Langsung ke konten utama

Boko

Putu Wijaya 


Boko, mantan bromocorah diinsyafkan oleh rumah pemasyarakatan. Ketika keluar dari penjara, ia banting setir total. Tidak lagi memeras, merampok atau membunuh, tetapi menjadi tukang ketoprak.

Pulang dari pangkalan, Boko membereskan peralatan ketoprak dibantu istrinya.

”Ada yang beli, Pak?”

”Tidak. Dua porsi aku makan sendiri daripada basi.”

”Sudah tiga bulan, kok, begini terus?”

”Orang-orang bingung ketika melihat aku mendorong gerobak ketoprak dan mangkal di pinggir jalan. Tidak seorang pun yang berani mendekat. Bagaimanapun juga, di dalam gerobak yang aku dorong itu tidak hanya ada tahu, ketupat, tauge, dan saus kacang, tetapi juga ada pisau. Dan pisau di dekat seorang pembunuh, sewaktu-waktu bisa mengerat leher siapa pun, tanpa alasan.”

”Sabar, Pak.”

”Ya, sebagai mantan orang hukuman, aku paham nasibku. Aku tahu, tidak mudah bagi masyarakat melupakan sejarah hitamku. Tidak seperti orang-orang politik yang bisa dalam sekejap bertukar warna. Aku tahu, aku akan diuji lama sekali.”

”Legawa saja, Pak.”

”Memang harus begitu. Kebebasan tidak langsung memberikan pembebasan. Inilah waktunya aku belajar, apakah aku mengerti pada kebebasan yang kembali diberikan kepadaku ini setelah 20 tahun di dalam bui. Kalau aku mau gampangnya, aku bergabung saja lagi dengan kolega-kolegaku yang masih aktif. Banyak anak buahku yang akan memberikan aku jalan keluar. Tapi itu berarti tanganku yang sudah dicuci selama 20 tahun ini akan kotor lagi. Setelah itu, beberapa tahun lagi, aku akan masuk penjara lagi. Dan kalau itu terjadi tidak akan ada harapan keluar. Jadi, biarkan aku terima nasib ini. Ini percobaan.”

Istri Boko tidak menjawab. Ia terima saja dagangan ketoprak suaminya kembali utuh setiap hari karena tak ada yang beli.

”Uang sudah habis. Besok Bapak hanya akan mendorong gerobak kosong.”

”Tak apa. Kemarin-kemarin juga hanya satu-dua piring yang laku. Dibeli oleh pendatang yang tidak tahu siapa aku.”

”Besok Bapak mau berangkat juga?”

”Ya.”

”Satu bulan pertama Bapak masih semangat mendorong gerobak ketoprak, meskipun tidak laku. Aku kasihan.”

”Tak apa. Aku masih semangat sampai kapan pun. Memang cuma itu yang aku punya.”

”Aku yang nelangsa, Pak. Pada bulan kedua, nyaris Bapak mendorong gerobak separuh kosong.”

”Jangan dipikirkan. Kamu kerja saja yang baik. Kita sudah bersyukur masih ada yang percaya sama kamu jadi babu.”

”Besok, di samping pasti tidak ada yang beli, modal kita juga sudah habis. Sebulan lagi aku baru gajian. Memang masih ada sedikit beras tapi itu untuk bertahan beberapa hari. Bagaimana kalau berhenti dulu dorong gerobak?”

”Tidak. Jangan. Terus saja.”

”Istirahat dululah.”

”Tapi aku mau terus mendorong gerobakku untuk melewatkan waktu.”

”Diam di rumah saja, kan aku sudah diterima jadi pembantu.”

”Aku harus mengisi waktu, kalau tidak aku akan tidur terus. Kalau aku tidur terus, aku akan bosan, karena di penjara juga aku sudah banyak tidur. Mimpiku sudah habis. Semuanya sudah aku mimpikan. Sekarang hanya mengulang-ulang. Aku takut kalau sudah bosan aku akan jadi iseng. Waktu iseng itulah pikiran waras bisa hilang. Aku tak mau lagi menjadi bromocorah.”

”Ya janganlah!”

”Kita jalani saja apa adanya.”

”Jadi, besok mendorong gerobak kosong?”

”Penuh juga tidak ada gunanya kalau tidak ada yang laku.”

”Jadi, besok dorong gerobak kosong ke pangkalan?”

”Tak apa. Tak ada yang tahu. Tak ada yang peduli.”

”Aku yang peduli, Pak,” kata istrinya sambil menghapus air mata.

2.

Boko mendorong gerobak kosong ke pangkalan. Tak terduga, sebuah mobil Jaguar yang masih jreng baru keluar dari show room berhenti dekat gerobaknya. Kaca pintu jendela terbuka. Boko menyangka orang itu mau menanyakan arah jalan. Ternyata, ia mau beli ketoprak.

”Ketoprak?”

”Maaf, Pak, sudah habis!”

”Pagi-pagi begini sudah habis?”

”Ya.”

”Ketupatnya saja ada?”

”Tidak.”

”Tauge?”

”Semua habis.”

Orang dalam mobil itu tambah heran. Lalu ia keluar. Memeriksa gerobak Boko yang diam saja.

”Lho, kok habis semuanya. Kecap juga tidak ada?!”

Boko mengangguk.

”Habis semuanya?!”

”Ya.”

”Masak, sih?”

Boko tak menjawab.

”Pisaunya juga tidak ada?”

”Untuk apa pisau kalau sudah habis?”

”Laku amat, ya?!”

Boko menggeleng. Orang itu heran.

”Kalau enggak laku, kok, habis?”

”Memang bahannya tidak ada.”

”Kenapa?”

”Tidak ada yang beli.”

Orang itu menatap Boko. Boko tersenyum. Tiba-tiba orang itu tertawa. Ia lantas menepuk pundak Boko keras-keras.

”Sialan kamu! Lupa, ya? Boko!”

Boko terkejut.

Senyumnya seketika lenyap dari bibirnya. Wajahnya tiba-tiba kereng lagi seperti 20 tahun yang lalu, waktu ia masih malang-melintang jadi momok yang menakutkan semua orang.

”Boko! Gila lu! Lupa gue, ya?!”

Boko tak menjawab.

”Sialan lu! Boko!”

Orang itu menepuk pundak Boko lagi. Tapi itu bukan tepukan biasa. Itu sudah sebuah pukulan keras. Tapi Boko yang masih memiliki sisa-sisa keperkasaannya tidak goyah.

Ia menahan rasa sakit dan lebih menahan lagi gelegak dari perutnya yang mau menerjang karena pukulan itu.

”Lu jangan pura-pura, Ko. Semua orang juga masih tahu lu Boko, biar sudah pakai cambang, kumis dan gerobak ketoprak. Ayo, ngapain di sini kayak orang bego. Ayo, naik. Pernah nabrak orang dengan Jaguar enggak? Lu, kan, dulu paling demen begitu. Ayo. Nih, lu masih ingat nyetir, kan?”

Orang itu melemparkan kunci kontak mobil pada Boko. Kunci itu melayang di depan mata Boko dan jatuh ke tanah karena Boko tidak menyambutnya. Boko hanya memandang.

”Alaaa, lu kok jadi bego! Nangkap gitu saja kagak bisa lagi. Motorik lu payah karena penjara, ya?!”

Orang itu tertawa terkekeh-kekeh menjengkelkan sekali. Ia menunduk mengambil kunci kontaknya, lalu mendekat ke samping Boko. Rapat sekali sehingga mulutnya dekat sekali dengan telinga Boko. Ia berbisik lirih tapi serius.

”Bos perlu bantuan. Dia mau mencalonkan diri. Tapi ada kendala. Pelacur dari Cijantung yang pernah jadi piaraannya itu ternyata punya surat nikah. Sekarang lawan-lawan politik Bos memakainya untuk menjatuhkan Bos. Kalau kamu bisa sikat dia sekarang, Bos aman. Dananya Rp 1 M. Kalau berjalan mulus, tambah bonus Rp 1 M lagi. Bagaimana? Masih berani bunuh orang kagak lu?!”

Orang itu lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah amplop besar.

”Potret, alamat dan uang mukanya ada di sini. Dalam amplop ini juga ada HP. Bos atau gue akan menghubungi lu besok. Berarti malam ini juga harus diproses. Salam dari Bos!”

Setelah meletakkan amplop di samping Boko, orang itu bergerak masuk ke mobil. Tiba-tiba Boko muncul di jendela mobil. Ia mengulurkan amplop itu.

”Aku bukan Boko. Lain kali kalau mau mancing jangan nyimpan lencana di kantong Bapak.”

Boko menaruh amplop itu dekat kemudi, lalu mendorong gerobak ketopraknya pulang. Sama sekali tanpa menoleh.

Orang di dalam mobil itu bengong. Ia memeriksa amplop. Masih utuh. Ada potret pelacur itu, alamat dan peta rumahnya. Ada HP dan uang muka 10 juta. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya yang mirip dengan lencana, lalu menenggak dua butir pil dan menggumam.

”Sialan, aku kira si Boko. Untung orangnya polos.”



Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Putra ketiga (bungsu) dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati. Setelah tamat dari SMAN Singaraja dan Fakultas Hukum UGM, pindah ke Jakarta. Pernah menjadi wartawan Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri, menyutradarai film dan sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, dan lakon.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat untuk Anak Perempuanku

TENNI PURWANTI Saat aku menulis surat ini, seorang istri di Bali sedang kesakitan karena kakinya ditebas dengan parang hingga putus oleh suaminya sendiri. Alasannya, hanya karena cemburu. Seorang perempuan lain di Tangerang menanggung malu karena ditelanjangi, dipukuli, dan dibawa berkeliling oleh warga akibat dituduh berbuat mesum dengan pasangannya sendiri. Perempuan 14 tahun di Kendari diperkosa bergilir oleh 14 laki-laki. Perempuan lain di Jakarta, dihujat karena keputusannya melepas jilbab. Tiba-tiba saja aku berpikir untuk menulis surat untukmu. Jika aku tak berumur panjang dan tak sempat melihatmu setelah kau lahir, setidaknya aku punya sesuatu yang bisa kuceritakan, melalui surat ini. Sebelumnya aku ingin menyampaikan bahwa aku bersyukur mengetahui bahwa bayi yang kukandung berjenis kelamin perempuan. Bertahun-tahun sebelum aku mengandungmu, teknologi sudah memungkinkan para orangtua mengetahui jenis kelamin anak mereka sebelum mereka lahir. Aku yang sejak dulu meng...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Cerpen Karya Martin Aleida Terpilih sebagai Cerpen Terbaik ”Kompas” 2016

PENGHARGAAN SASTRA Dahono Fitrianto & Wisnu Dewabrata 15 Juni 2017 21:46 WIB Kompas/Hendra A Setyawan  Penulis Martin Aleida menceritakan latar belakang penulisan cerita pendek karyanya berjudul ”Tanah Air” yang terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2016 dalam malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (15/6). JAKARTA, KOMPAS — Cerita pendek atau cerpen ”Tanah Air” karya penulis Martin Aleida terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2016 dalam malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan Nomor 17, Jakarta Pusat, Kamis (15/6) malam. Dalam acara tahunan yang digelar dalam rangkaian peringatan hari ulang tahun Kompas tersebut, sastrawan Triyanto Triwikromo dari Semarang juga mendapat penghargaan Kesetiaan Berkarya. Penyerahan penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2016 diserahkan langsung Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo kepada Martin Aleida. Sementara penghargaan Kesetiaan Berkarya diserahkan Wakil ...