Langsung ke konten utama

Orang yang Tak Bisa Berbohong

Mardi Luhung


Siapa pun tahu, Dia tak bisa berbohong. Apa yang diomongkan selalu benar. Dan selalu tepat pada sasaran. Mangkanya, di kampung, jika ada persoalan penting dan membutuhkan orang yang tak bisa berbohong, maka orang-orang selalu menunjuk Dia. Dan menyatakan: “Dalam sejarah kampung, kita beruntung mempunyai warga seperti Dia. Sehingga, kebenaran selalu dapat terjaga. Kebenaran, yang bagi orang lain sulit untuk diomongkan, tapi bagi Dia selalu saja dapat diomongkan.” Tapi, kini, orang-orang di kampung mencuekkan Dia. Dia ada atau tak ada, tak ada yang peduli. Jadi, semacam pepatah: “Datang tanpa muka, pergi tanpa punggung,” itulah Dia. Dia yang mungkin lebih banyak hidup dan bergerak sendirian. Dia yang ketika berjumpa dengan orang-orang, lebih banyak dijauhi. Dan lebih banyak seperti angin. Terasa tapi tak terjamah.

Kenapa orang-orang memperlakukan Dia seperti itu? Itu ada kisahnya. Begini: dulu ada peristiwa yang menggemparkan, yang terjadi di kampung, tentang uang yang hilang. Uang itu milik pak Zain. Uang hasil penjualan tiga ekor sapinya. Lalu orang-orang mencarinya. Dan pencarian itu pun mengerucut pada diri Gondo. Pemuda kampung yang luntang-lantung. Yang ketika ditangkap, sedang termenung di bawah pohon trembesi. Dari kantong tas kresek Gondo, orang-orang menemukan sejumlah uang. Jumlah uang itu demikian banyak. Yang tak mungkinlah dipunyai Gondo yang luntang-lantung itu.

“Kau pencurinya?”

“Pencuri apa?”

“Pencuri uang pak Zain!”

“Tidak. Aku bukan pencuri!”

“Lalu, darimana kau dapatkan uang sebanyak ini?”

“Aku menemukan di jalan.”

“Jalan mana?”

Sayangnya, Gondo lupa di jalan mana menemukan uang itu. Sehingga hanya bisa menjawab: “Mungkin, mungkin, dan mungkin. Ya, mungkin di jalan ini, mungkin di jalan itu, juga mungkin di jalan ini dan itu.” Akibatnya, orang-orang jadi marah. Merangsek. Dan ingin menghakimi.

“Kita hajar saja dia!”

“Dia berlagak bego!”

“Ini sudah jelas. Dia pencurinya!”

“Kita tanyai pelan-pelan!”

“Tapi dia sudah mempermainkan kita!”

“Hajar dulu saja!”

Tepat ketika suasana menaik. Suasana ketika orang-orang akan bertindak, tiba-tiba Dia muncul. Dan entah kenapa, orang-orang jadi menenang. Dan suasana yang semula panas jadi mendingin. Lalu ada seseorang yang berkata: “Hei, orang yang tak pernah berbohong, katakan, apa benar Gondo yang mencuri uang pak Zein?”

“Katakan, ayo, katakan!”

Dia pun menghampiri Gondo. Berbisik. Gondo pun menjawab dengan bisik. “Gondo memang menemukan uang itu di salah-satu jalan yang mengarah ke luar kampung. Tapi Gondo lupa itu jalan yang mana. Sebab saat itu malam hari,” begitu kata Dia setelah saling berbisik dengan Gondo.

“Itu tak mungkin!” sahut seseorang.

“Dia kok jadi begini,” sahut yang lain.

“Dia sudah mulai berubah!”

“Masak, menemukan uang kok lupa tempat di mana menemukannya.”

Dia tersenyum. Lalu menambah: “Cobalah kalian pikir, kenapa Gondo lupa di jalan mana uang itu ditemukannnya. Sebab, semua jalan yang mengarah ke luar kampung, terutama malam hari sama. Gelap, rusak, dan tak ada tanda-tanda arah jalannya. Hayo siapa yang salah. Jika Gondo tak mengenali lagi di jalan mana uang itu ditemukannya?”

Orang-orang tercekat.

“Jadi, daripada ribut, ambil saja uang yang ada di tas kresek Gondo. Lalu segera kita perbaiki jalan-jalan yang rusak itu.”

Orang-orang saling berpandangan. Dan meski di hati mereka masih tak terima, tapi apa mau dikata. Omongan yang baru saja mereka dengar itu benar adanya. Dan memang, sudah seringkali, mereka sendiri mengeluh atas kondisi jalan-jalan yang menghubungkan kampung mereka dengan kampung-kampung yang lain. Bahkan, pernah terjadi, ada orang dari luar kampung yang ingin memasuki kampung mereka di malam hari, tapi tak sampai-sampai. Jadinya, bagi orang dari luar kampung, hanya berani mendatangi kampung mereka di siang hari. Sedangkan, bagi mereka sendiri (orang kampung itu) pun enggan untuk bepergian ke luar kampung di malam hari. Di samping mereka sulit mendapat arah ke luar, juga merasa selalu saja kembali ke tempat semula. Dan atas hal ini, maka kampung mereka disebut sebagai Kampung Siang Hari.

“Benar juga.”

“Dia memang tak berbohong.”

“Jadi, ini semestinya urusan transportasi kampung.”

“Tapi, urusan transportasi kampung tak punya dana untuk itu.”

“Siapa yang mesti memberi dana?”

“Bendahara.”

“Aduh, seumur-umur yang ada, bendahara juga tak punya dana untuk itu.”

“Loh pak kepala kampung bagaimana?”

“Pak kepala kampung juga tak punya dana.”

“Jadi?”

Percakapan itu pun berhenti sampai di situ. Memang, selama ini mereka abai terhadap kondisi jalan-jalan yang menghubungkan kampung mereka dengan kampung-kampung yang lain. Padahal, kampung mereka jauh berada di pelosok. Tak ada angkutan umum yang beroperasi. Sedangkan, untuk jalan kaki, dibutuhkan waktu kurang lebih tiga-hari dua-malam. Untuk naik motor minta ampun susahnya. Dan seminggu ke depan, semua penduduk kampung pun bergotong-royong memperbaiki jalan-jalan yang mengarah ke luar kampung itu. Tanda-tanda arah jalan diperjelas. Penerangan ditambahi. Dan atas usaha pak kepala kampung, mesin diesel pun didatangkan lagi. Dan menurut pak kepala kampung juga, sekian tahun ke depan, akan diusahakan, bagaimana jaringan listrik dapat merambah kampung mereka.

“Nah, kini kita mesti membikin rapat pembentukan panitia,” kata pak kepala kampung ketika urusan gotong-royong memperbaiki jalan-jalan selesai.

“Rapat pembentukan panitia?”

“Ya, rapat pembentukan panitia penerimaan jaringan listrik,” tandas pak kepala kampung.

“Dan untuk lebih baiknya, kita undang juga orang yang tak bisa berbohong itu,” sahut seseorang.

Maka, empat hari kemudian rapat panitia itu digelar di balai kampung. Rapat itu begitu meriah. Usulan-usulan pun dilontarkan. Lalu, setelah rapat hampir selesai, barulah Dia, orang yang tak bisa berbohong itu, dipersilakan memberikan masukannya.

“Saudara-saudara, selanjutnya, mari kita sambut orang yang tak bisa berbohong,”

“Akurrr!”

Dan Dia pun maju. Tatapannya biasa-biasa. Lagak-lagunya juga biasa-biasa. Tepat di podium, Dia ngomong begini: “Selamat atas terbentuknya panitia. Saya cuma berharap, kampung kita tetap aman-aman. Sebab, semakin kampung terang, nanti akan semakin banyak uang yang hilang.” Byar! Orang-orang yang mendengar pun ribut. Kasak-kusuk. Bahkan ada yang mulai gremang-gremeng. Tak percaya, jika Dia, yang dianggap tak bisa berbohong itu, akan ngomong seperti itu. Dengan kata lain, jika nanti kampung sudah terang, maka akan banyak uang yang hilang. Dan itu tentunya, akan banyak pencuri yang berseliweran. Mungkin-mungkin, salah-satunya adalah diri mereka sendiri yang dituduh pencuri. Gila!

“Ya, itu omongan gila.”

“Tak masuk akal!”

“Dia sudah meracau!”

“Kemarin Dia membela Gondo, karena jalan-jalan yang mengarah ke luar kampung gelap!”

“Kini, ketika mau diterangkan, malah memutar-balikkan fakta!”

“Sudah, jangan lagi dipercaya!”

“Turunkan Dia!”

“Turunkan cepat!”

Dan Dia pun diturunkan dengan paksa dari podium. Meski pak kepala kampung mencoba menengahi, tapi orang-orang sudah tak mau percaya. Seperti angin gunung yang gesit, Dia pun dihentakkan. Dia terjerembab. Tersungkur. Dan sejak itu, sejak panitia penerimaan jaringan listrik bekerja, Dia dilupakan. Rasanya, setiap orang yang ada di kampung, sudah tak mau lagi menerima keberadaannya. Dia ada atau tak ada, dianggap tak ada. Sampai listrik benar-benar merambah ke kampung. Sampai nama kampung mereka, Kampung Siang Hari diganti menjadi Kampung Terang Benderang.

Kampung yang mudah untuk didatangi kapan pun dan oleh siapa pun. Dan kampung, yang entah kenapa, mulai terlanda kabar, bahwa ada dari penduduknya (yang kebetulan duduk di jajaran panitia penerimaan listrik), telah menyalahgunakan sebagian dana yang ada. Akh, orang-orang pun kaget. Terus teringat pada omongan Dia, orang yang tak bisa berbohong itu, saat di podium dulu. Tapi sayangnya, rasa malu orang-orang telah begitu tebal. Sehingga, tetap saja mencuekkan Dia. Sampai kini.


Mardi Luhung: Lahir di Gresik, Jawa Timur, 5 Maret 1965. Puisinya tersebar di sejumlah media. Buku puisi tunggalnya: Terbelah Sudah Jantungku (1996), Wanita yang Kencing di Semak (2002), Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007), Buwun (2010), Belajar Bersepeda (2012), Musim, Jarum dan Baskom (2015), dan Teras Mardi (2015). Tahun 2010 mendapatkan anugerah Khatulistiwa Literary Award. Kumpulan cerpen pertamanya, Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (2011). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...