Muna Masyari
Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan.
Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kembang melati di belakang telinga masih sedikit terlihat.
Pada hari pernikahan sekaligus kematian ini, barangkali kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikan dirimu sebagai pengganti perabot sortana yang pernah diperlakukan istimewa itu.
“Kegunaan sortana sebenarnya untuk apa sih, Bu’?” suatu senja, kau sengaja menghampiri embu’ yang sedang mengelap cangkir dengan sobekan kain beludru; bekas baju hantaran dari ayahmu waktu mereka menikah dulu. Mata embu’ membeling dan gerakan tangannya sangat lambat. Ia sempat gugup meski kau datang dengan langkah nyaris tak terdengar.
Terpercik pertanyaan besar di matamu, karena setiap ada orang meninggal, keluarganya biasa menghaturkan berbagai macam perabot pada seorang kiai atau guru ‘ngaji sebagai sortana. Apalagi, perabot pesanan yang sering embu’ lap itu katanya untuk dijadikan sortana juga.
“Selain bernilai sedekah jariyah, juga agar yang meninggal mudah diingat,” jawab embu’ setelah berhasil menyisihkan kegugupannya.
“Berarti, walaupun kita sudah meninggal, dengan melihat sortana-nya orang akan teringat pada kita?”
Beberapa saat embu’ terbatuk. Batuk yang sangat kering dan membuat tulang rahangnya mencuat. “Iya, salah satu manfaatnya,” setelah batuknya reda.
“Oh.”
“Kalau sortana itu dipakai untuk kebaikan, tentu menambah nilai pahala bagi yang meninggal. Itu sebab, mengapa dinamai sortana, mengambil dari kata kasorra tana, atau kasur tanah.”
“Artinya, kasurnya orang yang sudah meninggal?”
Embu’ mengangguk, meletakkan cangkir yang sudah dilap, lalu mengambil piring dan mengelapnya dengan gerakan halus. Sebentar embu’ terbatuk lagi.
Seminggu ini batuk embu’ tambah parah. Tubuhnya semakin ringkih. Bahkan dua hari lalu ia mengaku batuk darah padaku. Namun ia memintaku merahasiakannya darimu. Ia pun menolak dianggap dan diperlakukan sebagaimana orang sakit.
Meskipun pekerjaan dapur sudah kau bereskan sejak sebelum subuh, dan baju-baju kotornya kau cuci sebelum sinar matahari mengecup gorden jendela kamarnya, embu’ masih bersikeras menyapu lantai dan halaman yang banyak mengepulkan debu saat disapu, hingga berakibat napasnya kian sengal gara-gara batuk panjang.
Sudah empat kali kau antar embu’ ke mantri desa, tidak ada perkembangan sedikit pun. Ketika mencoba dibawa ke dukun, katanya embu’ kena teluh yang dikirim oleh lelaki yang ditolak lamarannya setelah ayahmu meninggal.
Ah, tidak sedikit lamaran para duda yang embu’ tampik. Ia pun tidak mau membidik sangka pada salah satu di antara mereka. Katanya, sehat dan sakit adalah pemberian dari yang Mahakuasa, dan merupakan salah satu kemurahan Tuhan untuk menggugurkan dosa-dosa si bersangkutan.
“Jika aku meninggal, haturkan perabot-perabot ini ke guru ‘ngajimu,” lirih, seolah Malaikat Jibril sudah menunggu embu’ di luar pintu, hingga kecemasan kian membelukar di matamu.
“Embu’ tidak akan mati. Yakinlah, Embu’ akan cepat sembuh.”
“Sakit tidak ada hubungannya dengan kematian, Bhing! Yang namanya makhluk hidup pasti akan mencicipi mati. Entah itu datangnya cepat atau lambat, disebabkan sakit atau tidak, bila tiba waktunya tidak ada yang bisa menolak,” dengan nada datar dan senyum tawar.
“Tapi aku tidak ingin ditinggalkan Embu’,” rusuh di dadamu tergetar jelas dari suaramu.
Embu’ menatapmu. Bibirnya melengkung tipis. “Sekarang kau sudah besar. Sebelum mati, aku ingin melihatmu menikah.”
Menikah? Kautatap embu’ lekat-lekat. Meskipun wajahnya tampak pucat dan bibirnya retak-retak, gurat kecantikan masih tersisa jelas. Semasih muda embu’ memang lebih cantik darimu. Ia menjadi perawan desa yang diperebutkan. Namun, perbedaan status sosial, tradisi pertunangan sejak bayi, hingga martabat yang harus dijunjung tinggi telah menumbalkan sebiji cinta yang dimilikinya. Tidak ada pilihan baginya kecuali tunduk di hadapan orangtua. Pada tradisi takdir perjodohan bayi.
Setelah menikah, embu’ memilih setia pada ayahmu, yang telah menjadi tunangannya sejak masih bayi dan memendam cintanya dalam-dalam. Katanya, kehormatan seorang perempuan setelah menjadi istri berada pada kesetiaannya. Bahkan, meskipun menjanda di usia cukup muda, embu’ tidak pernah tergoda menikah lagi. Embu’ juga tidak suka memedulikan cibiran sinis para tetangga yang merasa cemas suaminya larak-lirik.
Cinta rumit masa lalu membuat embu’ tegar dan bersikap lebih tenang. Bahkan, embu’ juga menanggapi dengan santai saat kau adukan bisik-bisik tetangga di warung mengenai dirimu.
“Kata orang aku bukan anak kandung ayah. Benarkah, Bu?” dengan wajah kesal kau pulang dan menyemburkan pertanyaan itu.
Ayahmu memang sudah tua saat menikahi embu’, dan ia tidak memiliki keturunan satu pun dari istri-istrinya terdahulu. Kakekmu terpaksa menjodohkan embu’ yang baru lahir dengan lelaki kaya yang sudah beristri tiga itu demi membalas budi setelah membantu biaya kelahiran embu’. Kata kakekmu, ia tidak mau menanggung utang budi hingga mati.
“Apakah menikah dengan orang yang jauh lebih tua dari kita banyak menimbulkan prasangka di kemudian hari, Bu?” tanyamu suatu malam, sepulang dari langgar dan gulungan mukena masih terdekap di dada.
Alis embu’ terangkat hingga bola matanya tampak kian membulat “Kenapa kau bertanya demikian?”
Kau menggeleng ragu. Tentu bayangan waktu kecil merimbun di kepalamu. Setiap ada pertemuan wali santri di sekolah menjelang haflatul imtihan, teman-teman kerap meledekmu, mengatakan ayahmu lebih pantas kau panggil kakek.
“Jodoh sudah ditentukan sebelum kita lahir. Manusia tinggal menjalani, kecuali masih ingin menggugat Tuhan, dan itu pekerjaan sia-sia,” embu’ menyentuh pundakmu lembut. Tangan satunya memegang cangkir. Tidak sedang dilap. Saat kau menghambur masuk ke kamarnya, kau lihat ia sedang memandangi cangkir itu lekat.
“Kalau aku menikah dengan lelaki yang sudah seusia embu’, apa tidak keberatan?”
Embu’ menatap matamu, seolah ingin menyelami hingga ke dasar hatimu. “Dulu aku tidak setuju kau dijodohkan sejak bayi, supaya kau bebas memilih akan menikah dengan siapa. Tidak peduli orang-orang menganggapmu sebagai anak perempuan yang tidak cepat laku,” sudut bibirnya tertarik sedikit.
Risiko menolak tradisi perjodohan bayi, selain dipandang sebagai anak perempuan tidak laku, ujung-ujungnya kelak ia menikah dengan orang dari luar daerahnya.
“Apa kau sudah punya pilihan?”
Kau tak segera menjawab.
“Kau masih muda. Pilihlah lelaki yang seusia atau lebih tua sedikit darimu. Jangan sepertiku,” ada penyesalan berakar yang berusaha embu’ pendam di antara desah napasnya.
“Seandainya jodoh yang ditentukan Tuhan untukku seusia embu’, apa kita akan menggugat-Nya?”
Embu’ terbatuk, seolah tersedak oleh perkataannya sendiri. “Apa ia seorang duda?” selidiknya kemudian.
Kau menggeleng.
Kening embu’ berkerut, “belum menikah sama sekali?”
Kau mengangguk dengan sudut bibir tertarik ke samping. Senyum yang gagal.
“Ia serius padamu? Kenapa tidak datang kemari melamarmu?”
“Beliau memintaku untuk menanyakannya lebih dulu pada embu’, apakah merestui atau tidak?”
Embu’ terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Kalau sekiranya tidak akan membuatmu menyesal di kemudian hari, terserah pada keputusanmu.”
Kau tersenyum tawar. Namun ada bias kelegaan di matamu.
“Siapa dia?”
“Beliau.” Kau ragu sejenak, menelan ludah.
Alis embu’ terangkat, sebuah isyarat agar kau melanjutkan kalimat.
“Beliau adalah guru mengajiku, Keh Sakdulla!”
Cangkir di tangan embu’ terlepas jatuh. Kau tersentak. Tatapan embu’ tiba-tiba serupa bilik kosong yang sunyi meskipun sempat terbelalak sebentar dan menatapmu penuh kejut. Wajah embu’ mendadak beku. Ia tidak memedulikan cangkir yang berpuing di lantai. Lidahmu kelu. Kesunyian berkelindan. Kau terpaku heran.
Tidak ada sortana berbahan keramik dan bergambar wajah embu’ yang bisa dihaturkan ke rumah guru ‘ngaji. Perabot-perabot itu telah menjadi puing di lantai ketika pagi tadi kau memeriksa kamar embu’ karena tak kau lihat ia menyapu halaman seperti biasa, meskipun sinar matahari sudah mengecup gorden jendela kamarnya setengah jam yang lalu. Gelas, cangkir, piring, baki, mangkok, tatakan cangkir, tidak utuh lagi. Tidak ada yang tersisa. Puing-puingnya berserak di lantai, dekat kaki pembaringan. Kau sempat histeris mendapati tubuh embu’ terbujur kaku dengan wajah mengapas di atas pembaringan. Raung tangismu menggegerkan para tetangga.
Setibaku di sana bersama tetangga lain yang berduyun-duyun, kau telah terkulai di lantai, di antara puing-puing perabot keramik yang berserakan. Kau baru tersadar ketika embu’ sudah diusung ke pemandian. Hanya aku dan lelaki itu yang menungguimu di kamar, menunggu kau tersadar.
“Embu’?” kau sapu ruangan dengan mata yang baru terbuka.
Kubantu kau bangun.
“Embu’ sedang dimandikan. Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan denganmu,” kutahan pundakmu ketika kau bermaksud turun dari pembaringan.
“Sesuatu apa?”
Kami, aku dan lelaki di sampingku, Keh Sakdulla, menukar tatap. Kau pun menatap kami bergantian dengan kening berkerut.
Sebelum jenazah diantarkan ke pekuburan, akad pernikahanmu dilangsungkan di samping keranda. Setelah akad nikah selesai, kita pun ikut mengantarkan jenazah embu’.
Kaulah sortana bagi embu’. Keberadaanmu tentu semakin melekatkan ingatan lelaki itu padanya. Pada cinta pertama mereka. Hari inilah hari kematian embu’, sekaligus hari pernikahanmu. Memang demikian pesan yang embu’ titipkan padaku; menikahkanmu di dekat kerandanya.
Ada satu amanah lagi yang embu’ titipkan padaku; menjaga rahasianya. Rahasia identitasmu. Kau dan siapa pun tidak boleh tahu, bahwa Keh Sakdulla, lelaki yang baru saja menikahimu adalah ayah biologismu. Sebagai perempuan yang dulu menjadi santri abdi di rumah Keh Sakdulla, akulah saksi cinta mereka yang kandas karena status sosial dan tradisi perjodohan.
Catatan:
Embu’ (bahasa Madura) = ibu.
Muna Masyari bermukim di Pamekasan, Madura. Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 2016. Ia salah satu dari perempuan Madura yang langka karena memilih menjalani profesi pengarang.
Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan.
Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kembang melati di belakang telinga masih sedikit terlihat.
Pada hari pernikahan sekaligus kematian ini, barangkali kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikan dirimu sebagai pengganti perabot sortana yang pernah diperlakukan istimewa itu.
“Kegunaan sortana sebenarnya untuk apa sih, Bu’?” suatu senja, kau sengaja menghampiri embu’ yang sedang mengelap cangkir dengan sobekan kain beludru; bekas baju hantaran dari ayahmu waktu mereka menikah dulu. Mata embu’ membeling dan gerakan tangannya sangat lambat. Ia sempat gugup meski kau datang dengan langkah nyaris tak terdengar.
Terpercik pertanyaan besar di matamu, karena setiap ada orang meninggal, keluarganya biasa menghaturkan berbagai macam perabot pada seorang kiai atau guru ‘ngaji sebagai sortana. Apalagi, perabot pesanan yang sering embu’ lap itu katanya untuk dijadikan sortana juga.
“Selain bernilai sedekah jariyah, juga agar yang meninggal mudah diingat,” jawab embu’ setelah berhasil menyisihkan kegugupannya.
“Berarti, walaupun kita sudah meninggal, dengan melihat sortana-nya orang akan teringat pada kita?”
Beberapa saat embu’ terbatuk. Batuk yang sangat kering dan membuat tulang rahangnya mencuat. “Iya, salah satu manfaatnya,” setelah batuknya reda.
“Oh.”
“Kalau sortana itu dipakai untuk kebaikan, tentu menambah nilai pahala bagi yang meninggal. Itu sebab, mengapa dinamai sortana, mengambil dari kata kasorra tana, atau kasur tanah.”
“Artinya, kasurnya orang yang sudah meninggal?”
Embu’ mengangguk, meletakkan cangkir yang sudah dilap, lalu mengambil piring dan mengelapnya dengan gerakan halus. Sebentar embu’ terbatuk lagi.
Seminggu ini batuk embu’ tambah parah. Tubuhnya semakin ringkih. Bahkan dua hari lalu ia mengaku batuk darah padaku. Namun ia memintaku merahasiakannya darimu. Ia pun menolak dianggap dan diperlakukan sebagaimana orang sakit.
Meskipun pekerjaan dapur sudah kau bereskan sejak sebelum subuh, dan baju-baju kotornya kau cuci sebelum sinar matahari mengecup gorden jendela kamarnya, embu’ masih bersikeras menyapu lantai dan halaman yang banyak mengepulkan debu saat disapu, hingga berakibat napasnya kian sengal gara-gara batuk panjang.
Sudah empat kali kau antar embu’ ke mantri desa, tidak ada perkembangan sedikit pun. Ketika mencoba dibawa ke dukun, katanya embu’ kena teluh yang dikirim oleh lelaki yang ditolak lamarannya setelah ayahmu meninggal.
Ah, tidak sedikit lamaran para duda yang embu’ tampik. Ia pun tidak mau membidik sangka pada salah satu di antara mereka. Katanya, sehat dan sakit adalah pemberian dari yang Mahakuasa, dan merupakan salah satu kemurahan Tuhan untuk menggugurkan dosa-dosa si bersangkutan.
“Jika aku meninggal, haturkan perabot-perabot ini ke guru ‘ngajimu,” lirih, seolah Malaikat Jibril sudah menunggu embu’ di luar pintu, hingga kecemasan kian membelukar di matamu.
“Embu’ tidak akan mati. Yakinlah, Embu’ akan cepat sembuh.”
“Sakit tidak ada hubungannya dengan kematian, Bhing! Yang namanya makhluk hidup pasti akan mencicipi mati. Entah itu datangnya cepat atau lambat, disebabkan sakit atau tidak, bila tiba waktunya tidak ada yang bisa menolak,” dengan nada datar dan senyum tawar.
“Tapi aku tidak ingin ditinggalkan Embu’,” rusuh di dadamu tergetar jelas dari suaramu.
Embu’ menatapmu. Bibirnya melengkung tipis. “Sekarang kau sudah besar. Sebelum mati, aku ingin melihatmu menikah.”
Menikah? Kautatap embu’ lekat-lekat. Meskipun wajahnya tampak pucat dan bibirnya retak-retak, gurat kecantikan masih tersisa jelas. Semasih muda embu’ memang lebih cantik darimu. Ia menjadi perawan desa yang diperebutkan. Namun, perbedaan status sosial, tradisi pertunangan sejak bayi, hingga martabat yang harus dijunjung tinggi telah menumbalkan sebiji cinta yang dimilikinya. Tidak ada pilihan baginya kecuali tunduk di hadapan orangtua. Pada tradisi takdir perjodohan bayi.
Setelah menikah, embu’ memilih setia pada ayahmu, yang telah menjadi tunangannya sejak masih bayi dan memendam cintanya dalam-dalam. Katanya, kehormatan seorang perempuan setelah menjadi istri berada pada kesetiaannya. Bahkan, meskipun menjanda di usia cukup muda, embu’ tidak pernah tergoda menikah lagi. Embu’ juga tidak suka memedulikan cibiran sinis para tetangga yang merasa cemas suaminya larak-lirik.
Cinta rumit masa lalu membuat embu’ tegar dan bersikap lebih tenang. Bahkan, embu’ juga menanggapi dengan santai saat kau adukan bisik-bisik tetangga di warung mengenai dirimu.
“Kata orang aku bukan anak kandung ayah. Benarkah, Bu?” dengan wajah kesal kau pulang dan menyemburkan pertanyaan itu.
Ayahmu memang sudah tua saat menikahi embu’, dan ia tidak memiliki keturunan satu pun dari istri-istrinya terdahulu. Kakekmu terpaksa menjodohkan embu’ yang baru lahir dengan lelaki kaya yang sudah beristri tiga itu demi membalas budi setelah membantu biaya kelahiran embu’. Kata kakekmu, ia tidak mau menanggung utang budi hingga mati.
“Apakah menikah dengan orang yang jauh lebih tua dari kita banyak menimbulkan prasangka di kemudian hari, Bu?” tanyamu suatu malam, sepulang dari langgar dan gulungan mukena masih terdekap di dada.
Alis embu’ terangkat hingga bola matanya tampak kian membulat “Kenapa kau bertanya demikian?”
Kau menggeleng ragu. Tentu bayangan waktu kecil merimbun di kepalamu. Setiap ada pertemuan wali santri di sekolah menjelang haflatul imtihan, teman-teman kerap meledekmu, mengatakan ayahmu lebih pantas kau panggil kakek.
“Jodoh sudah ditentukan sebelum kita lahir. Manusia tinggal menjalani, kecuali masih ingin menggugat Tuhan, dan itu pekerjaan sia-sia,” embu’ menyentuh pundakmu lembut. Tangan satunya memegang cangkir. Tidak sedang dilap. Saat kau menghambur masuk ke kamarnya, kau lihat ia sedang memandangi cangkir itu lekat.
“Kalau aku menikah dengan lelaki yang sudah seusia embu’, apa tidak keberatan?”
Embu’ menatap matamu, seolah ingin menyelami hingga ke dasar hatimu. “Dulu aku tidak setuju kau dijodohkan sejak bayi, supaya kau bebas memilih akan menikah dengan siapa. Tidak peduli orang-orang menganggapmu sebagai anak perempuan yang tidak cepat laku,” sudut bibirnya tertarik sedikit.
Risiko menolak tradisi perjodohan bayi, selain dipandang sebagai anak perempuan tidak laku, ujung-ujungnya kelak ia menikah dengan orang dari luar daerahnya.
“Apa kau sudah punya pilihan?”
Kau tak segera menjawab.
“Kau masih muda. Pilihlah lelaki yang seusia atau lebih tua sedikit darimu. Jangan sepertiku,” ada penyesalan berakar yang berusaha embu’ pendam di antara desah napasnya.
“Seandainya jodoh yang ditentukan Tuhan untukku seusia embu’, apa kita akan menggugat-Nya?”
Embu’ terbatuk, seolah tersedak oleh perkataannya sendiri. “Apa ia seorang duda?” selidiknya kemudian.
Kau menggeleng.
Kening embu’ berkerut, “belum menikah sama sekali?”
Kau mengangguk dengan sudut bibir tertarik ke samping. Senyum yang gagal.
“Ia serius padamu? Kenapa tidak datang kemari melamarmu?”
“Beliau memintaku untuk menanyakannya lebih dulu pada embu’, apakah merestui atau tidak?”
Embu’ terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Kalau sekiranya tidak akan membuatmu menyesal di kemudian hari, terserah pada keputusanmu.”
Kau tersenyum tawar. Namun ada bias kelegaan di matamu.
“Siapa dia?”
“Beliau.” Kau ragu sejenak, menelan ludah.
Alis embu’ terangkat, sebuah isyarat agar kau melanjutkan kalimat.
“Beliau adalah guru mengajiku, Keh Sakdulla!”
Cangkir di tangan embu’ terlepas jatuh. Kau tersentak. Tatapan embu’ tiba-tiba serupa bilik kosong yang sunyi meskipun sempat terbelalak sebentar dan menatapmu penuh kejut. Wajah embu’ mendadak beku. Ia tidak memedulikan cangkir yang berpuing di lantai. Lidahmu kelu. Kesunyian berkelindan. Kau terpaku heran.
Tidak ada sortana berbahan keramik dan bergambar wajah embu’ yang bisa dihaturkan ke rumah guru ‘ngaji. Perabot-perabot itu telah menjadi puing di lantai ketika pagi tadi kau memeriksa kamar embu’ karena tak kau lihat ia menyapu halaman seperti biasa, meskipun sinar matahari sudah mengecup gorden jendela kamarnya setengah jam yang lalu. Gelas, cangkir, piring, baki, mangkok, tatakan cangkir, tidak utuh lagi. Tidak ada yang tersisa. Puing-puingnya berserak di lantai, dekat kaki pembaringan. Kau sempat histeris mendapati tubuh embu’ terbujur kaku dengan wajah mengapas di atas pembaringan. Raung tangismu menggegerkan para tetangga.
Setibaku di sana bersama tetangga lain yang berduyun-duyun, kau telah terkulai di lantai, di antara puing-puing perabot keramik yang berserakan. Kau baru tersadar ketika embu’ sudah diusung ke pemandian. Hanya aku dan lelaki itu yang menungguimu di kamar, menunggu kau tersadar.
“Embu’?” kau sapu ruangan dengan mata yang baru terbuka.
Kubantu kau bangun.
“Embu’ sedang dimandikan. Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan denganmu,” kutahan pundakmu ketika kau bermaksud turun dari pembaringan.
“Sesuatu apa?”
Kami, aku dan lelaki di sampingku, Keh Sakdulla, menukar tatap. Kau pun menatap kami bergantian dengan kening berkerut.
Sebelum jenazah diantarkan ke pekuburan, akad pernikahanmu dilangsungkan di samping keranda. Setelah akad nikah selesai, kita pun ikut mengantarkan jenazah embu’.
Kaulah sortana bagi embu’. Keberadaanmu tentu semakin melekatkan ingatan lelaki itu padanya. Pada cinta pertama mereka. Hari inilah hari kematian embu’, sekaligus hari pernikahanmu. Memang demikian pesan yang embu’ titipkan padaku; menikahkanmu di dekat kerandanya.
Ada satu amanah lagi yang embu’ titipkan padaku; menjaga rahasianya. Rahasia identitasmu. Kau dan siapa pun tidak boleh tahu, bahwa Keh Sakdulla, lelaki yang baru saja menikahimu adalah ayah biologismu. Sebagai perempuan yang dulu menjadi santri abdi di rumah Keh Sakdulla, akulah saksi cinta mereka yang kandas karena status sosial dan tradisi perjodohan.
Catatan:
Embu’ (bahasa Madura) = ibu.
Muna Masyari bermukim di Pamekasan, Madura. Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 2016. Ia salah satu dari perempuan Madura yang langka karena memilih menjalani profesi pengarang.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus