Wicak Hidayat
Di atas batu, merah terguling. Potongan-potongan cabai dengan kulitnya yang keriput. Satu demi satu terjatuh dalam gerak lambat, memantul pada permukaan yang kasar. Lalu butiran garam yang putih. Beberapa irisan gula merah, serpihan cokelat kehitaman. Lalu tumbukan pertama yang perlahan menghancurkan semuanya, dari bentuknya yang utuh dan terpisah-pisah menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Merah. Pedas.
Semua dimulai, kata Ibu, dari hatimu. Untuk apa kamu mau membuat sambal ini? Siapa yang bakal memakannya? Apa yang kamu inginkan mereka rasakan di saat-saat lidah mereka menyentuh campuran bahan-bahan ini? Merah. Pedas.
Lisa kecil menikmati momen-momen ini. Melihat tangan lentik ibunya menari di atas bahan-bahan. Jari-jari itu seakan punya jiwanya sendiri, memilih di antara batang-batang cabai yang tampak agak keriput dan menentukan mana yang akan diambil. Ibu selalu memetik cabai dengan tangannya sendiri, mematahkan tubuh merah itu ke atas cobek batu kasar, satu demi satu. Begitu pun garam, ia menjumputnya lalu memilin di antara ujung-ujung jari sambil membiarkan butiran-butiran itu mengalir. Saat semuanya sudah menjadi satu kesatuan, jari-jari Ibu juga yang menggores tepinya, dan menyelinap antara kedua bibir. Merah. Pedas.
”Ibu,” kata Lisa kecil. ”Kenapa Ibu selalu bikin sambel kalau Ayah pulang?” Ibunya, dengan beberapa bulir keringat yang mulai timbul di dahi, helai-helai rambut menggayut kusut, menatap Lisa dengan pandangan yang lembut. Tersenyum. Lalu berkata: ”Ayah suka sama Ibu gara-gara sambal. Ibu mau Ayahmu enggak pernah lupa itu. Supaya Ayah kangen terus. Supaya Ayah jatuh cinta terus sama si Merah Pedas.”
Gun menahan lidahnya. Ia tidak mau berkata-kata buruk sepagi ini. Kucing belum juga selesai mandi, masak ia sudah harus bertengkar lagi? Tapi memang ia kadang tidak kuat juga, melihat istrinya yang masih asyik meringkuk di balik selimut. Ya, istrinya itu bukan sosok ideal. Layla yang gempal, berkulit gelap. Jauh dari bayangan wanita sempurna yang ia susun dalam kepalanya saat remaja dulu. Wanita yang langsing, berambut panjang. Senang tersenyum dan tertawa. Wanita yang lihai dengan ulekan dan cobek. Sambalnya mendebarkan dada, memacu jantung. Membangkitkan gairah huh-hah huh-hah, membuatnya ingin bikin anak berlusin-lusin. Sedangkan Layla? Sambalnya melempem, tak menantang, luput dari sensasi yang menggetarkan lidah, apalagi jantung, apalagi bikin gairah!
Tapi, apa pantasnya ia mengeluhkan Layla? Dirinya juga bukan laki-laki tangguh pekerja keras seperti yang diimpikannya dulu. Gun bukan laki-laki tegap, perkasa nan penyayang. Ia bukan laki-laki yang berangkat kerja pagi buta, di hari Minggu pergi jalan kaki, atau memancing, atau ke bengkel. Tubuhnya gempal, dengan lemak bertumpuk di sudut-sudut yang tidak atraktif. Kumisnya tidak tumbuh, rambutnya menipis dan rontok. Hanya rokok kretek di saku yang senantiasa mengingatkannya pada impiannya yang tak terwujud.
Mungkin, pikir Gun, karena sosok pria ideal itu tidak terwujud, wajar saja sang wanita idaman tidak bisa ia dapatkan. Gun menahan lidahnya. Dari pada sibuk menahan marah, lebih baik ia pergi saja. Warung nasi ujung gang harusnya sudah buka, dan sepagi ini sambalnya pasti masih segar.
Gun sampai di pabrik pada waktu yang ditentukan. Tugasnya sebagai sopir cadangan sudah jelas: antar atau jemput atau keduanya. Tapi tugas utama yang membuatnya jadi favorit Pak Sapto bukan itu. Tidak seperti sopir lainnya, Gun selalu menemukan cara untuk membuat tamunya senang dan kalau tamunya senang, Bos-nya juga senang.
Kali ini tamunya cukup penting. Seorang auditor yang habis memeriksa salah satu pabrik milik Bos. Misi Gun pun jelas: ia harus mengungkap apa titik lemahnya, apa keinginan terdalamnya yang bisa dipenuhi oleh Gun. Kalau sudah ketemu selahnya, Gun bisa beraksi dan menyimpan tamu itu dalam daftar rekan bisnis spesial Pak Sapto.
”Langsung Pak?” tanya Gun pada penumpangnya. Pria itu tidak langsung menjawab, malah melihat ke luar jendela, seperti mencari-cari sesuatu.
”Atau, mungkin mau keliling dulu? Lihat-lihat daerah sini sebelum pulang?” Gun mencoba memancing.
”Anu. Pak Gun. Boleh kita cari tempat makan dulu?”
Herman meminta Gun mengantarnya ke sebuah warung sunda. Pemiliknya seorang bapak tua yang biasa dipanggil Aki oleh teman-teman di pabrik. Lokasinya tak terlalu jauh dari pabrik. Rupanya Herman, yang di luar jam kerja kerap mengisi pengajian untuk warga kampung sekitar pabrik, juga kerap mampir ke warung itu. Wajar saja, lokasinya tepat di seberang langgar tempatnya mengajar ngaji.
Salah satu yang melayani di warung itu anak Aki yang paling muda, gadis dengan nama Sunda, Pipin atau Titin. Tapi satu hal yang melekat pada Gun adalah sambal bajaknya. Paduan tomat, minyak dan cabai dalam sambal itu merasuk pada apa pun yang dilahap. Nasi dan ikan asin pun jadi nikmat luar biasa. Sambal itu lengket dan pekat. Di dalam mulut ia menggeliat bersama nasi dan lauk, melumuri lidah dengan panas sedang dan sensasi gurih. Aromanya kuat, menempel di jari-jari berjam-jam sesudahnya. Rupanya, sambal itu nempel juga di benak Pak Herman ini.
”Mas Gun, Pak Herman itu sudah punya istri?” kata Aki sambil mengepulkan rokok jagung. Mereka berbincang di luar warung, sambil menunggu Herman makan.
”Sudah Pak,” kata Gun tersenyum ramah.
”Berapa?” Aki lanjut bertanya, sambil nyengir kuda memamerkan gigi-gigi yang sudah menguning dan tidak utuh.
”Satu Pak,” ujar Gun. Ada-ada saja pertanyaan Si Aki ini.
”Oh, baru satu. He-he-he,” ujar Aki sambil tersenyum senang.
***
Malam itu, Gun bukan hanya mengantar pulang, tapi ia ikut makan malam bersama keluarga Herman. Gun menikmati betul malam itu. Selama beberapa menit, Gun menjadi bagian dari sebuah keluarga bahagia. Keluarga pria ideal dan wanita idaman yang selalu ada di bayangannya sejak remaja itu. Istri Herman wanita paruh baya, seumuran dengan Herman namun masih tampak kecantikannya. Anaknya, seorang gadis kecil gempal bernama Lisa, lucu sekali dengan rambut dikepang dua. Melihat Lisa, Gun tiba-tiba merasakan kerinduan karena bersama Layla Gun tak pernah bisa punya anak.
Mereka hanya makan nasi putih, tempe goreng, lalapan dan sambal limo. Tapi, sambal limo itu sungguh luar biasa. Sambal merah pedas yang menyentak hati Gun. Seketika sambal itu menyentuh lidahnya, ia merasakan derasnya darah dalam tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya memburu. Matanya membelalak dan pandangannya sesaat terang, sebelum kabur oleh air mata. Bulir demi bulir keringat terbentuk di dahinya. Tangannya tak bisa berhenti menyuap. Sambal itu menyentak dalam ruang lahapnya, seperti setrum pada syaraf-syarafnya. Ia terbakar dan ia baik-baik saja. Ia ingin menyerah sekaligus ingin berjuang di saat yang sama. Dan ia tak mau berhenti, ia mau lagi!
Selesai makan, ia duduk di beranda, termenung. Bahkan ia tidak menyalakan rokok. Ia merasakan kepuasan yang tak bisa dijelaskan. Ia terbayang istri Herman. Rambutnya yang kusut menjuntai. Jemarinya pasti sungguh lihai memainkan ulekan di atas cobek. Ia membayangkan jari-jari itu menggenggam dan mengeras saat menggerus bahan-bahan sambal. Gun tiba-tiba tidak ingin pulang malam ini.
Selama beberapa hari sesudahnya, Gun gelisah tidak karuan. Selesai makan ia selalu tidak puas. Rokok tidak bisa menghajar kekosongan itu. Pulang ke rumah untuk berhubungan dengan Layla pun tidak membuatnya terpuaskan. Ada yang hilang. Ada yang hampa. Dan kalau ia biarkan pikirannya berkelana, semuanya kembali ke malam itu.
Celakanya, hal ini mengganggu pekerjaan Gun. Akibat lalainya, salah satu rekan bisnis spesial Pak Sapto ngambek dan tidak mau menceritakan informasi yang diharapkan. Saking kesalnya, Bos-nya itu sampai meminta Gun cuti. Gun tersentak, ini ancaman besar. Kalau Si Bos sudah tidak percaya lagi pada dia, apa yang bisa dikerjakan?
”Mas Gun, boleh minta tolong?” kata Herman, memecah lamunan Gun di parkiran.
”Oh, Pak Herman? Kapan datang? Ada audit lagi?”
”Oh, bukan Mas. Ini saya, anu, kunjungan pribadi saja,” ujarnya gelisah.
”Ada yang bisa dibantu Pak?”
”Anu. Boleh antarkan saya ke warung biasa?”
Kesempatan emas, pikir Gun, ini saatnya membuktikan pada Pak Sapto bahwa ia masih bisa bertugas. Gun pun mengantarkan Herman ke warung yang dituju, sambil diam-diam berharap bisa mengantarkan Herman pulang dan diajak makan malam lagi.
Rupanya, tujuan mereka bukan warung itu, melainkan langgar di seberangnya. Di situ sudah menunggu Aki, beberapa penduduk kampung dan tentunya gadis itu, dalam kebaya putih dan tudung ronce melati. Setelah akad nikah selesai, Gun izin pulang. Tak lupa ia menghubungi Pak Sapto dan dengan bangga menyatakan Herman masuk daftar rekanan bisnis spesial.
Tapi kegelisahan itu masih menggelayut. Maka ia memacu kendaraan ke rumah Herman. Parkir di depan rumah itu dan menunggu, mengumpulkan keberanian dan tekadnya. Gun berniat untuk nekat menghampiri istri Herman. Ia harus mendapatkan si Merah Pedas itu. Harus! Tidak boleh gagal!
Wicak Hidayat memiliki nama lengkap Wicaksono Surya Hidayat. Ia terjun di dunia jurnalistik sejak tahun 2003, kemudian melahirkan buku pertamanya tahun 2005. Selain di dunia tulis-menulis ia juga aktif di industri boardgame Indonesia. Karyanya terangkum dalam Lok Tong (kumpulan cerpen sayembara menulis Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, Creative Writing Institute, 2006) dan Antologi Bunga Matahari (antologi puisi, Avatar Press, 2005). Wicak salah satu peserta Kelas Cerpen Kompas 2018.
Di atas batu, merah terguling. Potongan-potongan cabai dengan kulitnya yang keriput. Satu demi satu terjatuh dalam gerak lambat, memantul pada permukaan yang kasar. Lalu butiran garam yang putih. Beberapa irisan gula merah, serpihan cokelat kehitaman. Lalu tumbukan pertama yang perlahan menghancurkan semuanya, dari bentuknya yang utuh dan terpisah-pisah menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Merah. Pedas.
Semua dimulai, kata Ibu, dari hatimu. Untuk apa kamu mau membuat sambal ini? Siapa yang bakal memakannya? Apa yang kamu inginkan mereka rasakan di saat-saat lidah mereka menyentuh campuran bahan-bahan ini? Merah. Pedas.
Lisa kecil menikmati momen-momen ini. Melihat tangan lentik ibunya menari di atas bahan-bahan. Jari-jari itu seakan punya jiwanya sendiri, memilih di antara batang-batang cabai yang tampak agak keriput dan menentukan mana yang akan diambil. Ibu selalu memetik cabai dengan tangannya sendiri, mematahkan tubuh merah itu ke atas cobek batu kasar, satu demi satu. Begitu pun garam, ia menjumputnya lalu memilin di antara ujung-ujung jari sambil membiarkan butiran-butiran itu mengalir. Saat semuanya sudah menjadi satu kesatuan, jari-jari Ibu juga yang menggores tepinya, dan menyelinap antara kedua bibir. Merah. Pedas.
”Ibu,” kata Lisa kecil. ”Kenapa Ibu selalu bikin sambel kalau Ayah pulang?” Ibunya, dengan beberapa bulir keringat yang mulai timbul di dahi, helai-helai rambut menggayut kusut, menatap Lisa dengan pandangan yang lembut. Tersenyum. Lalu berkata: ”Ayah suka sama Ibu gara-gara sambal. Ibu mau Ayahmu enggak pernah lupa itu. Supaya Ayah kangen terus. Supaya Ayah jatuh cinta terus sama si Merah Pedas.”
Gun menahan lidahnya. Ia tidak mau berkata-kata buruk sepagi ini. Kucing belum juga selesai mandi, masak ia sudah harus bertengkar lagi? Tapi memang ia kadang tidak kuat juga, melihat istrinya yang masih asyik meringkuk di balik selimut. Ya, istrinya itu bukan sosok ideal. Layla yang gempal, berkulit gelap. Jauh dari bayangan wanita sempurna yang ia susun dalam kepalanya saat remaja dulu. Wanita yang langsing, berambut panjang. Senang tersenyum dan tertawa. Wanita yang lihai dengan ulekan dan cobek. Sambalnya mendebarkan dada, memacu jantung. Membangkitkan gairah huh-hah huh-hah, membuatnya ingin bikin anak berlusin-lusin. Sedangkan Layla? Sambalnya melempem, tak menantang, luput dari sensasi yang menggetarkan lidah, apalagi jantung, apalagi bikin gairah!
Tapi, apa pantasnya ia mengeluhkan Layla? Dirinya juga bukan laki-laki tangguh pekerja keras seperti yang diimpikannya dulu. Gun bukan laki-laki tegap, perkasa nan penyayang. Ia bukan laki-laki yang berangkat kerja pagi buta, di hari Minggu pergi jalan kaki, atau memancing, atau ke bengkel. Tubuhnya gempal, dengan lemak bertumpuk di sudut-sudut yang tidak atraktif. Kumisnya tidak tumbuh, rambutnya menipis dan rontok. Hanya rokok kretek di saku yang senantiasa mengingatkannya pada impiannya yang tak terwujud.
Mungkin, pikir Gun, karena sosok pria ideal itu tidak terwujud, wajar saja sang wanita idaman tidak bisa ia dapatkan. Gun menahan lidahnya. Dari pada sibuk menahan marah, lebih baik ia pergi saja. Warung nasi ujung gang harusnya sudah buka, dan sepagi ini sambalnya pasti masih segar.
Gun sampai di pabrik pada waktu yang ditentukan. Tugasnya sebagai sopir cadangan sudah jelas: antar atau jemput atau keduanya. Tapi tugas utama yang membuatnya jadi favorit Pak Sapto bukan itu. Tidak seperti sopir lainnya, Gun selalu menemukan cara untuk membuat tamunya senang dan kalau tamunya senang, Bos-nya juga senang.
Kali ini tamunya cukup penting. Seorang auditor yang habis memeriksa salah satu pabrik milik Bos. Misi Gun pun jelas: ia harus mengungkap apa titik lemahnya, apa keinginan terdalamnya yang bisa dipenuhi oleh Gun. Kalau sudah ketemu selahnya, Gun bisa beraksi dan menyimpan tamu itu dalam daftar rekan bisnis spesial Pak Sapto.
”Langsung Pak?” tanya Gun pada penumpangnya. Pria itu tidak langsung menjawab, malah melihat ke luar jendela, seperti mencari-cari sesuatu.
”Atau, mungkin mau keliling dulu? Lihat-lihat daerah sini sebelum pulang?” Gun mencoba memancing.
”Anu. Pak Gun. Boleh kita cari tempat makan dulu?”
Herman meminta Gun mengantarnya ke sebuah warung sunda. Pemiliknya seorang bapak tua yang biasa dipanggil Aki oleh teman-teman di pabrik. Lokasinya tak terlalu jauh dari pabrik. Rupanya Herman, yang di luar jam kerja kerap mengisi pengajian untuk warga kampung sekitar pabrik, juga kerap mampir ke warung itu. Wajar saja, lokasinya tepat di seberang langgar tempatnya mengajar ngaji.
Salah satu yang melayani di warung itu anak Aki yang paling muda, gadis dengan nama Sunda, Pipin atau Titin. Tapi satu hal yang melekat pada Gun adalah sambal bajaknya. Paduan tomat, minyak dan cabai dalam sambal itu merasuk pada apa pun yang dilahap. Nasi dan ikan asin pun jadi nikmat luar biasa. Sambal itu lengket dan pekat. Di dalam mulut ia menggeliat bersama nasi dan lauk, melumuri lidah dengan panas sedang dan sensasi gurih. Aromanya kuat, menempel di jari-jari berjam-jam sesudahnya. Rupanya, sambal itu nempel juga di benak Pak Herman ini.
”Mas Gun, Pak Herman itu sudah punya istri?” kata Aki sambil mengepulkan rokok jagung. Mereka berbincang di luar warung, sambil menunggu Herman makan.
”Sudah Pak,” kata Gun tersenyum ramah.
”Berapa?” Aki lanjut bertanya, sambil nyengir kuda memamerkan gigi-gigi yang sudah menguning dan tidak utuh.
”Satu Pak,” ujar Gun. Ada-ada saja pertanyaan Si Aki ini.
”Oh, baru satu. He-he-he,” ujar Aki sambil tersenyum senang.
***
Malam itu, Gun bukan hanya mengantar pulang, tapi ia ikut makan malam bersama keluarga Herman. Gun menikmati betul malam itu. Selama beberapa menit, Gun menjadi bagian dari sebuah keluarga bahagia. Keluarga pria ideal dan wanita idaman yang selalu ada di bayangannya sejak remaja itu. Istri Herman wanita paruh baya, seumuran dengan Herman namun masih tampak kecantikannya. Anaknya, seorang gadis kecil gempal bernama Lisa, lucu sekali dengan rambut dikepang dua. Melihat Lisa, Gun tiba-tiba merasakan kerinduan karena bersama Layla Gun tak pernah bisa punya anak.
Mereka hanya makan nasi putih, tempe goreng, lalapan dan sambal limo. Tapi, sambal limo itu sungguh luar biasa. Sambal merah pedas yang menyentak hati Gun. Seketika sambal itu menyentuh lidahnya, ia merasakan derasnya darah dalam tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya memburu. Matanya membelalak dan pandangannya sesaat terang, sebelum kabur oleh air mata. Bulir demi bulir keringat terbentuk di dahinya. Tangannya tak bisa berhenti menyuap. Sambal itu menyentak dalam ruang lahapnya, seperti setrum pada syaraf-syarafnya. Ia terbakar dan ia baik-baik saja. Ia ingin menyerah sekaligus ingin berjuang di saat yang sama. Dan ia tak mau berhenti, ia mau lagi!
Selesai makan, ia duduk di beranda, termenung. Bahkan ia tidak menyalakan rokok. Ia merasakan kepuasan yang tak bisa dijelaskan. Ia terbayang istri Herman. Rambutnya yang kusut menjuntai. Jemarinya pasti sungguh lihai memainkan ulekan di atas cobek. Ia membayangkan jari-jari itu menggenggam dan mengeras saat menggerus bahan-bahan sambal. Gun tiba-tiba tidak ingin pulang malam ini.
Selama beberapa hari sesudahnya, Gun gelisah tidak karuan. Selesai makan ia selalu tidak puas. Rokok tidak bisa menghajar kekosongan itu. Pulang ke rumah untuk berhubungan dengan Layla pun tidak membuatnya terpuaskan. Ada yang hilang. Ada yang hampa. Dan kalau ia biarkan pikirannya berkelana, semuanya kembali ke malam itu.
Celakanya, hal ini mengganggu pekerjaan Gun. Akibat lalainya, salah satu rekan bisnis spesial Pak Sapto ngambek dan tidak mau menceritakan informasi yang diharapkan. Saking kesalnya, Bos-nya itu sampai meminta Gun cuti. Gun tersentak, ini ancaman besar. Kalau Si Bos sudah tidak percaya lagi pada dia, apa yang bisa dikerjakan?
”Mas Gun, boleh minta tolong?” kata Herman, memecah lamunan Gun di parkiran.
”Oh, Pak Herman? Kapan datang? Ada audit lagi?”
”Oh, bukan Mas. Ini saya, anu, kunjungan pribadi saja,” ujarnya gelisah.
”Ada yang bisa dibantu Pak?”
”Anu. Boleh antarkan saya ke warung biasa?”
Kesempatan emas, pikir Gun, ini saatnya membuktikan pada Pak Sapto bahwa ia masih bisa bertugas. Gun pun mengantarkan Herman ke warung yang dituju, sambil diam-diam berharap bisa mengantarkan Herman pulang dan diajak makan malam lagi.
Rupanya, tujuan mereka bukan warung itu, melainkan langgar di seberangnya. Di situ sudah menunggu Aki, beberapa penduduk kampung dan tentunya gadis itu, dalam kebaya putih dan tudung ronce melati. Setelah akad nikah selesai, Gun izin pulang. Tak lupa ia menghubungi Pak Sapto dan dengan bangga menyatakan Herman masuk daftar rekanan bisnis spesial.
Tapi kegelisahan itu masih menggelayut. Maka ia memacu kendaraan ke rumah Herman. Parkir di depan rumah itu dan menunggu, mengumpulkan keberanian dan tekadnya. Gun berniat untuk nekat menghampiri istri Herman. Ia harus mendapatkan si Merah Pedas itu. Harus! Tidak boleh gagal!
Wicak Hidayat memiliki nama lengkap Wicaksono Surya Hidayat. Ia terjun di dunia jurnalistik sejak tahun 2003, kemudian melahirkan buku pertamanya tahun 2005. Selain di dunia tulis-menulis ia juga aktif di industri boardgame Indonesia. Karyanya terangkum dalam Lok Tong (kumpulan cerpen sayembara menulis Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, Creative Writing Institute, 2006) dan Antologi Bunga Matahari (antologi puisi, Avatar Press, 2005). Wicak salah satu peserta Kelas Cerpen Kompas 2018.
Komentar
Posting Komentar