Langsung ke konten utama

Nanaimo, yang Jauh di Sana

Sori Siregar

Nanaimo. Sebuah kota kecil di Kanada. Di sanalah Lili sekeluarga bermukim. Tidak tahu untuk berapa lama.

Dengan menggunakan telepon seluler Sutana mengamati foto-foto lama Lili dan teman-temannya di kampus Vancouver Island University di British Columbia tersebut. Ia bangga sekaligus merindukan putrinya itu. Sudah lima tahun Lili, suaminya Arie, dan kedua anak mereka, Kafka dan Nares bermukim di negeri orang itu. ”Kapan kalian pulang?”

Pertanyaan itu sering dilontarkan Sutana di surelnya, karena Lili telah selesai pendidikan master-nya setelah berdiam dua tahun di kota kecil, di pantai timur Pulau Vancover itu. Belakangan pertanyaan itu tidak diulangi Sultana, karena Lili telah mengutarakan niat mereka untuk menjadi penduduk tetap di negeri empat musim itu.

Penduduk tetap, hanya setingkat di bawah warga negara. Niat untuk pulang kampung pastilah semakin menipis, karena pilihan itu. Tapi, apakah status itu akan semudah itu memperolehnya?

Ia tidak dapat mengungkapkan hal ini kepada istrinya, Rosmaini, yang sejak keberangkatan Lili telah didera demensia. Orang dengan demensia telah mengalami penurunan fungsi otak yang cukup serius. Ingatannya hanya bertahan satu atau dua detik. Lafalnya ketika berbicara juga tidak sempurna. Ia dapat tertawa tapi tidak pernah menangis. Paling tidak begitulah ia selama lima tahun. Ia dikawal terus oleh Aniek, seorang asisten rumah tangga yang sekaligus bertugas sebagai ”care-giver”. Dr Yenny tempat berkonsultasi Romaini setiap bulan juga menyebut Sutana sebagai ”care-giver”.

Sutana kehilangan teman berkonsultasi dan berbicara sejak Rosmaini menyandang demensia. Dari ketiga anaknya hanya seorang, yaitu Ovi, yang masih sering menemuinya, karena rumahnya hanya berjarak 100 meter dari rumahnya.

Dulu, dua tahun sebelum keberangkatan Lili ke Nanaimo, putranya Parlin memburu gelar master dan PhD di Ibukota Inggris dan terakhir mengajar di Universitas Nottingham Trent, Nottingham. Parlin juga tidak dapat mengatakan kapan ia pulang. Ia ingin mengajar dulu dengan ilmu pengetahuan yang telah dimilikinya. Mungkin untuk setahun, dua tahun, tiga tahun dan seterusnya. Tujuh tahun yang telah dilaluinya bukanlah waktu yang singkat.

Kini si bungsulah yang menjadi tumpuan harapannya dan tempatnya mengadu jika ia didera rasa sunyi. Kerinduan kepada anak di usia senja memang sukar dilenyapkan. Dua anak tinggal di negeri yang jauh dan tidak dapat berbuat apa-apa jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi terhadap dirinya dan istrinya. ”Kapan kalian pulang?” itulah pertanyaan yang sering dilontarkannya jika kerinduan datang menyiksanya.

Sesekali di kesunyian malam ia berbicara kepada dirinya sendiri. ”Umurku saat ini 70 tahun. Alangkah membahagiakan jika aku dapat berusia 97 tahun seperti Pangeran Philip, paling tidak seperti Mahathir Mohamad yang masih mampu menyandang jabatan Perdana Menteri dalam usia 93 tahun. Aku akan berdoa terus kepada Tuhan agar aku dapat berusia seperti mereka. Semoga Tuhan mengabulkan permintaanku ini”.

Tiba-tiba Bonar, seorang eksil menyapanya. Kerinduanmu kepada kedua anakmu tidak ada artinya dengan kerinduan kami, aku dan kawan-kawanku, kepada tanah air. Puluhan tahun kami para eksil ingin kembali tetapi senantiasa dihadang. Aku baru punya kesempatan pulang justru setelah mendapat kewarganegaraan tempatku bermukim. Sudah terlambat. Aku sudah tidak ingin kembali ketika peluang itu terbuka lebar. Kerinduanku untuk pulang telah padam di luar keinginanku.

Sapaan Bonar adalah sapaan seorang sahabat yang telah berpulang sepuluh tahun lalu, jauh sebelum kedua anak Sutana meninggalkan kampung halaman.

Mungkin Bonar benar. Tetapi kepergian Bonar adalah keterpaksaan yang tidak dapat ditolak. Bukan karena desakan hati yang menginginkan kepergian itu. Lain halnya dengan Lili dan Parlin. Mereka pergi dengan keinginan mereka sendiri. Titik tolaknya adalah belajar menambah kekayaan pengetahuan.

Keinginan untuk bertahan lama di negeri orang itu datang belakangan. Lili ingin menjadi penduduk tetap dan Parlin ingin menjadi pengajar di almamaternya, karena sejak awal ia memang ingin mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan.

Bagaimana jika akhirnya Lili dan Parlin kehilangan keinginan mereka untuk pulang. Atau keinginan yang tinggal hanyalah berkunjung. Setahun sekali, dua tahun sekali atau bahkan lima tahun sekali. Sutana semakin berharap agar ia dan istrinya dapat berumur panjang seperti Mahathir Mohamad atau Pangeran Philip, sehingga mereka masih mungkin untuk bertemu dengan kedua anak yang telah menetapkan pilihan mereka ini.

Namun, seperti yang dirasakan Sutana, kerinduan bukanlah sesuatu yang dapat diusir begitu saja. Ia telah mengendap dan setiap saat dapat muncul kembali. Pada saat tertentu Sutana bertanya mengapa anaknya tidak meniru langkahnya beberapa dasawarsa lalu.

Sutana dua kali mendapat peluang untuk membuktikan kemampuan dirinya di negeri orang. Dan dengan mantap ia menentukan waktunya kapan kembali ke kampung halaman dan menetap di negeri ini untuk selama-lamanya. Ia ingin anak-anaknya tetap menjadi anak-anak Indonesia, bukan anak-anak bangsa lain yang menatap negeri ini dengan sikap meremehkan. Atau masih anak-anak Indonesia tetapi menatap tanah airnya dengan sebelah mata.

Lalu, apa menariknya Nanaimo, kota kecil yang hanya berpenduduk 85.000 orang itu. Apa pula menariknya Nottingham yang berpenduduk ratusan ribu orang itu. Mengajar di almamater di negeri orang memang merupakan penghargaan yang tidak boleh disepelekan. Tidak semua orang mendapat kepercayaan dan peluang seperti itu. Mungkin Parlin benar, penghormatan ini tidak boleh ditolak. Sebagai anak bangsa yang mendapat beasiswa dari perguruan tinggi tempatnya memberi kuliah itu, ia juga ingin membuktikan tidak sia-sia perguruan tinggi berwibawa itu memberikan kesempatan kepadanya untuk belajar dan mengajar.

Berbeda dengan Parlin, Lili memilih Nanaimo atas keinginannya sendiri dengan dana yang dikumpulkannya ditambah dengan tabungan suami dan mertuanya selama bertahun-tahun. Ia tidak merasa berkewajiban untuk menyumbangkan sesuatu kepada almamaternya. Walaupun ia menimba ilmu di sana semuanya telah selesai begitu ia membayar uang kuliahnya.

Tetapi mengapa begitu sukar bagi mereka untuk mengatakan kapan pulang, seandainya telah menjadi penduduk tetap di negara tempat mereka bermukim. Kan tidak ada larangan bagi siapa saja untuk pulang ke negeri asalnya. Dulu, ketika Sutana bekerja di negeri orang yang hanya beberapa tahun, kerinduannya kepada ibunya selalu memanggilnya pulang, padahal ibunya belum terlalu tua.

Apakah Lili dan Parlin menyimpan perasaan seperti itu terhadap Sutana dan Rosmaini? Ini yang selalu menjadi tanda tanya besar bagi Sutana. Alangkah malangnya dirinya dan istrinya, Rosmaini, jika kedua anaknya tidak merasa seperti itu. Kekhawatiran ini tidak muncul begitu saja karena contohnya ada dan masih jelas terpampang di depan matanya. Kim Lys, sepupunya, yang semula hanya ingin belajar di negeri orang termasuk dengan perjuangan yang berat karena ayahnya meninggal, hanya satu kali menjenguk ibu dan adiknya di kampung halaman hingga kedua orang itu berpulang.

Kekhawatiran sepihak seperti itu segera diusirnya. Umur bukan manusia yang menentukan. Ia sadar kekhawatiran tentang kematian dan peluang untuk bertemu dengan orang-orang yang dicintai tidak harus menjadi beban yang dipikulnya hanya karena kerinduan kepada kedua anaknya. Rasa rindu tidak boleh membuat dirinya menjadi cengeng dan tenggelam dalam kecengengan itu terus-menerus.

Ia harus tegar. Ia tidak boleh takluk menghadapi apa pun. Kalaupun kedua anaknya tidak ingin kembali, itu telah menjadi pilihan mereka. Pilihan yang harus dipahami. Apalagi ia tahu belasan orang temannya ketika bekerja di negeri orang dulu tak seorang pun yang pulang dengan alasan mereka harus membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi. Mungkin alasan itu benar. Mereka mungkin merasa asing dengan tanah airnya sendiri.

Video-call, whats app, email masih terus berlangsung antara Sutana dengan Lili dan Parlin, hampir setiap minggu. Namun, ada sesuatu yang hilang dalam komunikasi itu. Mereka di sana dan Sutana di sini. Mereka dipisahkan oleh jarak ribuan kilometer. Mereka tidak di sini, tidak hadir di depannya. Kehadiran itulah yang hilang selama beberapa tahun. Itu yang merupakan kecambah kerinduan yang berlebihan.

Sutana berupaya keras meredam gangguan yang setiap hari tidak pernah meninggalkan dirinya itu. Pada waktu yang sama ia sadar bahwa ia harus realistis. Ia harus berani menerima ketidakhadiran anak-anaknya entah hingga kapan. Ia tidak ingin hancur hanya karena Nanaimo dan Nottingham telah merenggut anak-anaknya.

Ini yang membuatnya menghampiri istrinya yang sejak tadi duduk seorang diri, tanpa teman, karena Aniek sedang membersihkan kamar mandi. Ia tahu, apa pun yang akan dikatakannya kepada istrinya, perempuan penderita demensia itu tidak akan memahaminya. Namun ia tetap berkata, ”Rosmaini, Lili dan Parlin akan pulang tidak lama lagi. Mereka ingin menghadiri perayaan ulang tahunmu bulan depan”.

Sutana terperanjat. Ia tidak percaya. Ia menghampiri istrinya karena ingin menyaksikan lebih dekat. Ia benar-benar tidak yakin. Istrinya ternyata masih bisa menangis. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun. Untuk pertama kalinya.


Sori Siregar lebih dikenal sebagai penulis cerpen walaupun ia juga menulis novel dan sejumlah tulisan di rubrik kolom berbagai media. Ia pernah dua kali mendapat penghargaan Dewan Kesenian Jakarta untuk novel-novelnya. Beberapa cerpennya juga terpilih dalam Kumpulan Cerita Pendek Pilihan Kompas. Kini ia menetap di Jakarta. Sejumlah cerpennya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat untuk Anak Perempuanku

TENNI PURWANTI Saat aku menulis surat ini, seorang istri di Bali sedang kesakitan karena kakinya ditebas dengan parang hingga putus oleh suaminya sendiri. Alasannya, hanya karena cemburu. Seorang perempuan lain di Tangerang menanggung malu karena ditelanjangi, dipukuli, dan dibawa berkeliling oleh warga akibat dituduh berbuat mesum dengan pasangannya sendiri. Perempuan 14 tahun di Kendari diperkosa bergilir oleh 14 laki-laki. Perempuan lain di Jakarta, dihujat karena keputusannya melepas jilbab. Tiba-tiba saja aku berpikir untuk menulis surat untukmu. Jika aku tak berumur panjang dan tak sempat melihatmu setelah kau lahir, setidaknya aku punya sesuatu yang bisa kuceritakan, melalui surat ini. Sebelumnya aku ingin menyampaikan bahwa aku bersyukur mengetahui bahwa bayi yang kukandung berjenis kelamin perempuan. Bertahun-tahun sebelum aku mengandungmu, teknologi sudah memungkinkan para orangtua mengetahui jenis kelamin anak mereka sebelum mereka lahir. Aku yang sejak dulu meng...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Cerpen Karya Martin Aleida Terpilih sebagai Cerpen Terbaik ”Kompas” 2016

PENGHARGAAN SASTRA Dahono Fitrianto & Wisnu Dewabrata 15 Juni 2017 21:46 WIB Kompas/Hendra A Setyawan  Penulis Martin Aleida menceritakan latar belakang penulisan cerita pendek karyanya berjudul ”Tanah Air” yang terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2016 dalam malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (15/6). JAKARTA, KOMPAS — Cerita pendek atau cerpen ”Tanah Air” karya penulis Martin Aleida terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2016 dalam malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan Nomor 17, Jakarta Pusat, Kamis (15/6) malam. Dalam acara tahunan yang digelar dalam rangkaian peringatan hari ulang tahun Kompas tersebut, sastrawan Triyanto Triwikromo dari Semarang juga mendapat penghargaan Kesetiaan Berkarya. Penyerahan penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2016 diserahkan langsung Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo kepada Martin Aleida. Sementara penghargaan Kesetiaan Berkarya diserahkan Wakil ...