran. Semakin ia mengenal jiwa-jiwa itu, semakin ia merasa kerdil. Kecil. Sebuah arus kecil dalam luasnya samudra. Semakin banyak yang belum dikuasainya. Ia seperti perenang pemula di tengah-tengah perenang olimpiade. Diam-diam, ia merasa iri. Pada jiwa-jiwa besar yang telah dimasukinya. Ia sengaja membiarkan dirinya terserap, diombang-ambingkan pusaran, timbul tenggelam menuju dasar yang amat jauh dan dalam. Ia tak mau menjadi sepotong wajah yang menawan.
Ia tahu, sejak saat itu, ia tidak pernah lagi bisa menjadi sosok yang sederhana. Ia tidak dapat lagi menjadi seseorang yang memikirkan hal-hal yang dangkal. Ia tidak dapat lagi menjadi seseorang yang tertawa keras dan lebar. Ia telah mendatangi tempat-tempat yang membuatnya mengenal air mata yang meleleh di lubuk hati. Air mata yang tidak pernah tumpah menjadi titik-titik air yang dapat dipegang. Air mata yang mengalir bersama garis senyum dan tawa. Ia telah bertemu dan mengenal orang-orang yang memiliki kebesaran jiwa. Jiwa yang lebih besar dari bumi yang dapat mengukurnya. Air mata itu meresap dan menetes dalam batinnya. Menetes-netes di sudut yang kosong dan perlahan memanjat ke dalam jiwa-jiwa barunya yang terus tumbuh besar.
Laki-laki itu mencintai perempuan itu. Perempuan yang membuat tarikan senyumnya selalu melebar walaupun ia berusaha sembunyikan. Namun, ia tahu, ia dan perempuan itu tak lagi berbagi ruang batin. Tawa lebar perempuan itu berada di dunia yang berbeda dengannya. Mereka dapat menikmati tawa masing- masing, namun mereka tak lagi berada pada dimensi yang sama.
Ia percaya cinta dapat abadi di hati pemiliknya. Ia dapat memeluk dirinya sendiri, seperti ketika tiga puluh tahun yang lalu, ia memeluk dirinya sendiri meluncur dari rahim ibunya. Sendirian memeluk tangisnya yang melengking membelah kesunyian. Kesendirian bukanlah penderitaan, namun kesadaran akan jiwa yang telah genap sejak ia dilahirkan.
Ia akan merindukan, namun merindukan bukanlah kesengsaraan. Merindukan hanyalah mengabadikan kenangan. Ia melukis perempuan itu di kanvas hatinya, dan memajangnya pada setiap dinding sehingga hatinya penuh oleh lukisan perempuan itu.
Selanjutnya, laki-laki itu tahu apa yang akan selalu dilakukannya. Ia akan bercengkerama dengan air mata yang mengajarinya banyak pengetahuan. Air mata yang mengajarinya jiwa-jiwa besar. Ia tahu ia terlahir bukan hanya menjadi sepotong wajah yang menawan. Ia ditakdirkan untuk melampui wajah dan menyeberang ke dimensi lain. Perjalanan itu telah membuatnya mengenal begitu banyak hal. Bahkan, hal-hal yang tidak pernah dipikirkannya.
Orang-orang yang berdansa
Di perjalanan, selalu ia temukan orang-orang yang berdansa. Orang yang selalu memandang dengan wajah nyaman, seperti semua masalah di dunia sudah menjadi masa lalu. Mereka adalah orang-orang memikul beban yang teramat ringan di pundak. Mereka dapat merasa sama pada kesedihan dan kegembiraan. Laki-laki itu menyerap air mata yang telah tersuling menjadi air murni.
Orang-orang yang menghentikan waktu
Laki-laki menemui orang- orang yang berhenti di suatu titik waktu. Tepat ketika mereka tiba di titik setimbang, mereka tidak mau lagi melangkah maju. Apa yang terjadi kemudian adalah pengulangan demi pengulangan. Air mata mengalir dari pipi-pipi yang terlipat garis waktu. Waktu tidak berhenti dalam sejenak pun.
Kerumunan yang berdengung
Yang paling membuatnya lelah adalah jika ia dipaksa berada di tengah kerumunan yang terdengung. Jumlah mereka begitu banyak, namun suara mereka amat seragam. Suara-suara yang terdengar adalah suara-suara yang membuat laki-laki itu mual. Suara tawa yang ribut. Cekikikan. Suara pertengkaran yang memekakkan. Keramaian celoteh di sosial media yang memuakkan. Mereka kerumunan yang menyerbu ke mana saja, tanpa tahu apa yang menunggu mereka di tujuan. Kerumunan yang berlari sekencang-kencangnya, namun tak tahu apa yang dikejar. Kerumunan yang mengistirahatkan isi batok kepala mereka di kulkas dan tak pernah menyentuhnya. Dibiarkan mengeras menjadi daging beku.
Orang-orang yang ditakdirkan berselisih jalan
Laki-laki itu memikirkan beberapa orang yang selalu gagal ditemuinya. Ia tidak berupaya mencari atau menanyakannya. Ia hanya berharap dapat bertemu pada persilangan yang tidak terduga. Dan itu tidak pernah terjadi. Karena itulah ia percaya, beberapa orang yang saling memikirkan telah ditakdirkan untuk tak pernah saling bertemu. Mereka dapat berada di suatu bandara yang sama beberapa saat, pulau yang sama beberapa lama, mal yang sama beberapa waktu, namun tak ada satu pun persilangan yang mempertemukan mereka; menautkan mata mereka berhadapan di satu titik. Barangkali agar mereka dapat terus saling memikirkan. Ada masa lalu yang akan sepenuhnya terkubur. Ada masa lalu yang barangkali kelak akan memberikan jawaban.
Bagian II: Perempuan di Tepi Persimpangan
Perempuan itu adalah perempuan yang bimbang di tepi persimpangan. Persimpangan empat penjuru itu seperti mengarah ke empat jalur yang serba misterius. Serba mencekam. Perempuan itu tak bisa melihat ujung dari setiap persimpangan yang ada di hadapannya.
Sekali lagi soal pilihan ganda yang ganjil. Setiap kali hidup menyodorkan pilihan ke depan hidungnya, perempuan itu berusaha memilih dengan segenap jiwa, namun pilihan-pilihan yang tersedia tidak pernah cukup baik. Seperti halnya soal-soal pilihan ganda, kau tetap harus menyilang salah satu jawaban, betapa pun anehnya jawaban-jawaban yang tersedia.
Dia percaya begitulah hidup yang sesungguhnya. Hidup adalah meloncat dari satu soal pilihan ganda ke soal pilihan ganda yang lainnya. Hidup adalah memilih jawaban-jawaban ganjil dari seorang pembuat soal yang ogah-ogahan. Hidup bukanlah dongeng Cinderella dengan pilihan seorang pangeran tampan yang tinggal di istana yang megah.
Hidup adalah kegiatan memilih benda-benda. Di rumah seperti apa yang kau bayangkan hidupmu. Berpakaian seperti apa, laki-laki yang menjadi pasanganmu. Di restoran mana kalian menghabiskan waktu untuk merayakan anniversary. Apa dessert yang disajikan di restoran itu? Ke mana kalian akan pergi berlibur?
Kadang ia mengingat laki-laki itu, namun perempuan itu tahu apa yang paling diinginkannya dalam hidup. Ia tahu betul jenis gaun yang harus tergantung di lemari bajunya. Ia tahu betul jenis sepatu yang berjejer di rak sepatunya. Dan ia telah lelah. Lelah mendengar suara kerumunan yang terus berdengung di depan telinganya. Ribuan tawon yang tak lama lagi mungkin akan memasuki labirin dan memukul- mukul gendang telinganya. Dan perempuan itu menyerah. Menyerah pada jawaban ganjil yang disilangnya. Mengucap kata-kata penghiburan memilih adalah pekerjaan paling absurd di dunia? Setiap pilihan akan menjebakmu di tikungan yang tak terduga.
Rindunya telah menjadi fosil, yang ia simpan di dalam lemari terkunci di museum-museum yang lengang. Seperti kata laki-laki itu, ia akan bisa memeluk tubuhnya sendiri, sama seperti ia pertama kali meluncur dari rahim ibunya. Ia bisa memeluk tubuhnya sendiri bersama suara tangis yang melengking, membelah kesunyian.
Dua sisi mata uang
Laki-laki itu berdiri di satu sisi, dan perempuan itu berada di sisi yang lain. Mereka hidup bersisian, namun tak pernah bersilang tatap. Laki-laki menyentuh dinding-dinding mata uang yang dingin. Perempuan itu menyusur gurat-gurat gambar dan huruf timbul yang ada di sana.
Kadang-kadang cinta diabadikan dengan cara yang amat ganjil. Dibiarkan terus tumbuh menyusun perasaan-perasaan baru seperti tumbuhnya kuncup-kuncup daun. Dibiarkan terpisah dan tak dapat saling menyentuh, seperti sebuah cetakan untuk terus mengabadikan rindu.
Air mata-air mata di perjalanan telah mengajari laki-laki itu tentang dua sisi mata uang. Bahwa kesedihan ataupun kegembiraan tidak pernah abadi. Setiap kali kesedihan datang akan tiba waktunya kegembiraan tiba. Setiap kegembiraan tiba, ia menyimpan sebuah kesedihan yang akan hadir. Dua hal yang berlawanan selalu berada berdampingan. Tak ada hal baik yang tak berdampingan dengan hal buruk. Tak ada yang datang, yang tak pernah pergi.
Catatan: Cerpen ini diilhami kumpulan puisi karya M Aan Mansyur, Tidak Ada New York Hari Ini.
Ni Komang Ariani lahir di Gianyar Bali, 19 Mei 1978. Telah menerbitkan empat buku, yaitu Lidah, Senjakala, Bukan Permaisuri, dan Jas Putih. Dua kali masuk nomine Khatulistiwa Literary Award dan tiga kali masuk Buku Cerpen Pilihan Kompas. Selain menulis, saat ini dia bekerja sebagai dosen.
Bagian I: Laki-laki yang Menyeberang
Setiap kali sebuah peran dimasukinya, laki-laki itu tahu, ada jiwa baru yang tumbuh. Jiwa-jiwa baru yang memesona. Jiwa-jiwa baru yang menyeretnya dalam pusaran. Semakin ia mengenal jiwa-jiwa itu, semakin ia merasa kerdil. Kecil. Sebuah arus kecil dalam luasnya samudra. Semakin banyak yang belum dikuasainya. Ia seperti perenang pemula di tengah-tengah perenang olimpiade. Diam-diam, ia merasa iri. Pada jiwa-jiwa besar yang telah dimasukinya. Ia sengaja membiarkan dirinya terserap, diombang-ambingkan pusaran, timbul tenggelam menuju dasar yang amat jauh dan dalam. Ia tak mau menjadi sepotong wajah yang menawan.
Ia tahu, sejak saat itu, ia tidak pernah lagi bisa menjadi sosok yang sederhana. Ia tidak dapat lagi menjadi seseorang yang memikirkan hal-hal yang dangkal. Ia tidak dapat lagi menjadi seseorang yang tertawa keras dan lebar. Ia telah mendatangi tempat-tempat yang membuatnya mengenal air mata yang meleleh di lubuk hati. Air mata yang tidak pernah tumpah menjadi titik-titik air yang dapat dipegang. Air mata yang mengalir bersama garis senyum dan tawa. Ia telah bertemu dan mengenal orang-orang yang memiliki kebesaran jiwa. Jiwa yang lebih besar dari bumi yang dapat mengukurnya. Air mata itu meresap dan menetes dalam batinnya. Menetes-netes di sudut yang kosong dan perlahan memanjat ke dalam jiwa-jiwa barunya yang terus tumbuh besar.
Laki-laki itu mencintai perempuan itu. Perempuan yang membuat tarikan senyumnya selalu melebar walaupun ia berusaha sembunyikan. Namun, ia tahu, ia dan perempuan itu tak lagi berbagi ruang batin. Tawa lebar perempuan itu berada di dunia yang berbeda dengannya. Mereka dapat menikmati tawa masing- masing, namun mereka tak lagi berada pada dimensi yang sama.
Ia percaya cinta dapat abadi di hati pemiliknya. Ia dapat memeluk dirinya sendiri, seperti ketika tiga puluh tahun yang lalu, ia memeluk dirinya sendiri meluncur dari rahim ibunya. Sendirian memeluk tangisnya yang melengking membelah kesunyian. Kesendirian bukanlah penderitaan, namun kesadaran akan jiwa yang telah genap sejak ia dilahirkan.
Ia akan merindukan, namun merindukan bukanlah kesengsaraan. Merindukan hanyalah mengabadikan kenangan. Ia melukis perempuan itu di kanvas hatinya, dan memajangnya pada setiap dinding sehingga hatinya penuh oleh lukisan perempuan itu.
Selanjutnya, laki-laki itu tahu apa yang akan selalu dilakukannya. Ia akan bercengkerama dengan air mata yang mengajarinya banyak pengetahuan. Air mata yang mengajarinya jiwa-jiwa besar. Ia tahu ia terlahir bukan hanya menjadi sepotong wajah yang menawan. Ia ditakdirkan untuk melampui wajah dan menyeberang ke dimensi lain. Perjalanan itu telah membuatnya mengenal begitu banyak hal. Bahkan, hal-hal yang tidak pernah dipikirkannya.
Orang-orang yang berdansa
Di perjalanan, selalu ia temukan orang-orang yang berdansa. Orang yang selalu memandang dengan wajah nyaman, seperti semua masalah di dunia sudah menjadi masa lalu. Mereka adalah orang-orang memikul beban yang teramat ringan di pundak. Mereka dapat merasa sama pada kesedihan dan kegembiraan. Laki-laki itu menyerap air mata yang telah tersuling menjadi air murni.
Orang-orang yang menghentikan waktu
Laki-laki menemui orang- orang yang berhenti di suatu titik waktu. Tepat ketika mereka tiba di titik setimbang, mereka tidak mau lagi melangkah maju. Apa yang terjadi kemudian adalah pengulangan demi pengulangan. Air mata mengalir dari pipi-pipi yang terlipat garis waktu. Waktu tidak berhenti dalam sejenak pun.
Kerumunan yang berdengung
Yang paling membuatnya lelah adalah jika ia dipaksa berada di tengah kerumunan yang terdengung. Jumlah mereka begitu banyak, namun suara mereka amat seragam. Suara-suara yang terdengar adalah suara-suara yang membuat laki-laki itu mual. Suara tawa yang ribut. Cekikikan. Suara pertengkaran yang memekakkan. Keramaian celoteh di sosial media yang memuakkan. Mereka kerumunan yang menyerbu ke mana saja, tanpa tahu apa yang menunggu mereka di tujuan. Kerumunan yang berlari sekencang-kencangnya, namun tak tahu apa yang dikejar. Kerumunan yang mengistirahatkan isi batok kepala mereka di kulkas dan tak pernah menyentuhnya. Dibiarkan mengeras menjadi daging beku.
Orang-orang yang ditakdirkan berselisih jalan
Laki-laki itu memikirkan beberapa orang yang selalu gagal ditemuinya. Ia tidak berupaya mencari atau menanyakannya. Ia hanya berharap dapat bertemu pada persilangan yang tidak terduga. Dan itu tidak pernah terjadi. Karena itulah ia percaya, beberapa orang yang saling memikirkan telah ditakdirkan untuk tak pernah saling bertemu. Mereka dapat berada di suatu bandara yang sama beberapa saat, pulau yang sama beberapa lama, mal yang sama beberapa waktu, namun tak ada satu pun persilangan yang mempertemukan mereka; menautkan mata mereka berhadapan di satu titik. Barangkali agar mereka dapat terus saling memikirkan. Ada masa lalu yang akan sepenuhnya terkubur. Ada masa lalu yang barangkali kelak akan memberikan jawaban.
Bagian II: Perempuan di Tepi Persimpangan
Perempuan itu adalah perempuan yang bimbang di tepi persimpangan. Persimpangan empat penjuru itu seperti mengarah ke empat jalur yang serba misterius. Serba mencekam. Perempuan itu tak bisa melihat ujung dari setiap persimpangan yang ada di hadapannya.
Sekali lagi soal pilihan ganda yang ganjil. Setiap kali hidup menyodorkan pilihan ke depan hidungnya, perempuan itu berusaha memilih dengan segenap jiwa, namun pilihan-pilihan yang tersedia tidak pernah cukup baik. Seperti halnya soal-soal pilihan ganda, kau tetap harus menyilang salah satu jawaban, betapa pun anehnya jawaban-jawaban yang tersedia.
Dia percaya begitulah hidup yang sesungguhnya. Hidup adalah meloncat dari satu soal pilihan ganda ke soal pilihan ganda yang lainnya. Hidup adalah memilih jawaban-jawaban ganjil dari seorang pembuat soal yang ogah-ogahan. Hidup bukanlah dongeng Cinderella dengan pilihan seorang pangeran tampan yang tinggal di istana yang megah.
Hidup adalah kegiatan memilih benda-benda. Di rumah seperti apa yang kau bayangkan hidupmu. Berpakaian seperti apa, laki-laki yang menjadi pasanganmu. Di restoran mana kalian menghabiskan waktu untuk merayakan anniversary. Apa dessert yang disajikan di restoran itu? Ke mana kalian akan pergi berlibur?
Kadang ia mengingat laki-laki itu, namun perempuan itu tahu apa yang paling diinginkannya dalam hidup. Ia tahu betul jenis gaun yang harus tergantung di lemari bajunya. Ia tahu betul jenis sepatu yang berjejer di rak sepatunya. Dan ia telah lelah. Lelah mendengar suara kerumunan yang terus berdengung di depan telinganya. Ribuan tawon yang tak lama lagi mungkin akan memasuki labirin dan memukul- mukul gendang telinganya. Dan perempuan itu menyerah. Menyerah pada jawaban ganjil yang disilangnya. Mengucap kata-kata penghiburan memilih adalah pekerjaan paling absurd di dunia? Setiap pilihan akan menjebakmu di tikungan yang tak terduga.
Rindunya telah menjadi fosil, yang ia simpan di dalam lemari terkunci di museum-museum yang lengang. Seperti kata laki-laki itu, ia akan bisa memeluk tubuhnya sendiri, sama seperti ia pertama kali meluncur dari rahim ibunya. Ia bisa memeluk tubuhnya sendiri bersama suara tangis yang melengking, membelah kesunyian.
Dua sisi mata uang
Laki-laki itu berdiri di satu sisi, dan perempuan itu berada di sisi yang lain. Mereka hidup bersisian, namun tak pernah bersilang tatap. Laki-laki menyentuh dinding-dinding mata uang yang dingin. Perempuan itu menyusur gurat-gurat gambar dan huruf timbul yang ada di sana.
Kadang-kadang cinta diabadikan dengan cara yang amat ganjil. Dibiarkan terus tumbuh menyusun perasaan-perasaan baru seperti tumbuhnya kuncup-kuncup daun. Dibiarkan terpisah dan tak dapat saling menyentuh, seperti sebuah cetakan untuk terus mengabadikan rindu.
Air mata-air mata di perjalanan telah mengajari laki-laki itu tentang dua sisi mata uang. Bahwa kesedihan ataupun kegembiraan tidak pernah abadi. Setiap kali kesedihan datang akan tiba waktunya kegembiraan tiba. Setiap kegembiraan tiba, ia menyimpan sebuah kesedihan yang akan hadir. Dua hal yang berlawanan selalu berada berdampingan. Tak ada hal baik yang tak berdampingan dengan hal buruk. Tak ada yang datang, yang tak pernah pergi.
Catatan: Cerpen ini diilhami kumpulan puisi karya M Aan Mansyur, Tidak Ada New York Hari Ini.
Ni Komang Ariani lahir di Gianyar Bali, 19 Mei 1978. Telah menerbitkan empat buku, yaitu Lidah, Senjakala, Bukan Permaisuri, dan Jas Putih. Dua kali masuk nomine Khatulistiwa Literary Award dan tiga kali masuk Buku Cerpen Pilihan Kompas. Selain menulis, saat ini dia bekerja sebagai dosen.
Komentar
Posting Komentar