Langsung ke konten utama

Budak Cinta

SENO GUMIRA AJIDARMA


Ia hanya kelihatan matanya. Apakah yang bisa dilihat dari sepasang mata yang setiap kali mengerjap melesatkan pesona dunia?

Begitulah pesona melesat dari mata yang dipandang untuk menelan mata yang memandang, yang langsung terpukau dan langsung terpana bagai tersambar kilau cahaya surga, yang membuat diri dan segala kehendak hilang lenyap menghablur, menyisakan tubuh tanpa pikiran selain penyerahan dan kerelaan dalam cita-cita untuk diperbudak dalam persembahan jiwa.

”Sudah, jangan mematung seperti itu,” kata istrinya, “mari kita pulang.”

Namun, dia tidak mengenal lagi kata pulang. Hilang sudah rumah, hilang sudah istri, hilang pula keluarga. Hilang segala celoteh ceria kanak-kanak yang telah mengisi hidupnya seperti empasan ombak mengisi kesunyian semesta.

Dia tinggalkan istrinya yang ternganga, yang sempat meraih lengan hanya untuk dia sentakkan, yang hanya bisa memandang lelaki yang selama ini menjadi suaminya, bapak anaknya, lenyap di antara kerumunan dan menghilang….

Siapakah yang akan pernah mengira betapa kebahagiaan begitu rapuh dan keajaiban cinta hanyalah untuk sementara?

Dari kejauhan dia terus-menerus mengikutinya. Ia melangkah tanpa pernah menoleh lagi ke belakang meskipun melalui segala pantulan dari segala kaca di pertigaan jalan, di etalase toko, atau spion tukang ojek yang sedang menanti penumpang, dilihatnya betapa dia mengikutinya sejak dari pasar.

Diketahuinya bagaimana dia telah melangkah terus-menerus sepanjang trotoar untuk mengikutinya dari kejauhan. Kalau ia berbelok masuk gang, dia akan mengikutinya masuk gang; kalau ia masuk ke dalam bus kota, dia akan mengikutinya dengan mikrolet yang sejurusan; kalau ia naik taksi, dia akan membuntutinya dengan ojek atau taksi lain; kalau ia naik kereta listrik, diketahuinya pula betapa dia sudah berada di dalam gerbong yang sama, dan segera mengikutinya sewaktu ia melompat turun di mana pun stasiun yang menjadi tujuannya.

Apabila kemudian ia memasuki rumahnya, mencium tangan suaminya, dan menerima si kecil dari tangan pengasuhnya, dari balik jendela yang tirainya selalu tertutup sehingga perlu sedikit disibaknya, sempat terlihat sosok penguntitnya itu berkelebat masuk ke sebuah kedai di ujung jalan. Ia yakin dari dalam kedai itu dia terus-menerus menatap, menunggu, berharap, dan bermimpi.

Ia berpandangan dengan suaminya. Si kecil sudah tidur. Pengasuhnya sudah pulang.

Dari kedai yang nyaris tutup, sepasang mata menatap rumah yang sudah gelap itu sambil menghirup kopi pelan-pelan.

Dari hari ke hari dia berada di sekitar kehidupan perempuan yang hanya terlihat matanya itu. Tidak cukup mengikuti dari belakang, sesekali dia berpura-pura seperti tidak sengaja berpapasan.

Ketika berpapasan itulah dia akan menatap matanya, dan apalagikah selain mata yang dapat terlihat olehnya? Apabila mereka berpapasan itulah dadanya akan berdesir, hatinya hidup, dan sesuatu berdegup lebih kencang dari biasa.

Apakah yang bisa dikatakan oleh sepasang mata yang kilauannya mendebarkan, dengan tatapan yang menusuk, mencekam, dan menundukkan? Apakah yang bisa diungkapkan oleh sepasang mata? Tampaknya begitu banyak, tetapi bagaimana memastikannya?

Dia berharap mata itu mengenalinya, dan apabila mengenalinya, memberi sedikit perhatian kepadanya, dan apabila mungkin bukan sekadar memberi perhatian, melainkan juga mengharapkan sesuatu dari dirinya. Bahkan bukan sekadar mengharapkan, tetapi juga mendamba.

Mungkinkah yang diharapkannya itu bisa terjadi dalam hubungan di antara mereka berdua yang tidak pernah ada? Namun, mata itu seperti mengatakan semuanya! Seperti memberi perhatian, seperti mengharapkan sesuatu, dan tampaknya juga mendambakan dirinya….

Dari hari ke hari dugaannya seperti terbentuk menjadi nyata.

Pada suatu hari ketika dia sedang membuntutinya, ia menoleh ke belakang dan menatap langsung ke matanya.

Ah, pikirnya, ia mencariku! Ia ingin tahu apakah aku hari ini masih mengikutinya! Ia menginginkan agar diriku mengikuti langkahnya!

Dia pun mempercepat langkah, mendekat. Namun, ia tidak pernah menoleh lagi. Setelah beberapa lama hanya melangkah di belakangnya, dia memberanikan diri mempercepat langkah dan berjalan di sampingnya.

Mereka berjalan bersama, melawan arus manusia kota yang bergelombang menyapu jalanan. Siapakah kiranya di antara begitu banyak manusia di dunia ini akan mengira betapa telah berlangsung suatu peristiwa penuh makna di antara keduanya?

Dengan segala perasaan berbunga di hatinya, dia tetap tidak berdaya memastikan apa pun jua. Bagaimana caranya memastikan sesuatu hanya dari pandangan mata meskipun memang terbukti bagaimana kilauan sepasang mata yang melesat itu telah menjerat dan mencerabutnya dari kehidupan yang lama, yang nyaman, tenteram, dan tanpa masalah, memasuki sebuah dunia yang meski tanpa kepastian, tetapi menjanjikan kebahagiaan surgawi seperti yang telah dijelmakan pancaran matanya?

Gelombang manusia masih terus menyapu mereka. Dia memandang mata mereka dan tampaknya tidak seorang pun yang pandangan matanya berpapasan dengan kilau mata perempuan di sebelahnya. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin mereka yang berpapasan dari depan itu bisa melewatkan begitu saja cerlang gemilang mata terindah? Apakah mata orang kota memang sedemikian buta, seperti ketika mereka mencari sesuatu yang semu dan memang tidak pernah ada? Padahal, mereka berada di depannya!

Berjalan di sampingnya, dia tidak bisa melihat apa pun, sampai hari menjadi gelap dan perempuan itu menghilang. Dia mencari ke mana-mana dan tidak menemukannya.…

Lampu rumah harus dimatikan dulu sebelum ia menyingkap tirai dan melihat dia berada di kedai itu dengan tatapan mata menembus malam langsung ke arahnya. Ia cepat menutup tirai itu, seolah tatapan itu adalah anak panah yang meluncur dan bisa menembus kaca jendela untuk menancap di hatinya. Namun, lantas dibukanya lagi. Dia tidak akan bisa melihatnya. Ia bisa melihatnya. Banyak orang di kedai itu, tetapi dia memunggungi semua orang dan menatap ke arahnya. Ada sedikit perasaan terharu melintas, tetapi hanya melintas saja. Ia sudah terbiasa menyisihkan perasaannya sendiri demi kepentingan lebih besar yang diyakininya.

Ia menoleh ke arah suaminya, yang sedang membacakan ayat-ayat kitab suci kepada anaknya sebelum tidur.

Suaminya mengangkat kepala, memandangnya, dan mengangguk.

Langit mendung bergulung-gulung ketika untuk ke sekian kalinya dalam sekian bulan dia membuntutinya dari kejauhan. Ia menoleh ke belakang lebih dulu sebelum menghilang ke sebuah gang. Tatapan mata yang begitu berbinar, sekilas, tetapi merasuk sepenuhnya ke dalam jiwa yang meratap dan memuja sekian lama mendambakan balasan. Dia merasakan betapa kakinya begitu ringan ketika berkelebat di antara ribuan orang di jalanan untuk menyusulnya. Dia tidak pernah ingin kehilangan lagi meskipun selalu bisa kembali ke kedai di depan rumahnya.

Hujan tumpah ruah begitu dia sampai ke balik gang. Ia sudah menunggu di sana. Bersandar ke tembok, basah kuyup, dan menatap langsung ke matanya. Dia tertegun. Apa yang terbiasa dialaminya sebagai harapan dan dambaan membuatnya gamang ketika menjadi kenyataan.

Bukan hanya menatap, ia menggamit tangannya, menariknya dalam lebat hujan yang membuat semua orang lenyap dari jalanan, lenyap dari gang, hanya menyisakan mereka berdua yang menembus hujan dengan bergandengan tangan. Kederasan hujan membuat air dari langit serasa peluru karet yang pernah mengenainya tanpa sengaja ketika menyaksikan unjuk rasa, tetapi dia tidak dapat mengingatnya.

Sebuah pintu terbuka dan mereka masuk ke sebuah ruangan yang gelap. Dia menghirup bau besi tua, tetapi apakah yang mesti dipedulikannya ketika dalam kegelapan bajunya yang basah tidak terpasang lagi di tubuhnya, dan tangan selembut kapas membawa tangannya ke tubuh tak berbaju lainnya?

Dalam kegelapan dan kerasnya suara hujan tak didengarnya lenguh dan desahan, tetapi dia dapat merasakan segalanya.

Dia membawa sebuah ransel di punggungnya. Dalam puncak pengabdian apakah yang tidak akan dilakukannya? Dia bahkan tidak merasa perlu bertanya apa isi ransel itu. Dia memang tidak ingin mempedulikannya karena perasaan takut kehilangan yang telah menguasainya.

Perasaannya masih seperti itu sebelum dunia mendadak hilang dari kesadarannya ketika bom dalam ranselnya meledak dan menghancurleburkan semua. Semuanya. Bangunan, semut, dan manusia.…


Seno Gumira Ajidarma, lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Kini menjabat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Seno jadi lebih dikenal setelah menulis trilogi karyanya tentang Timor Timur, yakni Saksi Mata (kumpulan cerpen), Jazz, Parfum, dan Insiden (novel), serta Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai). Pada 2014, dia meluncurkan blog bernama PanaJournal-www.panajournal.com tentang human interest stories bersama sejumlah wartawan dan profesional di bidang komunikasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat untuk Anak Perempuanku

TENNI PURWANTI Saat aku menulis surat ini, seorang istri di Bali sedang kesakitan karena kakinya ditebas dengan parang hingga putus oleh suaminya sendiri. Alasannya, hanya karena cemburu. Seorang perempuan lain di Tangerang menanggung malu karena ditelanjangi, dipukuli, dan dibawa berkeliling oleh warga akibat dituduh berbuat mesum dengan pasangannya sendiri. Perempuan 14 tahun di Kendari diperkosa bergilir oleh 14 laki-laki. Perempuan lain di Jakarta, dihujat karena keputusannya melepas jilbab. Tiba-tiba saja aku berpikir untuk menulis surat untukmu. Jika aku tak berumur panjang dan tak sempat melihatmu setelah kau lahir, setidaknya aku punya sesuatu yang bisa kuceritakan, melalui surat ini. Sebelumnya aku ingin menyampaikan bahwa aku bersyukur mengetahui bahwa bayi yang kukandung berjenis kelamin perempuan. Bertahun-tahun sebelum aku mengandungmu, teknologi sudah memungkinkan para orangtua mengetahui jenis kelamin anak mereka sebelum mereka lahir. Aku yang sejak dulu meng...

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Ahmad Tohari Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa penulisnya. ...

Cerpen Karya Martin Aleida Terpilih sebagai Cerpen Terbaik ”Kompas” 2016

PENGHARGAAN SASTRA Dahono Fitrianto & Wisnu Dewabrata 15 Juni 2017 21:46 WIB Kompas/Hendra A Setyawan  Penulis Martin Aleida menceritakan latar belakang penulisan cerita pendek karyanya berjudul ”Tanah Air” yang terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2016 dalam malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (15/6). JAKARTA, KOMPAS — Cerita pendek atau cerpen ”Tanah Air” karya penulis Martin Aleida terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2016 dalam malam Jamuan Cerpen Kompas 2016 yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan Nomor 17, Jakarta Pusat, Kamis (15/6) malam. Dalam acara tahunan yang digelar dalam rangkaian peringatan hari ulang tahun Kompas tersebut, sastrawan Triyanto Triwikromo dari Semarang juga mendapat penghargaan Kesetiaan Berkarya. Penyerahan penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2016 diserahkan langsung Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo kepada Martin Aleida. Sementara penghargaan Kesetiaan Berkarya diserahkan Wakil ...