Gus tf Sakai
Satu, tentang Mukjizat
Engkau tidak melihat mukjizat, tetapi mendengar atau membaca kisah mukjizat. Tetapi, Darwin, dalam mimpi kanak-kanaknya, melihat Darwin dewasa mengamati dua ekor burung yang berasal dari dua pulau berbeda. Darwin kecil tahu kedua burung itu tak sama seperti halnya Darwin dewasa tahu kedua burung itu tidak berbeda.
“Orang yang tak percaya,” gumam Darwin dewasa, “tentulah akan berkata: Dua Pencipta telah bekerja.” Dan Darwin kecil, dengan perasaan kesal luar biasa, memberontak keluar dari mimpinya. Tetapi tak bisa. Tentu saja, karena kau tak menginginkannya. Karena mimpi kanak-kanak Darwin ada dalam mimpi kanak- kanakmu dan kau tak ingin Darwin terbangun untuk suatu hari sampai ke Galapagos.
Bersama Darwin kecil, engkau butuh perhitungan itu: berlari ke kedalaman laut, laut yang terbelah oleh tongkat Musa, Musa yang sama seperti yang dikisahkan Kitab; melompat ke kobaran api, api yang tak mampu membakar Ibrahim, Ibrahim yang sama seperti yang dikisahkan Kitab; menjelma jadi orang buta, orang buta yang disembuhkan Isa, Isa yang sama seperti yang dikisahkan Kitab.
Tetapi, belum sempat melakukan apa-apa, belum sempat melihat menyaksikan semua, di luar kuasamu engkau terbangun. Tak ada Darwin kecil. Tak ada Darwin dewasa. Yang ada hanya dirimu, diri yang tak lagi sama dengan dirimu yang tertidur satu jam lalu.
Dua, tentang Nyamuk
Orang-orang menyebutnya Aleksander, tetapi kau lebih suka menyebutnya dengan nama yang kau kenal saat ia masuk ke mimpi kanak-kanakmu: Al-Iskandar. Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar?
Saat orangtuanya menikah, ibunya bermimpi rahimnya disambar petir dan cahaya lalu memancar menyembur-nyembur menerangi alam raya. Beberapa malam kemudian, ayahnya juga bermimpi bagai menimpali mimpi si ibu. Dalam mimpi itu, si ayah melihat dirinya menyegel rahim sang istri dengan segel berukir singa.
Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar? Saat dewasa kelak, ia menyebut dirinya keturunan dewa. Dari pihak ayah ia mengklaim diri keturunan Herakles dan dari pihak ibu ia mengklaim diri keturunan Akhilles. Dalam mimpi kanak-kanak itu, kau melihat bagaimana Al-Iskandar beranjak: belajar bertarung seraya bermain lira, belajar berburu seraya membaca.
Kau lihat juga, ia menundukkan Si Kepala Lembu, kuda yang tak siapa pun bisa menunggangi, pada usia 10 tahun. Pada usia 13, karena tak siapa pun bisa menghadang deras tanya di kepalanya, si ayah mendatangkan seorang filsuf sebagai guru. Filsuf, yang kau kenal sebagai penemu 10 jenis kata, itu dibayar ayahnya dengan membangun kembali kampung si filsuf yang pernah dihancurkan oleh si ayah.
Dari si filsuf, Al-Iskandar menemukan apa yang ia suka: sebuah buku karya seorang penyair buta. Dari si buku, ia tahu apa yang paling ia nikmati: geletar perang yang merayap, menjalar, merambat naik dari telapak kaki ke ubun-ubun. Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar?
Dalam mimpi kanak-kanakmu, kau melihat peristiwa itu, saat pertama, pada usia 16, si ayah berangkat perang dan Al-Iskandar menjaga takhta. Pemberontak dari Trakia dan Al-Iskandar menumpasnya. Dan mulailah, dengan mengantongi buku si penyair buta, orang yang kemudian menyebut dirinya keturunan dewa itu merambah, menghamun, menakluk menundukkan dunia.
Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar? Ia mendaulat dirinya “Raja Babilonia, Asia, dan Empat Sudut Dunia”. Pada usia 32, di Babilonia juga, ketika kau kemudian terbangun dari mimpi kanak-kanakmu, kaudapati keturunan dewa itu mati, digigit nyamuk.
Tiga, tentang Ladang Buncis
Suatu pagi, ketika kau menyeduh secangkir kopi duduk di beranda melayangkan pandang ke seberang jalan, kau melihat pohon jambu yang sebelumnya tak pernah ada, tak pernah tumbuh di antara dua pohon kelapa itu.
Berkeras kau membuka, membolak-balik lembar ingatan, tetapi satu-satunya pohon jambu yang kau temu hanyalah pohon jambu di mimpi kanak-kanak itu: kau memanjatnya, sampai ke ujung dahan, terpeleset jatuh, tubuhmu melayang, tetapi tak pernah mencapai tanah.
Dalam melayang yang lama, dalam melayang yang jauh, kau malah tertidur dan bagai bermimpi lalu terbangun dalam sesosok tubuh renta pada sebuah “ruang” 15 miliar tahun lalu. Kau segera berpikir itu mustahil. Bukan karena kau menjelma jadi seorang yang tua, seorang yang renta, melainkan karena kau tahu 15 miliar itu adalah nonsens: belum ada semesta belum ada jagat raya belum ada Big Bang si Dentuman Besar.
Tetapi, di “ruang” itulah, dalam mimpi itulah, kau bertemu ia: orang yang mendirikan sekte di Krotona, orang yang menjadikan matematika sebagai agama. Katanya, “Waktu bukan angka. Dan ruang tak selalu bidang.” Lalu, di selembar kertas, ia coretkan garis-garis, lengkung-lengkung, dengan angka di ujung-ujung, yang satu sama lain tak terhubung.
Lembaran itu ia gulung sedemikian rupa sehingga garis-garis dan lengkung-lengkung menjelma jadi sebuah bidang dengan angka-angka yang jauh melampaui angka semula. Katanya, “Gulungan inilah yang kuperagakan ke Zarathustra, yang membuat kami berselisih ihwal Sang Terang.”
Kau ingat, pertemuan dengan nabi dari Persia itulah yang membuat orang ini melahirkan Nisbah Emas, yang menyatakan kebenaran ada pada angka dan, seperti halnya kebenaran, jiwa tak pernah mati-melainkan selalu berpindah dari satu tubuh ke lain tubuh.
Kau juga ingat bagaimana orang dalam mimpi kanak-kanakmu ini, orang yang menjadikan matematika sebagai agama itu, karena tak ingin kelak jiwanya pindah ke tubuh kambing atau sapi, senantiasa sangat menjaga makanan.
Kau juga ingat bagaimana ia berpantang, tak mau makan buncis karena percaya dalam biji buncis bersemayam janin makhluk hidup. Kepercayaan yang serta-merta dianut oleh para pengikut sekte dan, sampai dewasa kelak, sampai kau duduk di beranda menyeduh secangkir kopi itu, tak pernah bisa engkau pahami.
Begitulah sampai suatu hari, suatu pagi, di beranda itu juga ketika kau menyeduh kopi juga saat tubuhmu telah renta, kau seperti mendengar ledakan besar, sangat besar-bagai dentum semesta.
Sesudahnya, setelah semua hening, setelah semua sunyi, di seberang jalan itu, dari titik di mana sebelumnya tegak pohon jambu sampai jauh ke titik yang nyaris tak terjangkau pandang, kau lihat: hanya ladang buncis, ladang buncis semata, dengan sosok-sosok kecil bersayap seperti berebut beterbangan naik dari rerumbul ladang.
Pada satu titik, sosok-sosok itu menyatu, menggumpal, perlahan lalu berpendar, bersinar, menjelma: bulatan cahaya di angkasa.
Empat, tentang Sulung
Apa yang sering menjadi ciri mimpi kanak-kanakmu saat kau memikirkan dan merasa aneh bertahun-tahun kemudian, adalah tempat-tempat yang jauh dan tak terjangkau oleh perjalanan.
Orang-orang yang kau temu juga bukan orang-orang yang kau kenal di masa kini, melainkan orang-orang dari masa lalu yang bahkan nama mereka pun adalah nama-nama kecil yang tak pernah kau dengar atau ketika itu belum kau tahu.
Begitu pulalah, di bukit asing itu, kau bertemu Zong Ni, yang dalam bahasa setempat berarti putra kedua dari Bukit Ni. Sebuah pertemuan singkat. Dalam mimpi yang juga singkat.
Kau diberi dua kata, atau tepatnya sepasang kata yang, karena mimpi itu begitu singkatnya, kau hanya bisa membaca: jen-li, tanpa sempat bertanya apa artinya. Dan sayangnya pula, begitu kau terbangun, kau tidak terbangun ke dunia nyata, melainkan ke dalam mimpi kanak-kanak lain.
Dan memang, demikian pulalah yang sering terjadi. Mimpi kanak-kanakmu adalah mimpi dalam mimpi. Bahkan pernah mimpi dalam mimpi dalam mimpi. Kata jen dan li itu pun lalu hilang. Sampai lama. Sampai bisa dipastikan kau telah lupa andai saja kata-kata itu, suatu hari, tak kembali muncul dalam mimpi kanak-kanakmu yang lain.
Tetapi, itu sungguh mimpi yang aneh. Engkau menyebutnya “mimpi salah tempat”. Tempat asing juga. Tempat jauh juga. Tetapi, itu adalah tempat dewa-dewi. Tempat yang setiap kelahiran diiringi angsa-angsa bernyanyi atau, bila tidak, ditandai dengan kilatan petir yang menyambar dari angkasa ke bumi.
Dan sepasang kata itu, jen-li itu, meluncur keluar dari mulut Isis, dewi “Ibu atas Segala Sesuatu”, “Dewi Penyembuh” untuk hidup yang kekal; ibu semua unsur, yang sulung dari segala dunia.
Lima, tentang Sang Laknat
Di antara semua mimpi kanak-kanakmu, mimpi kanak-kanak inilah yang paling membuatmu heran: bagaimana bisa orang yang terlahir dalam jarak waktu sekitar seribu tahun, dan tak kenal satu sama lain, bertemu dalam mimpimu tepat ketika mereka memikirkan hal yang sama? Bagaimana bisa dua orang dengan latar berbeda, dan mengenal dunia dengan jalan hidup yang bertolak belakang, mengurangi dan menambahi pendapat yang seorang untuk menambah dan mengurangi pendapat seorang lain?
Dan itulah mimpi kanak-kanakmu paling nyata, paling jelas, yang bahkan bisa kau ingat sampai ke percakapan mereka paling rinci.
Tentang kereta perang yang ditarik oleh dua ekor kuda hitam dan putih, misalnya, begini kata yang seorang, “Berbeda dari si kuda putih yang bisa kau perintah hanya dengan kata-kata, Umar, si kuda hitam, harus selalu kau cambuk.”
Orang yang dipanggil Umar, tanpa perlu bertanya tentang apa yang beda, enteng menimpal, “Bertahun-tahun kereta itu kubawa, bukan hanya ke Yarmuk atau Qadisya, kuda yang satu tak bisa dikendalikan tanpa kuda lainnya.”
Tentang demokrasi yang harus diganti dengan aristokrasi sejumlah orang kelas wali, misalnya, si seseorang tadi berkata, “Kau lihat guruku, Umar. Ia mati oleh sang laknat, Suara Terbanyak, yang bisa dibeli dan dikuasai oleh sang khianat, para penjahat.”
Umar, orang yang di luar mimpi kanak-kanakmu kau kenal dengan nama Al-Faruq, ringan berujar, “Saat kelak kematian datang, aku menunjuk Para Sahabat, yang memilih seorang di antara mereka sebagai khalifah.”
Tentang dunia indrawi, dunia yang hanyalah bayangan dibanding dunia ide yang abadi, si seseorang itu (kau tahu kini, ia pembenci demokrasi) berkata, “Kesederhanaan adalah ciri keindahan. Karya seni yang hanya menyalin meniru dari alam, ialah sang laknat juga, tak lebih cuma tipuan.”
Umar, sang Al-Faruq, nama yang berarti orang yang bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, pelan mengangguk, “Ya, bayangan.” Dan sang Al-Faruq itu, dengan pelan juga, menggumamkan sejumlah tanya.
Tanya yang, seluruhnya, sangat kau ingat, berkaitan dengan bayangan. Tanya yang, tentu saja, tak dimaksudkan untuk mendapat jawaban.
Salah satu tanya itu, misalnya, “Pernahkah kau melihat rakyatku, karena miskinnya, karena sangat laparnya, mereka lalu merebus batu?”
Gus tf Sakai, lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, 13 Agustus 1965. Menulis cerita pendek sejak tahun 1979 dan sampai sekarang telah menerbitkan lima kumpulan cerpen: Istana Ketirisan (1996), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), Laba-laba (2003), Perantau (2007), dan Kaki yang Terhormat (2012).
Satu, tentang Mukjizat
Engkau tidak melihat mukjizat, tetapi mendengar atau membaca kisah mukjizat. Tetapi, Darwin, dalam mimpi kanak-kanaknya, melihat Darwin dewasa mengamati dua ekor burung yang berasal dari dua pulau berbeda. Darwin kecil tahu kedua burung itu tak sama seperti halnya Darwin dewasa tahu kedua burung itu tidak berbeda.
“Orang yang tak percaya,” gumam Darwin dewasa, “tentulah akan berkata: Dua Pencipta telah bekerja.” Dan Darwin kecil, dengan perasaan kesal luar biasa, memberontak keluar dari mimpinya. Tetapi tak bisa. Tentu saja, karena kau tak menginginkannya. Karena mimpi kanak-kanak Darwin ada dalam mimpi kanak- kanakmu dan kau tak ingin Darwin terbangun untuk suatu hari sampai ke Galapagos.
Bersama Darwin kecil, engkau butuh perhitungan itu: berlari ke kedalaman laut, laut yang terbelah oleh tongkat Musa, Musa yang sama seperti yang dikisahkan Kitab; melompat ke kobaran api, api yang tak mampu membakar Ibrahim, Ibrahim yang sama seperti yang dikisahkan Kitab; menjelma jadi orang buta, orang buta yang disembuhkan Isa, Isa yang sama seperti yang dikisahkan Kitab.
Tetapi, belum sempat melakukan apa-apa, belum sempat melihat menyaksikan semua, di luar kuasamu engkau terbangun. Tak ada Darwin kecil. Tak ada Darwin dewasa. Yang ada hanya dirimu, diri yang tak lagi sama dengan dirimu yang tertidur satu jam lalu.
Dua, tentang Nyamuk
Orang-orang menyebutnya Aleksander, tetapi kau lebih suka menyebutnya dengan nama yang kau kenal saat ia masuk ke mimpi kanak-kanakmu: Al-Iskandar. Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar?
Saat orangtuanya menikah, ibunya bermimpi rahimnya disambar petir dan cahaya lalu memancar menyembur-nyembur menerangi alam raya. Beberapa malam kemudian, ayahnya juga bermimpi bagai menimpali mimpi si ibu. Dalam mimpi itu, si ayah melihat dirinya menyegel rahim sang istri dengan segel berukir singa.
Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar? Saat dewasa kelak, ia menyebut dirinya keturunan dewa. Dari pihak ayah ia mengklaim diri keturunan Herakles dan dari pihak ibu ia mengklaim diri keturunan Akhilles. Dalam mimpi kanak-kanak itu, kau melihat bagaimana Al-Iskandar beranjak: belajar bertarung seraya bermain lira, belajar berburu seraya membaca.
Kau lihat juga, ia menundukkan Si Kepala Lembu, kuda yang tak siapa pun bisa menunggangi, pada usia 10 tahun. Pada usia 13, karena tak siapa pun bisa menghadang deras tanya di kepalanya, si ayah mendatangkan seorang filsuf sebagai guru. Filsuf, yang kau kenal sebagai penemu 10 jenis kata, itu dibayar ayahnya dengan membangun kembali kampung si filsuf yang pernah dihancurkan oleh si ayah.
Dari si filsuf, Al-Iskandar menemukan apa yang ia suka: sebuah buku karya seorang penyair buta. Dari si buku, ia tahu apa yang paling ia nikmati: geletar perang yang merayap, menjalar, merambat naik dari telapak kaki ke ubun-ubun. Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar?
Dalam mimpi kanak-kanakmu, kau melihat peristiwa itu, saat pertama, pada usia 16, si ayah berangkat perang dan Al-Iskandar menjaga takhta. Pemberontak dari Trakia dan Al-Iskandar menumpasnya. Dan mulailah, dengan mengantongi buku si penyair buta, orang yang kemudian menyebut dirinya keturunan dewa itu merambah, menghamun, menakluk menundukkan dunia.
Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar? Ia mendaulat dirinya “Raja Babilonia, Asia, dan Empat Sudut Dunia”. Pada usia 32, di Babilonia juga, ketika kau kemudian terbangun dari mimpi kanak-kanakmu, kaudapati keturunan dewa itu mati, digigit nyamuk.
Tiga, tentang Ladang Buncis
Suatu pagi, ketika kau menyeduh secangkir kopi duduk di beranda melayangkan pandang ke seberang jalan, kau melihat pohon jambu yang sebelumnya tak pernah ada, tak pernah tumbuh di antara dua pohon kelapa itu.
Berkeras kau membuka, membolak-balik lembar ingatan, tetapi satu-satunya pohon jambu yang kau temu hanyalah pohon jambu di mimpi kanak-kanak itu: kau memanjatnya, sampai ke ujung dahan, terpeleset jatuh, tubuhmu melayang, tetapi tak pernah mencapai tanah.
Dalam melayang yang lama, dalam melayang yang jauh, kau malah tertidur dan bagai bermimpi lalu terbangun dalam sesosok tubuh renta pada sebuah “ruang” 15 miliar tahun lalu. Kau segera berpikir itu mustahil. Bukan karena kau menjelma jadi seorang yang tua, seorang yang renta, melainkan karena kau tahu 15 miliar itu adalah nonsens: belum ada semesta belum ada jagat raya belum ada Big Bang si Dentuman Besar.
Tetapi, di “ruang” itulah, dalam mimpi itulah, kau bertemu ia: orang yang mendirikan sekte di Krotona, orang yang menjadikan matematika sebagai agama. Katanya, “Waktu bukan angka. Dan ruang tak selalu bidang.” Lalu, di selembar kertas, ia coretkan garis-garis, lengkung-lengkung, dengan angka di ujung-ujung, yang satu sama lain tak terhubung.
Lembaran itu ia gulung sedemikian rupa sehingga garis-garis dan lengkung-lengkung menjelma jadi sebuah bidang dengan angka-angka yang jauh melampaui angka semula. Katanya, “Gulungan inilah yang kuperagakan ke Zarathustra, yang membuat kami berselisih ihwal Sang Terang.”
Kau ingat, pertemuan dengan nabi dari Persia itulah yang membuat orang ini melahirkan Nisbah Emas, yang menyatakan kebenaran ada pada angka dan, seperti halnya kebenaran, jiwa tak pernah mati-melainkan selalu berpindah dari satu tubuh ke lain tubuh.
Kau juga ingat bagaimana orang dalam mimpi kanak-kanakmu ini, orang yang menjadikan matematika sebagai agama itu, karena tak ingin kelak jiwanya pindah ke tubuh kambing atau sapi, senantiasa sangat menjaga makanan.
Kau juga ingat bagaimana ia berpantang, tak mau makan buncis karena percaya dalam biji buncis bersemayam janin makhluk hidup. Kepercayaan yang serta-merta dianut oleh para pengikut sekte dan, sampai dewasa kelak, sampai kau duduk di beranda menyeduh secangkir kopi itu, tak pernah bisa engkau pahami.
Begitulah sampai suatu hari, suatu pagi, di beranda itu juga ketika kau menyeduh kopi juga saat tubuhmu telah renta, kau seperti mendengar ledakan besar, sangat besar-bagai dentum semesta.
Sesudahnya, setelah semua hening, setelah semua sunyi, di seberang jalan itu, dari titik di mana sebelumnya tegak pohon jambu sampai jauh ke titik yang nyaris tak terjangkau pandang, kau lihat: hanya ladang buncis, ladang buncis semata, dengan sosok-sosok kecil bersayap seperti berebut beterbangan naik dari rerumbul ladang.
Pada satu titik, sosok-sosok itu menyatu, menggumpal, perlahan lalu berpendar, bersinar, menjelma: bulatan cahaya di angkasa.
Empat, tentang Sulung
Apa yang sering menjadi ciri mimpi kanak-kanakmu saat kau memikirkan dan merasa aneh bertahun-tahun kemudian, adalah tempat-tempat yang jauh dan tak terjangkau oleh perjalanan.
Orang-orang yang kau temu juga bukan orang-orang yang kau kenal di masa kini, melainkan orang-orang dari masa lalu yang bahkan nama mereka pun adalah nama-nama kecil yang tak pernah kau dengar atau ketika itu belum kau tahu.
Begitu pulalah, di bukit asing itu, kau bertemu Zong Ni, yang dalam bahasa setempat berarti putra kedua dari Bukit Ni. Sebuah pertemuan singkat. Dalam mimpi yang juga singkat.
Kau diberi dua kata, atau tepatnya sepasang kata yang, karena mimpi itu begitu singkatnya, kau hanya bisa membaca: jen-li, tanpa sempat bertanya apa artinya. Dan sayangnya pula, begitu kau terbangun, kau tidak terbangun ke dunia nyata, melainkan ke dalam mimpi kanak-kanak lain.
Dan memang, demikian pulalah yang sering terjadi. Mimpi kanak-kanakmu adalah mimpi dalam mimpi. Bahkan pernah mimpi dalam mimpi dalam mimpi. Kata jen dan li itu pun lalu hilang. Sampai lama. Sampai bisa dipastikan kau telah lupa andai saja kata-kata itu, suatu hari, tak kembali muncul dalam mimpi kanak-kanakmu yang lain.
Tetapi, itu sungguh mimpi yang aneh. Engkau menyebutnya “mimpi salah tempat”. Tempat asing juga. Tempat jauh juga. Tetapi, itu adalah tempat dewa-dewi. Tempat yang setiap kelahiran diiringi angsa-angsa bernyanyi atau, bila tidak, ditandai dengan kilatan petir yang menyambar dari angkasa ke bumi.
Dan sepasang kata itu, jen-li itu, meluncur keluar dari mulut Isis, dewi “Ibu atas Segala Sesuatu”, “Dewi Penyembuh” untuk hidup yang kekal; ibu semua unsur, yang sulung dari segala dunia.
Lima, tentang Sang Laknat
Di antara semua mimpi kanak-kanakmu, mimpi kanak-kanak inilah yang paling membuatmu heran: bagaimana bisa orang yang terlahir dalam jarak waktu sekitar seribu tahun, dan tak kenal satu sama lain, bertemu dalam mimpimu tepat ketika mereka memikirkan hal yang sama? Bagaimana bisa dua orang dengan latar berbeda, dan mengenal dunia dengan jalan hidup yang bertolak belakang, mengurangi dan menambahi pendapat yang seorang untuk menambah dan mengurangi pendapat seorang lain?
Dan itulah mimpi kanak-kanakmu paling nyata, paling jelas, yang bahkan bisa kau ingat sampai ke percakapan mereka paling rinci.
Tentang kereta perang yang ditarik oleh dua ekor kuda hitam dan putih, misalnya, begini kata yang seorang, “Berbeda dari si kuda putih yang bisa kau perintah hanya dengan kata-kata, Umar, si kuda hitam, harus selalu kau cambuk.”
Orang yang dipanggil Umar, tanpa perlu bertanya tentang apa yang beda, enteng menimpal, “Bertahun-tahun kereta itu kubawa, bukan hanya ke Yarmuk atau Qadisya, kuda yang satu tak bisa dikendalikan tanpa kuda lainnya.”
Tentang demokrasi yang harus diganti dengan aristokrasi sejumlah orang kelas wali, misalnya, si seseorang tadi berkata, “Kau lihat guruku, Umar. Ia mati oleh sang laknat, Suara Terbanyak, yang bisa dibeli dan dikuasai oleh sang khianat, para penjahat.”
Umar, orang yang di luar mimpi kanak-kanakmu kau kenal dengan nama Al-Faruq, ringan berujar, “Saat kelak kematian datang, aku menunjuk Para Sahabat, yang memilih seorang di antara mereka sebagai khalifah.”
Tentang dunia indrawi, dunia yang hanyalah bayangan dibanding dunia ide yang abadi, si seseorang itu (kau tahu kini, ia pembenci demokrasi) berkata, “Kesederhanaan adalah ciri keindahan. Karya seni yang hanya menyalin meniru dari alam, ialah sang laknat juga, tak lebih cuma tipuan.”
Umar, sang Al-Faruq, nama yang berarti orang yang bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, pelan mengangguk, “Ya, bayangan.” Dan sang Al-Faruq itu, dengan pelan juga, menggumamkan sejumlah tanya.
Tanya yang, seluruhnya, sangat kau ingat, berkaitan dengan bayangan. Tanya yang, tentu saja, tak dimaksudkan untuk mendapat jawaban.
Salah satu tanya itu, misalnya, “Pernahkah kau melihat rakyatku, karena miskinnya, karena sangat laparnya, mereka lalu merebus batu?”
Gus tf Sakai, lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, 13 Agustus 1965. Menulis cerita pendek sejak tahun 1979 dan sampai sekarang telah menerbitkan lima kumpulan cerpen: Istana Ketirisan (1996), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), Laba-laba (2003), Perantau (2007), dan Kaki yang Terhormat (2012).
Komentar
Posting Komentar