Udara pagi yang segar seketika terasa sesak saat dia mulai marah-marah. Makian-makiannya merusak suasana. Seprai, kasur, dan bantal berhamburan. Semua berantakan. Susah juga para suster menenangkannya. Setiap hari Sabtu, dia selalu begitu.
Satu-satunya cara adalah membiarkannya, mengisolasinya dengan mengurungnya di bangsal akut. Nanti, setengah hari kemudian, saat mulai reda, aku akan mendekat, memberinya air putih, segelas. Sekali teguk minuman itu tandas. Kuberi rokok sebatang, dan menyulut ujungnya dengan api. Saat dia mulai mengisap dan menikmati rokok itu pertanda ia sudah tenang. Aku akan duduk di sampingnya, berjam-jam. Kami berdua berdampingan, tanpa bicara, hanya sesekali aku ikut bersedih, ikut menangis diam-diam, sedang dia sesekali hanya mendesis lirih, dengan tatapan hampa.
Hari Sabtu, aku tak tahu, ada apa dengan hari itu. Bukankah semua hari sama? Siapa yang bisa menjelaskan kepadaku, apakah hari itu terasa berbeda dengan hari lainnya. Apakah di hari itu terasa lebih kelabu, dengan matahari yang malas bersinar? Udara seperti malas bergerak sehingga tak ada angin berembus, seakan udara diisi kemarahan sehingga tak ada vitalitas di dalamnya, dan dia jadi mudah marah.
Ya, hari Sabtu, aku rasa, baginya, sekali lagi aku rasa, baginya pasti terasa berbeda. Hari Sabtu seperti hari paling buruk buatnya. Hari yang selalu mengusik pikirannya.
Tapi, untuk kau tahu, Sabtu, sesungguhnya, juga hari paling sedih buatku. Namun aku telah bangun dan sembuh, telah meninggalkan kemuraman itu, sedang dia masih hidup di dunia itu, masih tenggelam dalam kemarahan itu.
Di hari Sabtu, sejak pukul 6 pagi setelah membersihkan bangsal sedari subuh, aku menyiapkan segalanya, seluruh diriku, perasaan dan pikiranku, untuknya, untuk menemaninya, untuk memberitahunya bahwa ada orang yang menyayanginya, ada orang yang menemaninya, agar dia tak merasa sendirian, agar dia tak merasa kesepian. Walaupun, aku tak begitu yakin, dia tahu.
“Kenapa?” tanya Suster Fransiska kepadaku dua puluh bulan lalu, yang entah kenapa, pertanyaan itu selalu berputar kembali setiap kali dia kambuh, dan aku tergerak membantunya.
“Aku mencintainya sejak sekolah menengah atas.”
“Bukankah keluarganya memiliki riwayat gangguan jiwa?”
“Aku tak peduli, hanya aku tak sanggup melawan suara dari perasaanku sendiri, bahkan, sejak kami pertama bertemu di ruang kelas.”
“Kau akan sakit atau kecewa.”
“Cinta sepahit apa pun aku siap menanggung, kecewa sesakit apa pun jika bersamanya akan terasa tak berat.”
Di antara tujuh suster yang menjaga Bangsal Srikandi ini, Suster Fransiska yang paling dekat denganku. Dan aku juga merasa dekat dengannya, seperti ada zat kimia yang membuat tubuh kami merasakan hal sama, dan menakdirkan bersama.
Selalu setiap maghrib, setelah suara azan terdengar dan lonceng gereja berdentang tanda jam kebaktian malam dimulai, dia mulai tenang. Setiap senja berubah malam, perasaannya seperti memasuki keheningan malam, seakan aura alam semesta ikut mewarnai seluruh perasaan dan pikirannya. Warna alam, dan mungkin hanya orang-orang seperti dirinya yang bisa melihat dan merasakan, mampu menenangkannya. Ia berjalan pelan ke dipan, lalu rebah, tersenyum kecil pada sebuah tanda salib di atas dinding, menangkupkan tangan, dan berdoa.
Dia meringkuk dan berdoa dalam bentuk tubuh yang sama berjam-jam, seperti angka 5, tanpa bergerak sedikit pun, lalu sebelum jatuh tertidur, air mata merembes keluar dari kedua sudut matanya. Sesungguhnya setelah dia didiagnosis skizofrenia paranoid akut, yang dianggap paling parah dan terbelah, aku makin tak gentar membersamainya karena tersentuh oleh adegan itu, di mana dia berdoa dengan sikap rapuh, dan dengan air mata yang meluruh. Buatku, aku berutang iman pada air mata itu, karena aku telah bertahun-tahun tak merasakan getaran perasaan akan kehadiran Tuhan dalam hidupku.
“Apakah kau juga tahu bahwa dia telah membunuh seorang lelaki?”
“Iya, aku membaca pengakuannya.”
“Tak lewat dari bapa pendeta?”
“Tidak, dia menulis sajak.”
“Sajak?”
“Mungkin semacam itu.”
“Bolehkah aku baca?”
Aku ambil catatan harian itu dan memeriksanya untuk menemukan sajak itu, lalu kusodorkan kepada Suster Fransiska yang langsung membacanya:
Apakah ini kehidupan nyata? ataukah cuma khayalan? Aku terperangkap dalam kabut gelap. Tak bisa lari dari kenyataan. Aku hanya anak miskin… anak miskin. Aku sendirian, kesepian. Tapi aku tak butuh simpati. Karena aku bisa terbang, ringan. Ke mana pun angin berembus.
Mama… aku baru membunuh seorang lelaki, kutancapkan pisau dapur ke perutnya. Kubenamkan, dan kini dia mati. Mama, hidup baru dimulai. Namun kini aku telah pergi dan menyia-nyiakannya.
Mama, ooh bukan bermaksud membuatmu menangis. Jika aku tak kembali esok hari. Tegarlah, tegarlah seolah segalanya tak berarti. Mama ooh aku ingin mati. Kadang aku berharap tak pernah dilahirkan….
Suster Fransiska merinding membaca secarik surat itu. Tubuhnya sedikit gemetar, ia segera meminum segelas air yang ada di dekatnya. Dalam hidupnya sendiri ia juga mengalami hari-hari yang kelam di mana tak ada yang ia pikirkan kecuali kematian, serta pasang surut hubungannya dengan mama. Telah lama ia tak berbicara dengan mamanya, dan sajak itu telah menggugah kembali kesadarannya untuk berniat menghubungi mamanya.
“Kenapa dia membunuh lelaki itu?”
Aku tak bisa menjawabnya. Aku menyimpan rapat-rapat persoalan itu.
“Mamanya?”
“Kabarnya dia bunuh diri.”
“Ya Tuhan…, dia tak tahu anaknya telah diampuni, dan tak jadi dihukum mati?”
Aku mengangguk.
Lima tahun sebelum aku bekerja di Panti Rehabilitasi ini, aku bekerja di sebuah toko swalayan, menjadi juru kasir, dan dia bekerja di sebuah kafe di seberang tempat kerjaku. Dia seorang pelayan.
Kafenya bersifat terbuka, dan kaca tokoku transparan. Walau agak berjauhan, setiap saat kami saling bertukar senyuman. Semua berjalan indah, hingga beberapa minggu kemudian terjadi peristiwa buruk yang dimulai dari luluhnya hatiku untuk diajak menumpang mobil.
Aku tak enak hati untuk lagi-lagi menolak bosku yang berniat mengantarku pulang. Setiap orang pasti memiliki firasat. Rasanya seperti ada yang salah saat aku telanjur masuk ke dalam mobil, dan yang pertama kali kukhawatirkan adalah dia. Aku sempat melihatnya memandangku tajam!
Tapi ternyata, bukan itu yang membuatku gusar. Kekhawatiranku salah. Arah mobil ternyata tak membawaku pulang. Aku dipaksa menuju suatu bangunan yang tak kukenali. Dan di sana, di hari Sabtu yang kelabu, yang kuharap itu hanya mimpi, aku melalui itu semua, dalam kepedihan, dan perasaan yang hancur. Aku diperkosa berkali-kali.
Aku meratap pada sajak-sajak dan dinding-dinding malam. Pada keheningan dan keinginan untuk pergi jauh. Rasanya aku ingin hilang, hilang ditelan bumi ini.
Sabtu yang suram. Waktuku untuk terlelap, dalam bayangan aku hidup dalam hitungan detik. Bunga kecil tak akan pernah membangunkanmu, kesedihan telah terjadi, malaikat tak pernah memikirkanku untuk utuh seperti sedia kala.
Sabtu yang suram, dalam bayangan, kulalui semua kepahitan ini. Hatiku ingin mengakhiri semua, memutuskan mengakhiri semua. Segera akan ada lilin dan doa yang sedih. Aku tahu, biarpun mereka menangis untukku, aku tahu aku senang untuk pergi. Kematian bukan mimpi, dan dia sedang membelaiku, sedang membelaiku.
Dengan napas terakhir jiwaku, Tuhan akan memberkati. Hari Sabtu yang suram, membayangkanmu, bersamaku, menemukanmu tertidur di sampingku.
Aku ingin pergi jauh ke tempat yang siapa pun tak mengenali dan kukenali. Aku melangkah ke mana saja, berjalan tanpa tujuan, tak terbilang waktu, hingga di sebuah sudut taman di dekat gereja, saat mendengar lonceng itu, entah kenapa aku ingin istirahat. Segalanya tampak tenang bagiku, seolah tak ada yang kusesali dalam hidup, tak ada lagi keriuhan dan kesedihan, rasanya kepergian menjadi pilihan yang membebaskan, dengan hati tenang, aku menelan puluhan pil itu.
Tiba-tiba seseorang menggenggam erat tanganku.
“Aku tahu apa yang kau rasakan, tegarlah, aku juga pernah mengalami itu,” katanya cepat.
Rasa dingin yang sejak tadi menjalar, anehnya, berubah hangat. Aku menatap sepasang matanya, mata yang jujur, mata yang juga sedih, yang tak mungkin berbohong. Aku memeriksa pakaiannya, seragam seorang suster, dengan pin nama: Fransiska.
Suaranya terdengar lembut, seperti lantunan lagu paling sendu yang diantarkan angin dari sebuah telaga. Ia memelukku erat, dan memaksaku memuntahkan puluhan pil yang kutelan.
“Apakah suster juga pernah diperkosa?” tanyaku lirih, setelah mulai mendingan.
“Banyak perempuan yang diperkosa lelaki, makin banyak, dan mereka hanya bisa menelan kenyataan pahit itu, dan melupakannya, ya melupakannya, itu hanya mimpi, hanya mimpi sayang, dan kau tak sendiri, sekali lagi kau tak sendiri.”
Sabtu yang kelam. Malam turun disertai gerimis. Dalam rinai hujan kami berpelukan erat. Semua manusia masuk ke peraduan masing-masing, menuju tempat-tempat terhangat, sedang kami dalam hujaman hujan yang makin deras, dalam dingin yang menggigil, melangkah memasuki gereja.
“Aku bukan nasrani….”
“Kita mencari tempat berteduh.”
Aku mengangguk. Tak lama, teh panas tersaji buat kami.
Han Gagas, menulis buku kumpulan cerpen Catatan Orang Gila (Gramedia Pustaka Utama, 2014). Novel terbarunya, Sepasang Kekasih Gila, terbit pada Januari 2017.
Komentar
Posting Komentar