Langsung ke konten utama

Perempuan yang Memegang Tali Anjing

Yetti A.KA


Perempuan itu selalu datang bersama seekor anjing pudel ke toko buku yang hanya buka pada hari Minggu. Ia menambatkan tali anjing di sebuah tiang besi di halaman toko, berbicara sebentar kepada pudel berbulu krem kesayangannya-lebih banyak tentang larangan-larangan yang harus dipatuhi si pudel-sebelum ia masuk dan mencari buku yang akan dibacanya selama dua jam. Toko buku itu memang menyediakan buku-buku yang boleh dibaca oleh pengunjung. Pemiliknya sudah tentu orang yang murah hati atau-jika itu tidak berkaitan dengan kemurahan hati-mungkin saja ia sengaja membuka toko itu agar ada orang-orang yang mengunjunginya di akhir pekan dan membuatnya tidak kesepian. Pemilik toko buku, lelaki berusia 60-an tahun dan telah lama hidup sendirian. Perempuan yang selalu datang bersama anjing pudel-ia pelanggan tetap toko itu-tidak pernah berbicara dengan lelaki pemilik toko, sebab ia ke sana memang hanya untuk membaca buku dan itu membuatnya belum sekali pun pergi ke meja kasir tempat si pemilik toko menghabiskan waktunya sambil mencermati berita di beberapa surat kabar.

Pengunjung toko buku itu tidak terlalu banyak. Itu cukup menguntungkan untuk perempuan yang selalu datang bersama anjing pudelnya. Ia memang sudah lama meninggalkan kehidupan yang ramai dan tak pernah ke mana-mana selain membawa anjingnya keluar untuk jalan-jalan, sampai ia menemukan toko buku itu. Ia sangat senang bila mengunjungi toko buku di Minggu pagi dan belum ada satu pengunjung pun yang datang selain dirinya. Setelah memilih buku-buku yang akan dibacanya, ia mencari tempat duduk di pojokan dan dari sana ia bisa mengawasi anjingnya lewat kaca bening tembus pandang. Bila dilihatnya anjing itu sedikit gelisah, ia berkata dengan gerakan bibirnya, “Tenang ya, tidak akan ada yang mengganggumu di sana.”

Umur perempuan itu sekitar 40 tahun, memiliki pipi lebar dan bintik-bintik coklat menumpuk di sekitar hidung akibat pengaruh buruk matahari selama bertahun-tahun dan ketidaksukaannya mengenakan krim pelindung kulit. Masel, demikian ia menyebut dirinya ketika ia sesekali bergumam saat menemukan hal-hal menarik dari buku yang dibacanya. Hi-hi-hi, ini lucu sekali, Masel! Oh, tidak, Masel, kau tidak boleh berpikir ingin memelihara kelinci yang memiliki telinga kelewat panjang (ia pun mengetuk-ngetuk batok kepala dengan salah satu jarinya). Perempuan itu hanya membaca buku anak-anak-kebanyakan majalah atau buku cerita bergambar. Buku-buku yang membuat wajahnya seketika mengeluarkan warna kanak-kanak yang kental; kepolosan seorang bocah dan ketidakpedulian akan apa pun selain kepada dunianya sendiri.

Masel, kau tidak ingin turun sarapan?

Kau harus keluar dari kamarmu, Masel.

Masel, bunga krokot pagi ini begitu merah.

Kau tidak boleh melewatkan warna langit yang biru ini, Masel.

Masel, aku pasti akan membuat dadaku terbelah dan aku berdarah, jika kau terus keras kepala.

Masel, sini, jangan takut kepadaku.

Masel, tolong cintai aku!

Ma-sel, perempuan itu menggumamkan namanya. Ia melepaskan buku di tangannya dan terdiam sebentar. Di luar, anjingnya bermain-main dengan sebuah kotak. Anjing itu tidak pernah terlalu menyusahkannya. “Anjing baik,” desahnya dan tersenyum. Pemilik toko buku diam-diam memperhatikan dari tempat ia duduk, tapi perempuan itu sama sekali tidak tahu. Sama seperti perempuan itu tak tahu kalau pudel yang selalu dibawanya itu sebenarnya sudah lama tiada. Perempuan itu betul-betul lupa jika suatu hari ia menemukan pudel itu sudah menjelma boneka dengan kepala terkulai di gudang rumah dan lelaki itu berbisik di belakang telinganya, “Masel, ini kejutan untukmu.”

Minggu pagi ini, perempuan itu kembali datang ke toko buku yang baru saja dibuka dan kacanya masih lembap sehabis dibersihkan oleh petugas. Ia memegang tali anjing seperti biasa dan segera berjongkok untuk menambatkannya ke sebuah tiang besi di halaman toko. Dari dalam, pemilik toko mengamati apa yang dilakukan perempuan itu. Pemilik toko mengenal wajah orang yang biasa datang ke tempatnya-terlebih yang menjadi pelanggan tetap. Ia sudah menganggap mereka teman dekat meski mereka tak pernah berbicara panjang atau sama sekali tak bertegur sapa sebagaimana ia dan perempuan itu. Untuk itu, pemilik toko merasa risau saat melihat tamunya itu berjongkok dan mengikatkan tali anjing ke sebuah tiang besi, sementara ia tak melihat seekor anjing bersama perempuan itu. Begitu berdiri kembali, perempuan berambut pendek itu menepuk-nepukkan kedua tangannya pelan seolah sedang membuang debu yang menempel, lalu meninggalkan tali anjingnya dan cepat-cepat masuk ke dalam toko buku.

Di dalam toko, perempuan itu langsung menuju rak yang biasa ia kunjungi. Deretan komik, ensiklopedia berbagai bidang ilmu pengetahuan, cerita bergambar, fabel, novel anak terjemahan, berbagai jenis majalah anak, tertata dengan baik (setiap toko akan ditutup, pemiliknya menugaskan seorang pekerja untuk merapikan semuanya). Ia memilih satu cerita anak terjemahan The BFG: Raksasa Besar yang Baik Hati karangan Roald Dahl, buku dongeng Nusantara bergambar, sejumlah majalah National Geographic Kids, dan menuju pojok tempat biasa ia membaca. Pudel kesayangannya bermain di halaman. Pudel itu sedikit ribut dan banyak menggeram. Ia berkata dengan gerakan bibirnya, “Ingat ya, jangan nakal, aku mengawasimu.” Anjing itu berhenti menggeram, tapi tetap berputar-putar mengelilingi tiang dan membuat perempuan itu merasa perlu menambah latihan soal kedisiplinan agar anjingnya dapat tetap tenang ketika dibawa ke tempat umum.

Masel, kau tidak boleh keluar rumah lagi, ingat itu.

Kau tidak disiplin, Masel!

Aku akan mati kalau kau sampai terlambat pulang, Masel.

Masel, kau satu-satunya yang kumiliki di dunia ini.

Kau mencintaiku, Masel?

Masel, bulannya indah sekali, lihat sini.

Masel, aku tidak suka kau diam saja.

Masel, kau tidak makan lagi seperti kemarin?

Kau ingin melihat dadaku benar-benar terbelah, Masel dan aku berdarah?

Lihatlah nanti, Masel!

Ma-sel, perempuan itu menggumamkan namanya sambil memandangi pudel yang sekarang tak lagi berputar-putar. Ia berpikir ulang untuk memberi latihan yang lebih keras untuk pudel. Mestinya tidak apa-apa jika pudel sedikit nakal dan bebas. Ia senang bebas. Pudel pun harusnya begitu. Lepaskan aku. Apa, Masel? Aku tidak bisa bersamamu lagi. Jangan mengada-ada, Masel! Kau gila! Aku mencintaimu, Masel. Sudah cukup. Tidak, Masel, kau tetap akan di sini sampai aku mati. Tapi kau sudah lama mati. Tidak, Masel, aku tetap hidup dalam dirimu.

Perempuan itu buru-buru membuka majalah yang mengulas soal binatang dan kekhasannya. Ia ingin segera membuat wajahnya kembali berwarna kanak-kanak dan ia tak perlu mengingat apa-apa. Ia tahu hanya kembali ke dunia kanak-kanak ia bisa selamat dari keruntuhan moral yang menggerogotinya, membuatnya melupakan apa saja yang telah terjadi, menjauhkannya dari ingatan tentang hari-hari ketika ia menyaksikan lelaki itu mengiris-iris kulit lengan, membenturkan kepala ke dinding, memukul tembok dan punggung tangan bonyok, hingga membelah dadanya sendiri di puncak ketidakwarasannya.

Ini caraku mencintaimu, Masel.

Ini caraku agar kau selalu mengingatku.

Ma-sel, perempuan itu bergumam resah. Ia ingin sekali bebas dari namanya sendiri. Nama yang bergetar begitu saja dari bibirnya. Nama yang membuatnya tak pernah benar-benar bebas dari lelaki itu setelah sepuluh tahun kematiannya. Ah, Ma-sel! Perempuan itu menggetap gerahamnya. Pagi itu, ia baru saja terbangun dan di depannya lelaki itu berdiri dengan dada yang terbelah dan berdarah dan menggumamkan namanya terus-menerus: Masel, Ma-sel, Ma-sel.. Ma-sel.

Ma-sel, perempuan itu kembali bergumam dan berusaha menancapkan matanya ke majalah yang ia bentangkan lebar-lebar dan berucap, ini gambar panda, Masel. Hi-hi-hi, lucu sekali ya, panda ini bisa berdiri dengan tangannya di bawah dan kaki di atas. Ia tak henti-henti bicara kepada dirinya sendiri. Ia tak henti-henti tertawa.

Toko buku belum dibuka saat perempuan yang memegang tali anjing berdiri di depannya. Perempuan itu tetap berdiri selama setengah jam. Ia meremas-remas tali di genggamannya atau menekan jari-jari kakinya ke tanah. Satu jam berlalu, tak satu orang petugas pun yang keluar untuk mulai membereskan segala sesuatu. Dua jam berlalu, perempuan itu tahu kalau toko buku tak akan dibuka pada hari Minggu ini, tapi ia tetap saja berdiri di sana dan menunggu, sebab ia tak memiliki tempat lain yang ia tuju selain toko buku itu.

Dari jendela lantai dua rumahnya, lelaki pemilik toko memperhatikan perempuan yang berdiri menghadap toko bukunya dan, seperti biasa, pelanggan yang dikenalnya itu memegang sebuah tali seakan-akan ia datang bersama seekor anjing. Pemilik toko ingin sekali memberi tahu kalau toko bukunya tidak akan pernah dibuka lagi pada hari Minggu karena ia telah merencanakan perjalanan panjang ke sejumlah negara selama satu tahun penuh dan meminta perempuan itu pulang saja. Namun, sebelum pemilik toko itu beranjak untuk menemui perempuan itu, di tepi jalan, ia melihat seorang anak kecil menarik-narik lengan ibunya sambil sebelah tangannya menunjuk ke arah perempuan yang sedang berdiri memegang tali anjing.

“Mama, lihat, ada anjing pudel.”

“Wah, ya, anjing itu pasti terlepas dari pemiliknya.”

Mereka mendekati anjing yang di lehernya dipasangi tali dan mengelus-elus bulunya.

“Kita bawa pulang, Ma?”

“Tidak, Masel, kita tunggu pemiliknya datang.”


Yetti A.KA, lahir dan besar di Bengkulu. Tulisannya, berupa cerita pendek, puisi, dan artikel pernah dimuat di beberapa media massa nasional. Buku kumpulan cerita pendek tunggal yang telah terbit; NUMI (2004), Musim yang Menggugurkan Daun (2010), Satu Hari Bukan di Hari Minggu (2011), Kinoli (2012), Satu Hari yang Ingin Kuingat (2014), Penjual Bunga Bersyal Merah (2016), Seharusnya Kami Sudah Tidur Malam Itu (2016). Novel Cinta Tak Bersyarat (2015) dan Peri Kopi (2017). Penerima Anugerah Kebudayaan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2004 atas cerpen Musim yang Menggugurkan Daun. Kumpulan Cerpen Kinoli (2012) masuk 10 besar Khatulistiwa Literary Award, 2013, kategori prosa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...