Langsung ke konten utama

Gadis Kecil Beralis Tebal Bermata Cemerlang

A. Mustofa Bisri



Ketika pertama kali aku melihatnya, aku sudah bertanya-tanya dalam hati. Aku melihatnya dari jendela kereta api menjelang keberangkatanku dari stasiun S menuju kota J. Seorang gadis cilik beralis tebal berdiri sendirian di peron, memandangiku. Semula aku kira dia sedang mengantar dan ingin melambai seseorang lain, orangtuanya atau saudaranya atau siapa. Tapi kulihat matanya yang cemerlang tertuju langsung kepadaku dan hanya kepadaku. Saya membayangkan atau mengharapkan dia tersenyum. Bila tersenyum, pasti akan semakin indah bibir mungil itu. Tapi dia sama sekali tidak tersenyum. Hanya pandangannya saja yang tidak terlepas dari diriku. Aku sama sekali tidak bisa menafsirkan atau sekadar menerka-nerka kehadiran dan pandangannya. Wajah manis itu tidak mengekspresikan apa-apa.

Sampai keretaku berangkat, wajah gadis kecil beralis tebal bermata cemerlang itu masih memandangiku. Anak siapa gerangan? Mengapa sendirian di stasiun? Bukan. Menilik pakaian dan sikapnya, dia pasti bukan gelandangan. Pakaiannya bersih, sikapnya mantap. Dan matanya itu, mata yang cemerlang itu, meski tidak memancarkan kegembiraan, tidak menyiratkan sedikit pun penderitaan atau sekadar kegelisahan seperti umumnya kebanyakan mata anak gelandangan.

Keretaku semakin melaju. Stasiun yang menyimpan misteri gadis kecil itu sudah lenyap dari pandangan. Tapi wajah gadis kecil itu tak kunjung hilang dari benakku. Dia terus mengikutiku. Sampai kondektur memeriksa karcis. Sampai kru KA menyuguhkan makan malam. Sampai aku makan. Sampai aku tertidur.

Tahu-tahu aku sudah sampai di stasiun kota J. Dengan taksi aku menuju rumah kenalanku yang menjanjikan akan mengenalkanku dengan adiknya yang katanya cantik seperti bintang film kesukaanku. Sopir taksi menanyakan seperti biasa, ”Lewat mana?” Saya pikir ini kiat sopir taksi untuk mengetahui apakah penumpangnya ngerti jalan atau tidak. Kalau ketahuan tidak mengerti jalan, maka dia putar-putar seenaknya agar argonya bisa tinggi. Maka aku bilang, ”Terserah abang sajalah!” Dan ternyata karena aku memang tidak mengerti jalan, aku pun tidak tahu apakah dia putar-putar atau tidak.

Rumah kenalanku, Sahlan, terletak di kampung yang padat. Aku keluar masuk gang, tanya sana-sini, baru akhirnya ketemu. Rumahnya sederhana sekali seperti umumnya rumah-rumah yang lain.

Sahlan senang sekali melihat aku benar-benar datang memenuhi janjiku. Saking senangnya dia kelihatan seperti gugup. Sebentar-sebentar masuk lalu keluar lagi dan setiap keluar ada saja yang dibawanya: yang minuman, kue-kue, rokok. Terakhir dia bawa peralatan mandi. ”Mandi dulu apa?” tanyanya kemudian dijawab sendiri, ”Ya, sebaiknya kamu mandi dulu biar segar.” Aku nurut.

”Kok sepi? Kau sendiri ya?!” tanyaku ketika dia mengantarku ke kamar mandinya.

”Ya, bapak dan ibu sedang mudik ke M. Aku sendirian dengan adikku, jaga rumah.”

Entah mengapa ada rasa lega ketika mendengar dia sendirian dengan adiknya. Tapi di mana dia gerangan? Mau bertanya agak malu juga, jadi aku diam saja.

”Ini kamarmu. Kalau ingin istirahat dulu, silakan lho!” katanya ramah, ”Jangan malu-malu. Anggap saja rumah sendiri!”

Di kamar mandi aku mendengar suara gadis sedang menyanyi lagu India. Ini pasti suara adiknya, pikirku. Merdu juga. Pasti orangnya cantik.

Habis mandi aku langsung masuk ke kamar yang disediakan, entah kamar siapa. Mungkin kamar orangtuanya. Kamar ini juga sederhana tapi bersih sekali. Aku ganti baju dan suara lagu India itu masih terus kudengar.

”Sarapan dulu, Mas!” tiba-tiba terdengar suara Sahlan dari luar kamar. ”Oke!” jawabku dari dalam kamar.

Ketika aku keluar, Masya Allah, aku tertegun. Kulihat di depanku, seorang perempuan menatapku. Alisnya tebal, matanya cemerlang, dan senyumnya manis sekali; persis seperti yang dimiliki gadis kecil yang menatapku di stasiun S. Tak mungkin perempuan ini ibu dari gadis cilik itu. Terlalu muda sebagai ibu. Atau kakaknya? Tapi Sahlan pernah mengatakan dia hanya mempunyai seorang adik perempuan.

Perempuan itu memberi isyarat, mempersilakan ke meja makan sambil tersenyum manis sekali. Aku mengangguk dengan gugup. Sahlan sudah duduk di meja makan sambil membaca koran. Syukur dia tidak memperhatikan kehadiranku dan tidak melihat kegugupanku. Aku segera memperbaiki sikapku seolah-olah tidak ada apa-apa dan langsung menuju meja makan. Perempuan itu duduk di samping Sahlan. Aku pun mengambil tempat duduk di depan mereka. Merasa saya sudah bergabung, Sahlan buru-buru melipat korannya dan mempersilakan.

”O ya, kenalkan dulu, ini Shakila,” katanya sambil melirik perempuan bermata cemerlang di sampingnya, ”Adikku. Adik ketemu gede, ha-ha. Istriku tercinta!” Deg. Ada sesuatu seperti memalu dadaku. Ternyata istrinya. Asem, kau Sahlan, batinku.

Perempuan itu mengulurkan tangannya. Dengan kikuk aku pun mengulurkan tanganku. Kami berjabatan tangan dan terasa ada getar yang kurasakan; entah bersumber dari tanganku atau tangannya yang lembut. Kembali berkelebat wajah gadis kecil di stasiun.

”Ayo, kita mulai! Nanti keburu dingin rawonnya!” Sahlan kembali mempersilakan. Tanpa berbicara sepatah pun, istrinya mengambilkan nasi untukku dan suaminya. Kami, maksudku aku dan Sahlan, makan sambil mengobrol. Istrinya sama sekali tidak ikut bicara. Hanya sesekali tersenyum; seperti ketika suaminya menceritakan asal-usul namanya yang seperti nama bintang film India itu. Bahkan ketika aku sengaja bertanya sesuatu kepadanya, Sahlan yang menjawab. Sekejap terlintas dalam pikiranku, jangan-jangan istri Sahlan ini bisu. Ah, tidak, lha tadi yang kudengar menyanyi lagu India, kan, dia.

Sehabis makan, aku dan Sahlan masih meneruskan berbincang-bincang, tepatnya Sahlan yang bercerita dan aku hanya kadang-kadang membumbui pembicaraanya; sementara istrinya membereskan meja makan dengan diam. Untunglah Sahlan termasuk jenis manusia yang senang berbicara tanpa peduli didengarkan atau tidak; sehingga dia tidak menyadari kalau aku tidak begitu konsentrasi mendengarkannya. Konsentrasiku terpecah antara mendengarkan pembicaraannya dan memikirkan istrinya. Sejak melihat kemiripannya dengan gadis kecil di stasiun dan mendengar suaranya menyanyikan lagu India, aku mengharap dia itulah adiknya. Ternyata Sahlan, sengaja atau tidak, telah mempermainkanku. Yang dia bilang adiknya ternyata istrinya.

Tiba-tiba Sahlan menepuk lenganku dan berkata seolah-olah dia tahu apa yang sedang kupikirkan, ”Kau tahu, adikku itu, eh, istriku itu, betul-betul perempuan istimewa. Betul-betul istimewa. Dia berbicara tidak menggunakan mulut. Mulutnya hanya untuk tersenyum dan bernyanyi. Mungkin kau mendengar nyanyian India tadi, itulah lagu kesukaannya. Merdu ya?! Tapi dia hanya berkata-kata dengan matanya dan sesekali dengan senyumnya. Sejak berkenalan, aku tidak pernah mendengar dia berbicara dengan mulut. Tadinya kukira dia bisu–dan aku tidak peduli biar bisu sekali pun, aku sudah telanjur kesengsem oleh senyum dan matanya yang cemerlang itu—ternyata bila sendirian, sedang mandi, mencuci, atau memasak di dapur, dia menyanyi.”

Sahlan berhenti ketika istrinya datang membawa dua cangkir kopi. Saat meletakkan cangkir kopi di depanku, saya melihat matanya yang cemerlang seperti mempersilakan. ”Terima kasih!” kataku dan senyumnya yang manis kulihat seperti mengatakan, ”Terima kasih kembali!”

”Lihatlah,” kata Sahlan begitu istrinya berlalu, ”dari tadi kau tidak melihatnya berbicara, tapi kau pasti merasakan dia berkata-kata kepadamu. Itulah istriku yang lebih suka kusebut dan kuperkenalkan sebagai adikku. Perkenalanku dengannya juga cukup aneh. Waktu itu aku sedang berada di atas kereta yang akan berangkat dari stasiun S. Dari jendela kereta, kulihat dia, waktu itu masih seorang gadis kecil, berdiri dekat gerbong keretaku. Matanya yang cemerlang memandang lurus ke mataku tanpa berkedip. Aku mencoba tersenyum. Ternyata dia membalas senyumanku dengan senyumannya yang manis itu.”

Sahlan berhenti sejenak matanya menerawang, seolah-olah sedang mengingat-ingat masa lalu. Aku sendiri kontan teringat gadis kecil beralis tebal yang juga memandangiku di stasiun S ketika keretaku akan berangkat.

”Percaya atau tidak,” tiba-tiba Sahlan melanjutkan, ”beberapa tahun kemudian ketika aku pulang ke M setelah capek keluyuran seperti kau sekarang, ibuku memperkenalkanku dengan seorang gadis cantik beralis tebal bermata cemerlang. Gadis yang tak lain dan tak bukan ialah gadis yang pernah kulihat di stasiun S. Singkat cerita, ketika ibuku menawariku untuk mengawini gadis yang bernama India itu, tanpa pikir panjang aku mau. Kami kawin dengan wali hakim, karena dia gadis lola, tak punya orangtua dan saudara. Ia adalah anak asuh kawannya ibuku yang memungutnya sejak bayi. Kawan ibuku itu menemukan bayi di stasiun S dan sudah diurus ke mana-mana, tak ada yang mengakuinya. Akhirnya kawan ibuku itulah yang memeliharanya. Beliau menamakannya dengan bintang film India kesayangannya, Shakila.”

Aku tak lagi mendengar apakah Sahlan masih terus berbicara atau tidak karena tiba-tiba gadis kecil beralis tebal dan bermata cemerlang datang, entah dari mana, dan tersenyum manis sekali.



A Mustofa Bisri, lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944, dari keluarga santri. Belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dikenal sebagai kiai yang mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang. Gus Mus, demikian namanya lebih dikenal, telah menghasilkan beberapa buku kumpulan puisi dan cerpen.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kasur Tanah

Muna Masyari Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kemban...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Gelap

SENO GUMIRA AJIDARMA Ketika listrik mati dan ruangan mendadak jadi gelap, ia seperti mendengar suara jeritan seorang perempuan yang panjang, yang kemudian terus-menerus berulang, tanpa bisa diketahui asalnya. Jeritan siapakah itu? Dalam gelap, ia tidak dapat melihat apapun, dan hanya mendengar jeritan yang panjang. Seperti jerit ketakutan, pikirnya dalam kegelapan. Mengapa perempuan itu ketakutan? Apakah seperti dialaminya sekarang, betapa dalam gelap tiada sesuatu pun yang dapat dilihat, membuatnya merasa terlontar ke sebuah dunia yang hanya hitam, sehitam-hitamnya hitam, sampai tiada apa pun dapat dilihatnya, bahkan tangannya sendiri tiada dapat terlihat? Kegelapan memang hanya hitam, membuat tembok hilang, langit-langit hilang, lantai hilang, memberinya perasaan melayang sendirian. Namun jerit ketakutan itu terdengar semakin jelas. Dalam kegelapan, suara-suara tentu hanya akan semakin jelas, tetapi yang semakin jelas sekarang adalah ketakutannya. Ta-kut. Jerit ke...