Ahimsa Marga
Usiaku baru 8 tahun ketika ibu melarangku mbeksa.*) Padahal baru saja aku bisa naik kendi kosong, mengatur keseimbangannya sambil mbeksa dan memutarnya ke arah delapan mata angin.
Tapi kegembiraan bisa menguasai Beksan Bondan, langsung dipupus oleh ibu. ”Ndhuk, mulai sekarang kamu tidak usah ikut latihan nari lagi di sana.”
Aku tidak tahu alasannya. Toh kursus beksa itu tidak bayar. Lagipula, bukannya ibu yang mendorongku belajar mbeksa?
Ibuku dulu penari Gambyong*) di pendopo kewedanan, begitu bisik-bisik yang kutangkap dari kanan-kiri. Di situ Ibu bertemu laki-laki yang katanya adalah ayahku. Di kamarku ada potret laki-laki tak kukenal tetapi tak pernah mengusik keingintahuanku.
Suatu hari sepulang sekolah, kulihat ibu bercakap-cakap dengan seorang laki perlente. Wajahnya halus, sedikit diangkat, menunjukkan dia berasal dari keluarga yang berbeda dengan kami. Ibu bersikap sangat hormat pada laki-laki yang dipanggilnya ”Ndoro” itu.
Ketika melihatku, laki-laki itu mendekat, membelai kepalaku. Dia berbisik, ”Panggil aku Bapak.”
Aku terpaku. Aneh rasanya dipeluk orang asing yang tiba-tiba memintaku memanggilnya ”Bapak”. Sepintas kulihat ada kemiripan wajahnya dengan potret laki-laki yang tergantung di kamarku. Entah kenapa, potret itu lalu kusobek-sobek sampai hanya tersisa serpihannya.
Itulah pertama dan terakhir kali kulihat laki-laki itu.
Yang sering kujumpai kemudian adalah Pakdhé Nardi yang selalu membawa amplop, untuk ibu. Dialah yang sering membelai kepalaku sambil berbisik, ”Ndhuk kamu harus jadi anak pintar ya..”
Bapak adalah hantu bagi hidupku. Aku tidak mengenalnya tetapi dia terus menguntitku seperti bayangan. Sepanjang hidup, perasaanku padanya sambur limbur, antara menolak sekaligus terobsesi. Aku terkurung antara kemarahan yang kutanam dan kerinduan yang kupendam.
Sejak kecil kurasakan hal yang aneh pada ibuku. Meski kurasakan cinta yang berlimpah, Ibu tidak pernah membelaiku. Seperti ada tirai tipis yang memisahkan kami. Kalaupun kutidurkan kepalaku di pangkuannya untuk membaui aroma jariknya yang khas, ibu sangat jarang menyentuh kepalaku.
Pernah satu-dua kali ibu membelaiku, tetapi tampaknya dia lakukan tanpa sadar. Aku selalu mengingatnya karena membuatku ingin kembali terbungkus di dalam rahimnya. Kurasakan semilir angin yang meniupkan ketenteraman tak bertepi. Cuma sekejap, karena ibu cepat-cepat menarik tangannya.
Ibuku hampir tidak pernah tertawa lepas. Dunia ibu hanya dirinya dan aku, pasar dan warung. Aku belajar merasakan kehampaan dari pancaran wajahnya. Ingin kuserap seluruh kesedihan ibuku dengan memandangi wajahnya ketika tertidur.
Ibu tidak pernah berbicara tentang ayahku dan aku tak ingin merecokinya. Pernah kudengar tetangga berbisik, ”Mesakaké….”
Kenapa kasihan?
Larangan mbeksa tampaknya tak ada kaitannya dengan itu semua. Ibu tidak melarangku mbeksa. Aku hanya tidak boleh lagi ikut latihan mbeksa di tempat itu. Ibu tak melarangku main wayang-wayangan di pelataran bersama teman-teman setiap bulan purnama.
Jauh sesudahnya, kutemui seorang perempuan yang pernah menghuni kamp Plantungan di daerah Kendal, semacam Pulau Buru bagi perempuan yang dituduh sebagai anggota organisasi di bawah sayap Partai Komunis Indonesia.
Usianya 12 tahun ketika diambil paksa usai pentas beksa di kelurahan, karena namanya sama dengan nama perempuan tokoh organisasi perempuan yang sedang dicari aparat. Meski tidak masuk akal, anak itu tetap saja dikurung di situ selama 11 tahun!
Ibuku tidak banyak bicara. Dia banyak tirakat dan puasa. Bersamaan dengan bulan mati, dia lebih banyak duduk bersimpuh di pelataran sampai dini hari. Kudengar samar-samar suaranya mengucapkan kata-kata seperti mantra, terus-menerus diulang entah berapa ratus kali. Lalu dia seperti terhanyut dalam diam yang sangat panjang.
Ditingkahi keheningan, suasana malam bersamanya selalu terasa mamring, sangat sunyi. Rasanya kalau ada jarum jatuh pun aku bisa mendengarnya….
Kalau tidak di pelataran, ibu mengajakku tidur di lantai berlapis dua helai tikar pandan. Aku selalu menemaninya sambil berselimut jarik, kain batik untuk menahan udara malam. Aku suka bau jarik yang sehari-hari membalut tubuh ibuku.
”Suwuké Ibu,” katanya.
Kata ibu, suwuk adalah tolak bala yang ampuh apalagi dilakukan oleh ibu yang melahirkan.
Tentang selimut jarik itu, ibu bilang, ”Jarik iku tegesé aja gampang serik… datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kèlangan.”
Jarik itu artinya jangan mudah tersinggung, iri atau sakit hati… jangan marah kalau tertimpa musibah, jangan sedih kalau kehilangan.
Lama baru kupahami maksud kalimat yang dikutip dari Serat Wulangrèh itu.
Datan susah lamun kelangan.
Kalimat itu sebenarnya tidak berlaku untukku. Aku tidak punya apa pun yang oleh teman-temanku dianggap penting. Bisa sekolah, bisa makan sehari tiga kali, itu berkah. Aku tidak pernah merasa punya bapak, lalu kenapa harus merasa kehilangan?
Tapi aku punya banyak teman. Aku tidak bisa membayangkan kehilangan mereka.
Sampai purnama pada malam tanggal 11 September 1965, kami masih bermain wayang-wayangan di bawah siraman sinar bulan.
Aku masih ingat, malam itu gelap berselubung dingin. Hanya satu-dua bintang di langit. Kamis malam Jumat. Ibuku terus terjaga. Kata ibu, pada dini hari itu, untuk ketiga kalinya dalam dua bulan terakhir dia melihat bintang berekor panjang yang cahayanya gemerlap di langit utara…
Lintang kemukus.
Sejak beberapa bulan terakhir, kulihat ibu semakin banyak berpuasa. Selama berhari-hari, Ibu hanya memasak sayur bening bayam dan blenyik bakar untukku. Blenyik adalah bola-bola teri. Di rumah temanku, blenyik adalah lauk kucing.
Suatu pagi, kulihat jalanan dipenuhi orang berteriak-teriak membawa senjata. Mereka berjalan tergesa entah ke mana. Ibu menarikku masuk ke rumah, jadi aku hanya bisa melihat orang-orang yang beringas itu dari kisi-kisi dinding kayu.
Sejak itu, satu per satu temanku menghilang. Pelan-pelan, semakin banyak rumah kosong di kampungku. Aku kehilangan Pakdhé Har yang dermawan, Pakdhé Kirno yang suka bercerita, Pakdhé Sarji yang sering mengajari kami nembang.
Dan Pakdhé Nardi…
Aku juga kehilangan Mbak Nik, yang mengajariku mbeksa. Tak ada lagi budhé dan bulik yang mengajakku ikut makan siang kalau mereka memasak lauk ayam.
Ibuku hanya memasak ayam setahun sekali kalau Lebaran…
Semakin sering kulihat kelebat burung gagak hitam dengan suaranya yang serak memecah siang.
Aaaak… aaaak… aaaak…
Suasana di kampung makin mencekam. Penghuninya berkurang hampir separuh. Hampir semua pintu rumah tertutup sepanjang hari.
Kami hanya bertahan dari sisa-sisa uang ibu. Kain batik ibu yang terbaik menghilang dari lemari pakaian. Hanya tersisa dua-tiga lembar yang dipakai sehari-hari. Kebaya ibu juga semakin lusuh.
Terlalu banyak kesedihan yang tak ingin kuingat dari masa-masa itu. Kepalaku selalu memilih mana yang mau kuingat dan mana yang ingin kubuang.
Ibuku membuat peraturan baru. Tidak boleh ke sana, tidak boleh ke situ. Tapi terutama, ibu melarangku mendekati tanah kosong di pinggir kampung. Dulu lapangan itu adalah tempatku bermain layangan dan kasti bersama teman-temanku. Tanahnya berumput sebagian dan rerimbunan di pinggirnya.
”Ana glundhung pecengis,” kata ibuku.
Glundhung pecengis adalah kepala yang menggelinding tanpa tubuh. Kami, anak-anak, percaya, ndhas cumplung itu sebagai hantu kepala tanpa tubuh yang sering muncul mengganggu orang, kadang bahkan mengejarnya.
Tapi bukan soal itu. Aku tak mau mendekat ke lapangan itu karena angin dari arah tanah kosong itu membuatku bergidik.
Suatu hari dengan mengendap-endap, aku mendekat ke tanah kosong itu. Tiba-tiba hidungku disergap bau busuk bercampur anyir darah. Kulihat tanah kosong itu berantakan seperti bekas dicangkuli. Aku juga melihat banyak lalat hijau beterbangan.
Mungkin karena itulah, wabah kolera menyebar di kampung kami.
Kampungku semakin nyenyat menjelang maghrib. Entah halusinasi atau apa, tetapi aku sering mendengar suara orang merintih, pintu yang dibanting dan bunyi langkah prok-prok-prok…
Selama berbulan-bulan kemudian aku sering mendengar ketukan pintu rumah setelah maghrib. Ibu melarang keras aku mendekat ke pintu.
Suatu malam kudengar ketukan halus. Karena pintu kamar ibu tertutup, kuberanikan membuka pintu depan. Suasana di luar gelap, tak ada siapa pun. Aku hanya membaui sesuatu yang aneh di depan pintu.
Bulu kudukku berdiri.
Sejak malam itu, aku tak berani melanggar aturan ibu.
Tapi, pada suatu malam, ketukan halus kudengar berulang kali. Mula-mula kuabaikan. Tetapi lama-kelamaan kepatuhanku runtuh. Kulihat kamar ibu sudah terkunci. Jadi aku leluasa memenuhi rasa ingin tahuku. Kubuka pintu pelan-pelan. Alangkah terkejutku melihat wajah-wajah pucat yang menyembul di antara kabut.
Aku tidak salah lihat. Itu Pakdhé Nardi dan laki-laki yang pernah minta kupanggil ”Bapak”.
Aku bergumam, ”Pakdhe…”
Dan tanpa sadar aku berbisik, ”Bapaakk…”
Aku merasakan kesedihan yang dalam sampai bertahun-tahun kemudian..
Ketika ibu mulai berjualan lagi, desas-desus mulai menyebar. Kata tetangga, Pakdhe ini diambil pada tanggal sekian jam sekian. Pakdhe itu diciduk sama orang berseragam. Budhe itu, Mbak ini dibawa paksa waktu tengah malam.
Sekitar dua tahun setelah itu, beberapa temanku kembali, tetapi tidak pernah lagi tertawa, tak pernah keluar rumah. Beberapa kembali bersama ibunya, tetapi banyak yang kembali untuk tinggal bersama simbahnya yang sudah renta.
Mereka bukan lagi teman yang kukenal dulu…
Kampungku pelan-pelan kembali ramai. Tetapi suasana kampung sangat berbeda karena mulai ada pendatang yang menempati rumah-rumah kosong. Perbedaan suasana paling terasa kalau ada kenduri. Dulu kami menyambut kenduri dengan gembira, tapi sekarang terasa dingin karena teman-temanku memilih duduk terpekur di sudut bersama simbah atau ibu mereka.
Lalu kudengar suara orang berbisik. ”Itu bapaknya diciduk…. Anak itu bapak-ibunya diambil.. itu.. itu..”
Rasanya seperti diabsen dengan ekor mata. Di kenduri itu, kalau teman-temanku tidak mau makan, terdengar suara sinis, ”Takut diracun ya.. Aja wedi. Kita bukan komunis kok.”
Tapi kalau mereka makan, ada saja suara, ”Dasar anak PKI, mangan ra umum akèhé...”
Sulit kupahami hubungan antara makan banyak dengan PKI.
Biasanya temanku langsung meletakkan piringnya, lalu mundur tanpa suara. Nestapa itu terus kubawa untuk waktu yang sangat panjang.
Banyak hal yang baru kuketahui setelah aku berangkat dewasa.
Tanah kosong itu adalah salah satu kuburan massal yang mayatnya hanya ditimbun tanah kurang dari setengah meter. Glundhung pecengis itu bukan hantu, tetapi betul-betul penggalan-penggalan kepala manusia.
Kekejian yang tak terdefinisikan itu kusebut induk dari segala kejahatan. Kemudian juga kuketahui bahwa pada masa-masa itu hanya ada dua pilihan: menuduh atau dituduh; membunuh atau dibunuh. Nurani dimatikan oleh senyawa instruksi, dendam dan hasrat bertahan. Nyawa manusia tidak ada harganya, bahkan jika dibandingkan ayam.
Kebiadaban yang banal.
Setahuku, sampai hari ini tak pernah ada pembahasan mengenai kebangkrutan moral manusia pada masa itu, sehingga membuka ruang keberulangan. Tahun-tahun berselimut maut dari masa kecilku baru kusadari berpuluh tahun kemudian. Baru kutahu juga, sebagian tanah di kampung itu adalah milik keluarga laki-laki yang tak pernah kutahu namanya, yang memintaku memanggilnya ”Bapak”. Baru kutahu, mengapa banyak tetangga begitu baik padaku. Pun hubungan Pakdhé Nardi, laki-laki itu dan ibuku.
Kutemukan potret laki-laki yang sama di kamarku terpampang di ruang tamu rumah sahabatku di Belgia saat mengunjunginya, jauh di kemudian hari. Banyak lagi yang baru kuketahui belasan bahkan puluhan tahun setelah kutinggalkan kampung itu. Aku bersekolah, kuliah, dan mendapat beasiswa studi lanjutan, tanpa banyak syarat. Pada kolom orangtua di akta kelahiranku hanya tertulis: Kinasih.
Nama ibuku…
Catatan:
*) Mbeksa: menari Tarian Klasik Jawa; beksan: tarian; beksa: tari
*) Gambyong: salah satu tari klasik Jawa Tengah.
Ahimsa Marga adalah Maria Hartiningsih, wartawan senior dengan reputasi internasional. Maria dikenal sebagai wartawan yang gigih memperjuangkan hak asasi manusia, terutama perjuangan anak-anak dan kaum perempuan. Tahun 2003 ia menerima penghargaan Yap Thiam Hien, sebuah penghargaan di bidang HAM yang pertama di Indonesia.
Usiaku baru 8 tahun ketika ibu melarangku mbeksa.*) Padahal baru saja aku bisa naik kendi kosong, mengatur keseimbangannya sambil mbeksa dan memutarnya ke arah delapan mata angin.
Tapi kegembiraan bisa menguasai Beksan Bondan, langsung dipupus oleh ibu. ”Ndhuk, mulai sekarang kamu tidak usah ikut latihan nari lagi di sana.”
Aku tidak tahu alasannya. Toh kursus beksa itu tidak bayar. Lagipula, bukannya ibu yang mendorongku belajar mbeksa?
Ibuku dulu penari Gambyong*) di pendopo kewedanan, begitu bisik-bisik yang kutangkap dari kanan-kiri. Di situ Ibu bertemu laki-laki yang katanya adalah ayahku. Di kamarku ada potret laki-laki tak kukenal tetapi tak pernah mengusik keingintahuanku.
Suatu hari sepulang sekolah, kulihat ibu bercakap-cakap dengan seorang laki perlente. Wajahnya halus, sedikit diangkat, menunjukkan dia berasal dari keluarga yang berbeda dengan kami. Ibu bersikap sangat hormat pada laki-laki yang dipanggilnya ”Ndoro” itu.
Ketika melihatku, laki-laki itu mendekat, membelai kepalaku. Dia berbisik, ”Panggil aku Bapak.”
Aku terpaku. Aneh rasanya dipeluk orang asing yang tiba-tiba memintaku memanggilnya ”Bapak”. Sepintas kulihat ada kemiripan wajahnya dengan potret laki-laki yang tergantung di kamarku. Entah kenapa, potret itu lalu kusobek-sobek sampai hanya tersisa serpihannya.
Itulah pertama dan terakhir kali kulihat laki-laki itu.
Yang sering kujumpai kemudian adalah Pakdhé Nardi yang selalu membawa amplop, untuk ibu. Dialah yang sering membelai kepalaku sambil berbisik, ”Ndhuk kamu harus jadi anak pintar ya..”
Bapak adalah hantu bagi hidupku. Aku tidak mengenalnya tetapi dia terus menguntitku seperti bayangan. Sepanjang hidup, perasaanku padanya sambur limbur, antara menolak sekaligus terobsesi. Aku terkurung antara kemarahan yang kutanam dan kerinduan yang kupendam.
Sejak kecil kurasakan hal yang aneh pada ibuku. Meski kurasakan cinta yang berlimpah, Ibu tidak pernah membelaiku. Seperti ada tirai tipis yang memisahkan kami. Kalaupun kutidurkan kepalaku di pangkuannya untuk membaui aroma jariknya yang khas, ibu sangat jarang menyentuh kepalaku.
Pernah satu-dua kali ibu membelaiku, tetapi tampaknya dia lakukan tanpa sadar. Aku selalu mengingatnya karena membuatku ingin kembali terbungkus di dalam rahimnya. Kurasakan semilir angin yang meniupkan ketenteraman tak bertepi. Cuma sekejap, karena ibu cepat-cepat menarik tangannya.
Ibuku hampir tidak pernah tertawa lepas. Dunia ibu hanya dirinya dan aku, pasar dan warung. Aku belajar merasakan kehampaan dari pancaran wajahnya. Ingin kuserap seluruh kesedihan ibuku dengan memandangi wajahnya ketika tertidur.
Ibu tidak pernah berbicara tentang ayahku dan aku tak ingin merecokinya. Pernah kudengar tetangga berbisik, ”Mesakaké….”
Kenapa kasihan?
Larangan mbeksa tampaknya tak ada kaitannya dengan itu semua. Ibu tidak melarangku mbeksa. Aku hanya tidak boleh lagi ikut latihan mbeksa di tempat itu. Ibu tak melarangku main wayang-wayangan di pelataran bersama teman-teman setiap bulan purnama.
Jauh sesudahnya, kutemui seorang perempuan yang pernah menghuni kamp Plantungan di daerah Kendal, semacam Pulau Buru bagi perempuan yang dituduh sebagai anggota organisasi di bawah sayap Partai Komunis Indonesia.
Usianya 12 tahun ketika diambil paksa usai pentas beksa di kelurahan, karena namanya sama dengan nama perempuan tokoh organisasi perempuan yang sedang dicari aparat. Meski tidak masuk akal, anak itu tetap saja dikurung di situ selama 11 tahun!
Ibuku tidak banyak bicara. Dia banyak tirakat dan puasa. Bersamaan dengan bulan mati, dia lebih banyak duduk bersimpuh di pelataran sampai dini hari. Kudengar samar-samar suaranya mengucapkan kata-kata seperti mantra, terus-menerus diulang entah berapa ratus kali. Lalu dia seperti terhanyut dalam diam yang sangat panjang.
Ditingkahi keheningan, suasana malam bersamanya selalu terasa mamring, sangat sunyi. Rasanya kalau ada jarum jatuh pun aku bisa mendengarnya….
Kalau tidak di pelataran, ibu mengajakku tidur di lantai berlapis dua helai tikar pandan. Aku selalu menemaninya sambil berselimut jarik, kain batik untuk menahan udara malam. Aku suka bau jarik yang sehari-hari membalut tubuh ibuku.
”Suwuké Ibu,” katanya.
Kata ibu, suwuk adalah tolak bala yang ampuh apalagi dilakukan oleh ibu yang melahirkan.
Tentang selimut jarik itu, ibu bilang, ”Jarik iku tegesé aja gampang serik… datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kèlangan.”
Jarik itu artinya jangan mudah tersinggung, iri atau sakit hati… jangan marah kalau tertimpa musibah, jangan sedih kalau kehilangan.
Lama baru kupahami maksud kalimat yang dikutip dari Serat Wulangrèh itu.
Datan susah lamun kelangan.
Kalimat itu sebenarnya tidak berlaku untukku. Aku tidak punya apa pun yang oleh teman-temanku dianggap penting. Bisa sekolah, bisa makan sehari tiga kali, itu berkah. Aku tidak pernah merasa punya bapak, lalu kenapa harus merasa kehilangan?
Tapi aku punya banyak teman. Aku tidak bisa membayangkan kehilangan mereka.
Sampai purnama pada malam tanggal 11 September 1965, kami masih bermain wayang-wayangan di bawah siraman sinar bulan.
Aku masih ingat, malam itu gelap berselubung dingin. Hanya satu-dua bintang di langit. Kamis malam Jumat. Ibuku terus terjaga. Kata ibu, pada dini hari itu, untuk ketiga kalinya dalam dua bulan terakhir dia melihat bintang berekor panjang yang cahayanya gemerlap di langit utara…
Lintang kemukus.
Sejak beberapa bulan terakhir, kulihat ibu semakin banyak berpuasa. Selama berhari-hari, Ibu hanya memasak sayur bening bayam dan blenyik bakar untukku. Blenyik adalah bola-bola teri. Di rumah temanku, blenyik adalah lauk kucing.
Suatu pagi, kulihat jalanan dipenuhi orang berteriak-teriak membawa senjata. Mereka berjalan tergesa entah ke mana. Ibu menarikku masuk ke rumah, jadi aku hanya bisa melihat orang-orang yang beringas itu dari kisi-kisi dinding kayu.
Sejak itu, satu per satu temanku menghilang. Pelan-pelan, semakin banyak rumah kosong di kampungku. Aku kehilangan Pakdhé Har yang dermawan, Pakdhé Kirno yang suka bercerita, Pakdhé Sarji yang sering mengajari kami nembang.
Dan Pakdhé Nardi…
Aku juga kehilangan Mbak Nik, yang mengajariku mbeksa. Tak ada lagi budhé dan bulik yang mengajakku ikut makan siang kalau mereka memasak lauk ayam.
Ibuku hanya memasak ayam setahun sekali kalau Lebaran…
Semakin sering kulihat kelebat burung gagak hitam dengan suaranya yang serak memecah siang.
Aaaak… aaaak… aaaak…
Suasana di kampung makin mencekam. Penghuninya berkurang hampir separuh. Hampir semua pintu rumah tertutup sepanjang hari.
Kami hanya bertahan dari sisa-sisa uang ibu. Kain batik ibu yang terbaik menghilang dari lemari pakaian. Hanya tersisa dua-tiga lembar yang dipakai sehari-hari. Kebaya ibu juga semakin lusuh.
Terlalu banyak kesedihan yang tak ingin kuingat dari masa-masa itu. Kepalaku selalu memilih mana yang mau kuingat dan mana yang ingin kubuang.
Ibuku membuat peraturan baru. Tidak boleh ke sana, tidak boleh ke situ. Tapi terutama, ibu melarangku mendekati tanah kosong di pinggir kampung. Dulu lapangan itu adalah tempatku bermain layangan dan kasti bersama teman-temanku. Tanahnya berumput sebagian dan rerimbunan di pinggirnya.
”Ana glundhung pecengis,” kata ibuku.
Glundhung pecengis adalah kepala yang menggelinding tanpa tubuh. Kami, anak-anak, percaya, ndhas cumplung itu sebagai hantu kepala tanpa tubuh yang sering muncul mengganggu orang, kadang bahkan mengejarnya.
Tapi bukan soal itu. Aku tak mau mendekat ke lapangan itu karena angin dari arah tanah kosong itu membuatku bergidik.
Suatu hari dengan mengendap-endap, aku mendekat ke tanah kosong itu. Tiba-tiba hidungku disergap bau busuk bercampur anyir darah. Kulihat tanah kosong itu berantakan seperti bekas dicangkuli. Aku juga melihat banyak lalat hijau beterbangan.
Mungkin karena itulah, wabah kolera menyebar di kampung kami.
Kampungku semakin nyenyat menjelang maghrib. Entah halusinasi atau apa, tetapi aku sering mendengar suara orang merintih, pintu yang dibanting dan bunyi langkah prok-prok-prok…
Selama berbulan-bulan kemudian aku sering mendengar ketukan pintu rumah setelah maghrib. Ibu melarang keras aku mendekat ke pintu.
Suatu malam kudengar ketukan halus. Karena pintu kamar ibu tertutup, kuberanikan membuka pintu depan. Suasana di luar gelap, tak ada siapa pun. Aku hanya membaui sesuatu yang aneh di depan pintu.
Bulu kudukku berdiri.
Sejak malam itu, aku tak berani melanggar aturan ibu.
Tapi, pada suatu malam, ketukan halus kudengar berulang kali. Mula-mula kuabaikan. Tetapi lama-kelamaan kepatuhanku runtuh. Kulihat kamar ibu sudah terkunci. Jadi aku leluasa memenuhi rasa ingin tahuku. Kubuka pintu pelan-pelan. Alangkah terkejutku melihat wajah-wajah pucat yang menyembul di antara kabut.
Aku tidak salah lihat. Itu Pakdhé Nardi dan laki-laki yang pernah minta kupanggil ”Bapak”.
Aku bergumam, ”Pakdhe…”
Dan tanpa sadar aku berbisik, ”Bapaakk…”
Aku merasakan kesedihan yang dalam sampai bertahun-tahun kemudian..
Ketika ibu mulai berjualan lagi, desas-desus mulai menyebar. Kata tetangga, Pakdhe ini diambil pada tanggal sekian jam sekian. Pakdhe itu diciduk sama orang berseragam. Budhe itu, Mbak ini dibawa paksa waktu tengah malam.
Sekitar dua tahun setelah itu, beberapa temanku kembali, tetapi tidak pernah lagi tertawa, tak pernah keluar rumah. Beberapa kembali bersama ibunya, tetapi banyak yang kembali untuk tinggal bersama simbahnya yang sudah renta.
Mereka bukan lagi teman yang kukenal dulu…
Kampungku pelan-pelan kembali ramai. Tetapi suasana kampung sangat berbeda karena mulai ada pendatang yang menempati rumah-rumah kosong. Perbedaan suasana paling terasa kalau ada kenduri. Dulu kami menyambut kenduri dengan gembira, tapi sekarang terasa dingin karena teman-temanku memilih duduk terpekur di sudut bersama simbah atau ibu mereka.
Lalu kudengar suara orang berbisik. ”Itu bapaknya diciduk…. Anak itu bapak-ibunya diambil.. itu.. itu..”
Rasanya seperti diabsen dengan ekor mata. Di kenduri itu, kalau teman-temanku tidak mau makan, terdengar suara sinis, ”Takut diracun ya.. Aja wedi. Kita bukan komunis kok.”
Tapi kalau mereka makan, ada saja suara, ”Dasar anak PKI, mangan ra umum akèhé...”
Sulit kupahami hubungan antara makan banyak dengan PKI.
Biasanya temanku langsung meletakkan piringnya, lalu mundur tanpa suara. Nestapa itu terus kubawa untuk waktu yang sangat panjang.
Banyak hal yang baru kuketahui setelah aku berangkat dewasa.
Tanah kosong itu adalah salah satu kuburan massal yang mayatnya hanya ditimbun tanah kurang dari setengah meter. Glundhung pecengis itu bukan hantu, tetapi betul-betul penggalan-penggalan kepala manusia.
Kekejian yang tak terdefinisikan itu kusebut induk dari segala kejahatan. Kemudian juga kuketahui bahwa pada masa-masa itu hanya ada dua pilihan: menuduh atau dituduh; membunuh atau dibunuh. Nurani dimatikan oleh senyawa instruksi, dendam dan hasrat bertahan. Nyawa manusia tidak ada harganya, bahkan jika dibandingkan ayam.
Kebiadaban yang banal.
Setahuku, sampai hari ini tak pernah ada pembahasan mengenai kebangkrutan moral manusia pada masa itu, sehingga membuka ruang keberulangan. Tahun-tahun berselimut maut dari masa kecilku baru kusadari berpuluh tahun kemudian. Baru kutahu juga, sebagian tanah di kampung itu adalah milik keluarga laki-laki yang tak pernah kutahu namanya, yang memintaku memanggilnya ”Bapak”. Baru kutahu, mengapa banyak tetangga begitu baik padaku. Pun hubungan Pakdhé Nardi, laki-laki itu dan ibuku.
Kutemukan potret laki-laki yang sama di kamarku terpampang di ruang tamu rumah sahabatku di Belgia saat mengunjunginya, jauh di kemudian hari. Banyak lagi yang baru kuketahui belasan bahkan puluhan tahun setelah kutinggalkan kampung itu. Aku bersekolah, kuliah, dan mendapat beasiswa studi lanjutan, tanpa banyak syarat. Pada kolom orangtua di akta kelahiranku hanya tertulis: Kinasih.
Nama ibuku…
Catatan:
*) Mbeksa: menari Tarian Klasik Jawa; beksan: tarian; beksa: tari
*) Gambyong: salah satu tari klasik Jawa Tengah.
Ahimsa Marga adalah Maria Hartiningsih, wartawan senior dengan reputasi internasional. Maria dikenal sebagai wartawan yang gigih memperjuangkan hak asasi manusia, terutama perjuangan anak-anak dan kaum perempuan. Tahun 2003 ia menerima penghargaan Yap Thiam Hien, sebuah penghargaan di bidang HAM yang pertama di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar