Langsung ke konten utama

Konflik Masyarakat Multikultural di Mata Sastrawan

YUSRI FAJAR


Masyarakat multikultural dengan pluralitas identitas dan etnisitas sering direpresentasikan dalam karya sastra. Narasi ketegangan dan kedamaian diartikulasikan oleh para sastrawan sebagai hasil pengamatan terhadap konstelasi dan dinamika manusia yang dipenuhi perpecahan di satu sisi, dan kebersamaan serta kerukunan di sisi lainnya. Konflik berlatar perbedaan etnik, agama, dan aliran kepercayaan, stratifikasi sosial dan kepentingan ekonomi yang menginspirasi dan menjadi pilihan tematik beberapa sastrawan menunjukkan kritik para sastrawan terhadap ketidakmampuan menerima perbedaan.

Sementara kerukunan di tengah perbedaan dikisahkan sastrawan untuk merepresentasikan harmoni sebagai dampak toleransi dan negosiasi antarbudaya yang bisa dengan baik dilakukan. Pada konteks ini, karya-karya sastra menjadi medium menyuarakan dan mengingatkan kebinekaan, menyemaikan arti toleransi, dan menjadi jembatan yang menghubungkan pemikiran serta sikap kritis sastrawan dengan publik.

Berbagai alasan dalam mengangkat lanskap kontestasi perbedaan dan relasi mutual antarindividu dan kelompok masyarakat dalam karya sastra bisa didorong berbagai alasan, seperti ketertarikan atas peristiwa itu, upaya membangun kepedulian, motivasi memberikan pencerahan, kepentingan dokumentasi tekstual, dan dorongan mendiseminasikan situasi sosio-kultural Indonesia kepada pembaca lokal, nasional, dan internasional. Di tengah perbedaan-perbedaan dalam masyarakat, posisi sastrawan dipertanyakan. Sebagai bagian dari anggota masyarakat tertentu, sastrawan sering kali menyandang identitas dari habitat di mana ia tumbuh dan berkembang.

Konflik kultural, kepercayaan, dan etnik

Dalam kumpulan cerpen Anak-Anak Masa Lalu (2015), cerpenis Damhuri Muhammad menggambarkan perbedaan cara pandang anggota masyarakat yang di satu pihak ingin mempertahankan nilai-nilai tradisional, sementara di pihak lain ada kelompok yang bersikeras mendorong pembangunan berdasarkan nilai-nilai modern yang berakar pada budaya industri yang identik dengan komodifikasi materi dan komersialisasi, serta logika. Konflik budaya yang dipicu oleh perbedaan pendapat antara anggota masyarakat yang teguh dan terkesan kolot dengan tradisi dan mereka yang berpendidikan tinggi mencerminkan pergulatan tradisi dan modernisasi.

Dalam relasi antaretnik yang lebih luas di tengah konstruksi multikuturalisme, yang bagi Parekh (2000) mencerminkan keragaman budaya di mana perbedaan menjadi entitas tak ternegasikan di dalamnya, sikap menghargai dan menerima perbedaan bisa hilang karena rasa superioritas dan primordialisme berlebihan. Representasi oposisi kultural dalam bangsa dengan etnik beragam (polyethnic nation) yang memunculkan konflik sosial, misalnya terlihat dalam novel karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (Balai Pustaka, edisi 2014) yang telah difilmkan dan mendapat sambutan hangat dari publik. Kontestasi budaya dalam novel ini muncul karena perbedaan dua kelompok etnik, yaitu Minangkabau (Sumatera Barat) dan Bugis (Makassar). Zainuddin, sang tokoh utama, terlahir dari seorang ibu asli Bugis-Makassar dan ayah asli Minangkabau-Padang. Posisi Zainuddin yang hibrid menyebabkan dia memiliki dua identitas (double-identity). Ironisnya, Zainuddin dianggap tidak secara utuh bisa menyandang identitas Minang dan juga Bugis.

Baik Damhuri maupun Buya Hamka melalui karya mereka di atas sebenarnya tengah mengkritik primordialisme dan beberapa doktrin tradisional yang gagal mengakomodasi kesetaraan, pluralitas, dan cara pandang universal sehingga konflik terjadi. Meski demikian, keduanya juga secara obyektif tak serta-merta mendukung cara masyarakat modern mengonstruksi identitas mereka. Hamka menghadirkan potret ironi beberapa warga Minang yang melakukan mimikri tradisi penjajah Belanda, sementara Damhuri mengkritik tajam komersialisasi yang menegasikan nilai-nilai sakral yang masih relevan.

Novelis Okky Madasari dalam Maryam (2012) menyuarakan perbedaan berlatar perbedaan aliran dalam agama. Novel yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris ini tentu berpotensi membuka ruang keterbacaan luas di kalangan pencinta sastra. Okky mengangkat fenomena konflik penganut Ahmadiyah dengan kelompok yang sering kali menyebut diri mereka ahlussunnah wal jamaah. Isu toleransi dan keberagaman mendapat sorotan tajam dalam novel ini. Okky menggambarkan tindakan diskriminatif dan represif yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap penganut Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat. Pengusiran dan pemberian stereotip “sesat”, “menyimpang” pada penganut Ahmadiyah, serta tindakan perusakan dan pembakaran dilakukan.

Secara implisit narasi besar yang dibangun dan disuarakan dalam karya sastra ini adalah pentingnya toleransi yang menjunjung tinggi keberagaman. Masyarakat Nusa Tenggara Barat dan Indonesia perlu membaca fenomena yang terjadi dalam lingkungannya melalui novel Maryam, bukan untuk membuka luka lama dan memahatkan aib karena telah melukai keberagaman, tetapi untuk belajar agar kejadian sebagaimana tergambar dalam novel ini tak kembali terulang. Dalam pernyataannya sebagaimana dikutip oleh BBC Indonesia, Okky menegaskan, “Sejak awal saya percaya bahwa karya sastra itu seharusnya bisa menyuarakan persoalan-persoalan dalam masyarakat” (BBC Indonesia, 6 April 2015). Pergolakan, ketegangan, dan situasi tidak kondusif karena konflik berlatar kepercayaan dengan demikian menjadi perhatian Okky, meskipun ia juga percaya bahwa karya sastra yang memiliki semangat anti-diskriminasi tak serta-merta menghentikan tindakan diskriminatif tersebut.

Sementara perbedaan etnik yang memunculkan peristiwa tragis mendapat perhatian cerpenis asal Madura. Mahwi Air Tawar, dalam buku kumpulan cerpennya, Karapan Laut. Dalam salah satu cerpen yang ada di dalamnya, “Janji Laut”, Mahwi menarasikan keterusiran dan aleniasi anak manusia akibat konflik horizontal yang pernah melibatkan etnis Madura dan Dayak di Kalimantan. Konflik ini menyisakan luka dan trauma mendalam. Konflik yang tentu mestinya tak diharapkan meledak, karena kedua kelompok etnik ini telah lama hidup berdampingan. Dua tokoh berbeda asal muasal, yaitu Tarebung dari Madura dan Ne’ Tatri, telah membangun cinta melalui pernikahan mereka. Sepanjang dalam perjalanan mengungsi, sebagaimana diceritakan Mahwi, “Ne’ Tatri tak henti-hentinya mengutuk peristiwa babunuhan antara orang-orang tanah kelahirannya dan orang-orang tempat suaminya berasal” (Mahwi, 2014). Tatri sungguh tak menginginkan perbedaan budaya memicu tragedi. Melalui cerpen ini, khususnya melalui dua tokoh, yaitu Tarebung dan Ne’ Tatri, Mahwi menyuarakan harmoni dalam masyarakat plural dan menolak konflik horizontal.

Representasi berbagai peristiwa dalam masyarakat multikultural yang kadang menyedihkan dan juga membahagiakan menunjukkan kepekaan dan kepedulian para sastrawan dalam menyuarakan keberagaman. Kepedulian sekaligus kegelisahan atas berbagai peristiwa tersebut mendorong sastrawan melakukan pengamatan sehingga karya-karya yang ia tulis memiliki dimensi sosial budaya. Karya sastra yang menunjukkan kepedulian atas fenomena perbedaan kultural menempatkan karya sastra tersebut berada di tengah dinamika yang terjadi, menjadi sumber bacaan dan inspirasi terbentuknya masyarakat multikultural yang harmonis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...